"Guru," Xiao Lin mengutarakan pendapatnya dengan hati-hati, "apakah tidak sebaiknya kita menyelidiki kasus pelecehan ini lebih mendalam? Mungkin ada bukti atau kesaksian lain yang bisa membantu kita."Biarawati Yun Hui menoleh ke arah Xiao Lin dengan alis sedikit terangkat. Ia menatap murid tertuanya itu dengan pandangan menyelidik. "Apa maksudmu, Xiao Lin? Apakah ada sesuatu yang kau ketahui?" "Guru, saya hanya merasa bahwa dalam kasus seperti ini, kita perlu berhati-hati dan memastikan kebenaran sepenuhnya. Mungkin ada hal lain atau informasi yang belum kita ketahui," jawab Xiao Lin bijaksana.Ming Mei, yang tadinya menunduk, kini mengangkat wajahnya dengan cepat. Matanya membeliak, menatap Xiao Lin dengan marah, tetapi juga ada pijar ketakutan di sana."Kakak Lin," sergah Ming Mei antara marah dan ketakutan, "apakah kau mengira aku mengada-ada dan melakukan fitnah kepada pemuda berwajah siluman itu?"Xiao Lin terkejut mendengar tuduhan langsung dari adik seperguruannya. Ia menar
Namun, di tengah suasana duka yang masih kental, empat dari lima tetua Bu Tong Pai mulai menampakkan wajah asli mereka. Di hari ke-14, saat seharusnya seluruh murid Bu Tong Pai masih larut dalam kesedihan dan penghormatan terakhir, mereka justru mulai terlibat perdebatan sengit tentang siapa yang layak menggantikan posisi Xun Huan sebagai ketua ke-13 Bu Tong Pai.Tetua Lin, selaku tetua nomor dua di Bu Tong Pai, mengusik suasana hening dengan suaranya yang lantang. "Kita tidak bisa membiarkan posisi ketua kosong terlalu lama, kita harus segera memilih pemimpin baru!" kata pria paruh baya berwajah keras itu dengan tegas.Tetua Ma, pria tua dengan janggut putih pendek dan sorot mata teduh, tertegun mendengar usulan adik seperguruannya itu. Ia menarik napas dalam sebelum menanggapi."Adik Lin," ujar Tetua Ma dengan nada lembut dan sabar, "kita masih dalam suasana berduka. Ketua juga masih belum dimakamkan." Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan kata-katanya, "Sebaiknya kita tunda pemi
Ru Chen memberi salam kepada lima tetua, namun hanya Tetua Ma yang membalas salamnya dengan sopan. Sementara empat tetua lainnya membuang muka, berusaha menyembunyikan ekspresi tidak nyaman mereka."Tuan Ru Chen, apakah Anda berniat sembahyang lagi?" Tetua Ma bertanya dengan ramah, berusaha mencairkan suasana yang canggung."Benar," Ru Chen mengangguk perlahan, lalu berkata dengan nada sedikit menyesal, "maaf bila tadi tak sengaja mendengarkan percakapan kalian dari balik pintu."Pengakuan Ru Chen membuat suasana di ruangan itu semakin tidak nyaman. Tetua Ma merasa jengah, ia melirik ke arah empat tetua lainnya, ingin mengetahui respon saudara-saudara seperguruannya. Namun, mereka semua berpura-pura tidak mendengar, menghindari tatapan Ru Chen.Ru Chen membungkuk dalam, tangannya menangkup di depan dada dalam sikap hormat, "Maafkan saya bila lancang, bukan maksud hati ikut campur dalam urusan internal Bu Tong Pai!" Tetua Ma, dengan senyum tulus di wajahnya, membalas sikap hormat Ru C
Sebelum memasuki aula, Yu Ping memerintahkan semua orang meninggalkannya sendirian, kecuali Ru Chen. Suasana hening menyelimuti aula ketika pintu ditutup rapat, dinding-dinding di dalam ruangan seakan berbisik lembut menyambut setiap langkah kedua pria itu dengan gema halus.Sang Raja, matahari kerajaan yang menyinari setiap sudut negeri Qi dengan kemilau cahayanya, kini perlahan meredup. Lutut yang biasanya kokoh menopang beban kerajaan, kini luruh menyentuh lantai marmer di depan altar.Mata sang Raja, yang biasanya seperti nyala api yang mampu membakar semangat para prajurit dan rakyatnya, kini berkabut oleh awan duka cita. Matanya terpaku pada papan nama Xun Huan, seolah pria tua bersahaja itu yang sedang berdiri di hadapannya. Ia menarik napas dalam, mengumpulkan kekuatan untuk berbicara."Kak Xun Huan," ucapnya lirih dengan suara sedikit bergetar, "aku sungguh tak menyangka kau pergi begitu cepat meninggalkan kami." Yu Ping terdiam sejenak, membiarkan kenangan-kenangan masa lal
