Share

Bab 5: Memulai

Kelopak mata Reva membuka perlahan, cahaya yang awalnya menyilaukan turut memudar seiring terbentuknya sebuah siluet di depan pandangannya, siluet itu membentuk sosok lelaki tampan dengan iris hijau zambrut di matanya, wajah itu tak pernah Reva lihat di manapun, namun wajah itu tak terasa asing baginya.

Suara-suara kini mulai terdengar oleh telinganya. Suara tangisan, ledakan dan teriakan silih berganti memasuki gendang telinga meski hanya sayup-sayup, namun ada satu suara lembut yang terdengar jelas, sebuah suara dari seseorang yang dengan lembut memanggil namanya.

Reva?

Hei, bangun Reva.

Revalian!

Seketika Reva tersadar begitu nama lengkapnya disebut, siluet sosok lelaki bermata hijau zambrut yang ia lihat sebelumnya berganti menjadi wajah Tobias, lelaki remaja itu tampak mendekati dipan dengan kelegaan yang tampak jelas di wajahnya.

“Syukurlah, akhirnya kau sadar juga,” Tobias menyambut baik hal tersebut, “apa kau masih merasa pusing?”

“Ya sedikit,” Reva memegangi kepalanya yang terasa sedikit berdenyut, kemudian ia memaksakan diri bangkit dari pembaringan, matanya menelisik ruangan tempat dirinya berada saat ini, ruangan yang belum pernah ia kunjungi itu berbau obat yang bercampur dengan alcohol, dan meskipun terang suasananya tetap terasa suram sebab hanya ada dirinya dan Tobias di sana. “Di mana ini? Bagaimana aku bisa berada di sini?”

“Sebelumnya kau mengalami keracunan makanan dan pingsan di toilet, Lara berteriak meminta tolong ketika kebetulan aku sedang dekat di situ, jadi kubawa kau kemari, ke ruang UKS,” Tobias menjelaskan hal tersebut secara lembut, pandangannya menatap lurus ke mata Reva, dia sengaja melakukan itu untuk memastikan kondisi gadis di depannya. “Anak-anak lain yang memesan bakso juga terkena gejala yang sama namun tidak separah dirimu.”

“Mungkin ini akibat dari memesan bakso ekstra pedas,” Reva tak menyangka makanan tersebut dapat membuatnya sakit, padahal rasa dari makanan itu enak sekali. “Lalu kemana anak-anak lainnya?”

“Karena mereka hanya mengalami gejala ringan, mereka diperbolehkan pulang dengan dijemput orangtua, aku sendiri sudah mencoba menghubungi orangtuamu, tapi...”

“Tidak perlu membahas orangtuaku, mereka tidak akan datang meski aku terlindas truk sekalipun.”

“Apa? Yang benar?”

Reva mengangguk sebagai jawaban, suasana hatinya akan selalu memburuk jika dia mengingat kedua orangtua yang selalu sibuk itu di saat dia sakit seperti sekarang, sebab itu pula ia menurunkan kakinya dari dipan dan berniat untuk pergi. “Aku mau pulang, aku bosan jika harus berdiam seharian di sini.”

“Biar kuantar,” Tobias segera bangkit dari kursinya dan hendak membantu Reva berdiri, namun gadis itu menepisnya.

“Tidak perlu, aku biasa pulang sendiri dengan berjalan kaki.”

“Kalau begitu, coba kau berjalan ke pintu keluar.”

Mendapati perkataan Tobias yang seolah menantangnnya menumbuhkan rasa heran dan tersinggung secara bersamaan dalam diri Reva, perlahan gadis itu turunkan kakinya ke lantai dan berjalan perlahan, namun baru melangkah selangkah saja tubuhnya hampir ambruk sebelum Tobias dengan kesigapannya menangkap tubuh Reva.

“Masih mau berjalan sendiri?” Tanya Tobias yang membiarkan Reva memeluk tubuhnya.

“Kutarik lagi ucapanku,” kepalanya yang terlalu pusing membuat Reva terpaksa memeluk tubuh Tobias, jantungnya berdegup kencang sebab malu. “Tolong...”

“Tentu saja akan kubantu,” senyuman di bibir Tobias semakin melebar, dia segera berjongkok dan memangku Reva di punggungnya. “Pegangan yang erat.”

Reva yang terlalu lemas hanya bisa memeluk pelan leher Tobias, lelaki remaja itu sendiri mulai melangkah meninggalkan ruang UKS yang suram itu menuju lahan parkir sekolah, jarak keduanya yang tidak terlalu jauh membuat Tobias tidak begitu kesulitan untuk mencapai motornya, dan dia pun tidak perlu memangku Reva terlalu lama dan merasakan detak cepat jantung gadis itu di punggungnya.

Sebuah motor vixion merah menjadi satu-satunya kendaraan yang berada di lahan parkir sekolah, Tobias menurunkan Reva lebih dulu di samping motornya sebelum ia naik ke kendaraan itu dan menyalakan mesin.

“Naiklah, perlahan saja,” suruh Tobias, dan orang yang disuruhnya langsung menuruti perintah itu tanpa perlu disuruh dua kali, Tobias menarik kedua tangan Reva agar kembali memeluk tubuhnya. “Aku tidak ingin hal buruk terjadi padamu.”

Reva hanya menyandarkan kepalanya ke pundak Tobias, sedikit merutuk sebab apa yang dilakukannya itu seolah dia adalah kekasih dari lelaki remaja ini. Sementara lelaki yang dipeluknya mulai menjalankan motor keluar ke luar dari kawasan sekolah.

Hanya butuh lima belas menit bagi Tobias untuk mencapai komplex tempat rumah Reva berada, rumah bergaya natural minimalis itu terletak agak dalam di area komplex, suansananya terasa lebih asri dibandingkan dengan rumah lain sebab hanya di rumah ini yang memiliki halaman dengan air terjun buatan, kolam ikan dan taman kecil.

Tobias mamarkirkan motornya di jalan masuk menuju garasi dan kali ini dia menggendong Reva dengan gaya bridall, hal itu menumbuhkan semburat padma di wajah Reva.

“Perbuatanmu ini membuat kita seperti pengantin baru,” Reva memprotes perlakuan Tobias yang ini.

“Oh, kau mau menjadi pengantinku?” Wajah Tobias yang begitu dekat membuat Reva terbungkam, kini dia tidak dapat menyembunyikan rona padma di pipinya, lelaki itu langsung tersenyum mendapat raut terkejut yang membuat gadis di pangkuannya semakin terlihat lucu. “Tenang saja, kita masih belum cukup umur. Lagipula aku ingin kuliah sampai S2, baru memikirkan pernikahan.”

Reva membuang muka, perkataan Tobias itu membuatnya ge-er tadi, di satu sisi Tobias masih bersikap santai meski sudah membuat gadis itu baper. Dia dudukan Reva ke salah satu sofa di ruang tamu bernuansa cerah dengan tiga buah sofa empuk. Masing-masing warnanya berbeda dari kuning, olive dan azure, meja kayu oval diletakkan di tengah ruangan beralaskan permadani kelabu.

“Biar kuambil minum untukmu,” Tobias segera bangkit menuju dapur sebelum Reva mencegahnya, sementara gadis itu hanya bisa menghela nafas dan menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa, tak sampai lima menit berlalu Tobias sudah kembali dengan segelas air mineral di tangannya.

“Terima kasih,” Reva menerima air tersebut dan langsung meminumnya sampai tandas, segera setelah itu rasa segar menyebar ke seluruh tubuh dan menghilangkan penat di kepala, dia senang akan hal itu walau di satu sisi dia tidak bisa paham bagaimana Tobias bisa tahu di mana letak dapur padahal lelaki itu tidak pernah ke sini sebelumnya.

“Sudah merasa lebih baik?” Tobias bertanya dan berlutut di depan Reva, dia kembali menatap lurus ke arah mata gadis itu untuk memastikan kondisinya.

“Jauh lebih baik dari sebelumnya,” kali ini Reva tersenyum pada Tobias, senyuman yang belum pernah dia tunjukan pada lelaki manapun kecuali Papanya. “Terima kasih.”

“Syukurlah,” Tobias bernafas lega kemudian bangkit di hadapan gadis itu. “Sebaiknya aku pergi sekarang, kau butuh istirahat kan?”

Reva mengangguk sebagai jawaban, dan Tobias mengusap kepalanya sebelum mulai melangkah menuju pintu keluar.

“Tunggu Tobias.”

Panggilan iti membuat yang dipanggil tertahan di pintu, lelaki remaja itu memutar tubuhnya untuk melihat yang memanggil namanya.

“Aku selalu bersikap buruk padamu,” Reva tampak tak enak hati ketika mengungkapkan itu, bahkan dia sampai meremas kuat ujung rok seragam SMAnya, “dan kuharap kau mau memaafkanku.”

“Tentu saja, semua orang memiliki waktu masing-masing untuk menerima,” Tobias juga tampak senang menerima pernyataan Reva, kemudian dia melambaikan tangannya sambil berkata, “aku pulang dulu, cepat sembuh ya.”

“Berhati-hatilah.”

Sama seperti Reva, Tobias mengangguk sebagai jawaban, kemudian dia melangkah dan langsung mencapai motornya, dia baru mengebut begitu sudah keluar dari kawasan komplex, hari sudah agak gelap, beberapa rumah warga sudah menyalakn lampu di pelataran.

“Bagaimana menurutmu?” Ujar Tobias begitu saja, matanya masih serius menatap jalanan, dan jok belakang pun hampa tanpa penumpang.

“Not bad,” suara sahutan Lara terdengar jelas seakan gadis itu berada di dalam kepala Tobias, namun sebenarnya suara itu datang dari alat komunikasi nirkabel, alat bulat kecil dengan lubang di tengahnya itu dipasangkan di tulang pelipis bagian belakang daun telinga sehingga efek suara yang diterima akan terasa seperti berasal dari dalam kepala, “tapi aku masih tidak paham mengapa kau harus memancingnya dengan ketampananmu.”

“Sudah kubilang kita harus bermain rapi untuk membawa gadis itu, aku punya rancangan sendiri agar lebih mudah.”

“Walau nanti wajahmu akan menjadi buronan di sini?”

“Tak masalah bagiku, lagipula kita tidak akan berada di dunia ini lagi kan?”

“Ya begitulah. Kau bersiap saja untuk pertandingan basketmu pekan depan, tebarlah pesona lebih banyak lagi.”

“Dengan senang hati,” Tobias menyeringai membalas Lara, kemudian dia membelokkan motornya ke sebuah gang buntu yang gelap dan masuk ke dalam kegelapannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status