Pemakaman ketua Bu Tong Pai, Xun Huan, berlangsung khidmat. Langit pun seolah ikut berduka, menurunkan air mata alam berupa gerimis kecil. Yu Ping, Ru Chen, kelima tetua, serta seluruh murid Bu Tong Pai, berlutut di depan makam. Tubuh mereka melengkung seperti rumput yang menunduk diterpa hujan kesedihan, memberikan penghormatan terakhir mereka.Seusai upacara pemakaman, Yu Ping memanggil kelima tetua dan murid-muridnya untuk berkumpul. "Sebelum aku kembali ke istana, ada satu hal yang ingin kusampaikan kepada kalian semua," Yu Ping mengeluarkan sebuah tabung bambu yang panjangnya sejengkal dari saku lengan bajunya, “ini adalah gulungan surat wasiat yang pernah dititipkan Ketua Xun Huan kepadaku."Pandangan Sang Raja lalu beralih kepada Tetua Ma, tetua pertama di antara lima tetua."Tetua Ma, sebagai tetua pertama, silakan menerima dan membacakan surat wasiat ini di hadapan semuanya!" perintah Yu PIng dengan nada tegas.Tetua Ma, dengan khidmat, berlutut di hadapan sang Raja dan men
Angin sore itu bertiup kencang, menggoyang dedaunan pohon-pohon tua yang menjulang tinggi. Di atas sana, di bawah awan-awan gelap, dua sosok melayang, seolah tengah menari di panggung langit. Raja Yu Ping berhadapan dengan sosok misterius berbaju hitam.Dua bilah pisau kembar di tangan si penyerang berkilauan ditimpa cahaya matahari, bagai taring naga yang haus darah. Matanya tajam bagai elang pemburu menatap Yu Ping tanpa berkedip, mencari celah untuk menyerang. Tiba-tiba, bagai kilat menyambar, ia melesat maju.Gerakan pemilik sepasang pisau kembar begitu cepat, nyaris tak tertangkap mata. Suara desingan pisaunya di udara, menciptakan simfoni kematian yang indah namun mematikan. Namun, Yu Ping bukanlah lawan yang seimbang bagi si penyerang. Dengan ketenangan seorang penguasa sejati, ia membaca pola serangan musuhnya. Tepat saat pemilik pisau kembar melancarkan serangan ganda, Yu Ping meloloskan sebuah benda dari balik lengan jubahnya, seruling sakti sang naga yang telah lama menjad
Ru Chen dan para pengawal yang tersisa, dengan tangan mencengkeram tanah, dapat merasakan angin kencang menyapu di atas tubuh mereka. Suara deru badai terdengar menakutkan, akan tetapi mereka sadar bahwa itu yang menyelamatkan mereka.Setelah beberapa saat, badai akhirnya mereda. Ru Chen perlahan mengangkat kepalanya, matanya melebar melihat pemandangan di sekitar. Arena pertempuran yang tadinya dipenuhi kini kosong, hanya menyisakan jejak kehancuran dan tubuh-tubuh yang berserakan di kejauhan.Yu Ping mendarat di hadapan Ru Chen, mengulurkan tangan untuk membantunya berdiri. Matanya menyapu area sekitar, memastikan semua ancaman telah berlalu."Kalian baik-baik saja?" tanya Yu Ping, nada khawatir tersirat dalam suaranya.Ru Chen, masih terkesima dengan apa yang baru saja terjadi, hanya bisa mengangguk sedikit tersipu, "Terima kasih, Yang Mulia. Seharusnya kami yang menjaga Anda tetapi justru Yang Mulia yang menyelamatkan kami."Yu Ping menepuk bahu Ru Chen dengan lembut, sentuhannya
Fajar baru saja menyingsing, sinarnya yang lembut menerobos celah-celah dedaunan pohon pinus yang menjulang tinggi. Embun pagi masih menggantung di ujung-ujung daun, berkilau bagai permata kecil. Di tengah keindahan alam ini, seorang remaja pria berjalan gontai, seolah memikul beban berat di pundak.Dengan wajah lelah dan mata yang seperti kehilangan cahaya, Du Fei berjalan di antara pepohonan pinus. Rambut hitamnya yang berantakan sesekali tertiup angin pagi yang sejuk. Namun, kesejukan itu tak mampu menentramkan gejolak dalam hatinya.Tiba-tiba, ia berhenti melangkah. Tangannya terkepal erat, gemetar menahan emosi yang bergolak."Mengapa aku begini lemah?" keluh Du Fei, suaranya sarat kesedihan yang mendalam. "Apakah benar yang dikatakan orang-orang bahwa aku hanyalah sampah tak berguna?"Hening, tak ada yang menjawab jeritan hatinya. Hanya desir angin yang membelai dedaunan pohon pinus, menciptakan simfoni alam yang terdengar begitu menyedihkan di telinga Du Fei.Frustasi semakin m
Di singgasana, di kursi yang biasa ditempati raja Yu Ping, Qi Lung duduk dengan sikap angkuh. Mengenakan jubah kebesaran berwarna biru tua dengan sulaman naga emas, ia tampak seperti raja muda yang baru dinobatkan.Di hadapannya, beberapa menteri dan pejabat tinggi berlutut dalam barisan rapi, wajah-wajah mereka menunduk dengan campuran rasa takut dan bingung. Sudah tiga hari Raja Yu Ping tidak muncul di aula penghadapan, dan Qi Lung dengan mudah mengambil alih tanpa perlawanan berarti."Laporan dari perbatasan utara, Yang Mulia," Mentri Wei membacakan gulungan yang dibukanya. "Hasil panen tahun ini diperkirakan akan meningkat dua puluh persen dari tahun lalu. Gudang-gudang beras kita akan penuh hingga musim dingin."Qi Lung mengangguk puas. "Kabar baik. Pastikan pasokan beras didistribusikan dengan baik ke seluruh wilayah.""Dan mengenai perjanjian dagang dengan Kerajaan Ming di timur," lanjut Mentri Wei, membuka gulungan lain. "Mereka mengajukan proposal untuk menurunkan pajak perda
Di istana, Raja Yu Ping terbaring gelisah di pembaringannya. Mimpi-mimpi buruk terus menghantui tidurnya—bayangan wajah-wajah yang menderita, jeritan-jeritan yang tak terdengar, dan sosok naga hitam yang mengintai dari kegelapan."Zhen Yi…," sang Raja mengigau, keringat dingin membasahi dahi. "Di mana... kau?"Xiao Lan, yang duduk di samping tempat tidur, mengelap keringat raja dengan kain lembap. Ekspresinya kosong, matanya hampa seolah jiwanya tidak hadir di sana.Pintu kamar terbuka perlahan, dan Qi Lung melangkah masuk. Ia mengenakan jubah tidur mewah berwarna biru tua dengan sulaman emas, tapi wajahnya tampak segar seolah belum akan tidur dalam waktu dekat."Bagaimana kondisinya?" tanya Qi Lung lirih, mendekati tempat tidur ayahnya."Masih sama," jawab Xiao Lan datar. "Racunnya bekerja seperti yang direncanakan. Ia terus bermimpi buruk, membuatnya tidak bisa beristirahat dengan tenang."Qi Lung mengangguk puas, "Sempurna. Sekarang di mana Yun Hao? Aku tidak melihatnya sejak sore
Hujan rintik-rintik membasahi jalanan kotaraja saat Yun Hao memacu kudanya menyusuri lorong-lorong sempit yang menjauh dari istana. Matahari nyaris terbenam sepenuhnya, menyisakan semburat oranye keunguan di langit barat. Ia mengenakan jubah hitam sederhana dengan tudung menutupi kepalanya—bukan pakaian yang biasa dikenakan seorang pangeran, tetapi sempurna untuk seseorang yang ingin bergerak tanpa menarik perhatian.Di belakangnya, istana megah dengan atap-atap merahnya berdiri angkuh, semakin mengecil seiring jarak yang ia tempuh. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Yun Hao merasa istana bukan lagi rumahnya—bukan lagi tempat yang aman. Sejak Qi Lung mengambil alih kekuasaan, dinding-dinding istana seolah menyimpan mata-mata di setiap sudutnya.Yun Hao membimbing kudanya memasuki wilayah kota yang lebih tua, di mana bangunan-bangunan kayu berjejer rapat dan papan-papan nama toko bergoyang tertiup angin malam. Jalanan semakin sepi, hanya beberapa pedagang yang sedang membereskan dag
Matahari sudah mulai terbenam saat kereta tahanan berhenti di sebuah pos jaga di perbatasan antara wilayah hijau dan gurun pasir. Para pengawal menurunkan Zhen Yi, yang kakinya terasa kaku setelah seharian duduk di kereta yang sempit."Kita akan bermalam di sini," kata komandan pengawal. "Besok pagi-pagi sekali kita akan melanjutkan perjalanan ke Istana Pasir."Zhen Yi mengangguk. Ia tidak melihat gunanya melawan atau mencoba melarikan diri. Enam pengawal bersenjata lengkap mengawalnya, dan tidak ada tempat untuk bersembunyi di padang pasir yang terbentang luas di hadapannya.Komandan pengawal, seorang pria setengah baya, menatap Zhen Yi dengan ekspresi antara iba dan "Anda akan ditempatkan di kamar belakang, Pangeran," katanya, suaranya terdengar sedikit lebih lunak. "Tidak terlalu nyaman, tapi setidaknya lebih baik daripada sel tahanan.""Terima kasih," jawab Zhen Yi tulus. "Bolehkah tanganku dilepaskan? Sudah hampir sehari penuh terikat, dan aku tidak merasa nyaman."Komandan tamp
Kereta tahanan bergerak lambat meninggalkan gerbang kota, roda kayunya berderit membelah jalanan berbatu. Di dalam kereta, Zhen Yi duduk bersandar pada dinding kayu yang kasar, tangannya masih terikat di belakang punggung.Melalui celah kecil di jeruji jendela, ia melihat kotaraja yang semakin mengecil di kejauhan—istana megah dengan atap-atap merah dan dinding putih yang selama ini menjadi rumahnya. Semua kenangan, semua kehidupannya, kini hanya tinggal titik kecil di cakrawala. Ia memejamkan mata, berusaha menenangkan pikirannya yang berkecamuk."Kenapa, Qi Lung?" bisiknya pada diri sendiri. "Apa salahku padamu?"Kereta berguncang keras saat melewati lubang di jalan, membuat Zhen Yi terlempar ke depan. Pengawal yang duduk di ujung kereta menatapnya tanpa ekspresi, seolah membawa seorang pangeran ke pembuangan adalah tugas biasa."Bisakah tanganku dilepaskan?" tanya Zhen Yi dengan suara tenang. "Aku tidak akan kabur."Pengawal itu mendengus. "Maaf, Pangeran. Perintah langsung dari Pa
Di antara para pejabat, beberapa mulai berbisik-bisik. Beberapa menunjukkan ekspresi ragu, sementara yang lain tampak terkejut dan kecewa."Siapa yang menjebakmu, Pangeran Zhen Yi?" tanya Menteri Wei dengan sikap hati-hati. "Dan untuk tujuan apa?"Sebelum Zhen Yi bisa menjawab, terdengar keributan di luar aula. Suara teriakan dan hentakan langkah kaki saling bersahutan."Aku ingin masuk! Lepaskan aku!" Suara Yun Hao terdengar dari balik pintu. "Aku berhak menghadiri pengadilan saudaraku!""Lanjutkan sidang!" perintah Qi Lung dengan tenang. "Pengawal, pastikan tidak ada gangguan dari luar!"Suara keributan terus berlanjut beberapa saat sebelum akhirnya mereda—tanda bahwa Yun Hao telah berhasil disingkirkan dari area tersebut."Kau tidak bisa melakukan ini, Qi Lung," kata Zhen Yi, matanya menatap lurus ke arah saudaranya. "Ayah akan mengetahui kebenaran. Semua orang juga akan tahu bahwa aku tidak bersalah."Qi Lung tersenyum tipis. "Ayahanda sedang sakit parah, Adikku. Dan sulit dipasti
Qi Lung berdiri di depan cermin besar yang terbuat dari perunggu mengkilap. Jari-jarinya yang panjang merapikan jubah kebesaran kaisar berwarna emas dengan bordiran naga hitam—jubah yang seharusnya hanya dikenakan oleh Raja Yu Ping. Ia menarik napas dalam-dalam, menikmati sensasi kain sutra berkualitas tertinggi yang menyentuh kulitnya, serta beban mahkota raja yang terasa pas di kepalanya."Apakah semuanya sudah siap?" tanya Qi Lung tanpa menoleh ke belakang, tatapannya masih terpaku pada refleksi dirinya di cermin.Kasim kepala membungkuk dalam-dalam. "Sudah, Yang Mulia. Aula Keadilan Langit telah disiapkan sesuai perintah. Para menteri dan pejabat tinggi telah dikumpulkan.""Dan tahanan kita?""Pangeran Zhen Yi sedang dibawa ke aula. Ia masih... belum sepenuhnya sadar, Yang Mulia."Senyum tipis tersungging di bibir Qi Lung. "Sempurna." Ia berbalik, merapikan sedikit lagi jubahnya. "Dan pastikan tidak ada yang menginterupsi sidang hari ini. Terutama Pangeran Yun Hao.""Hamba menger
Kabut tipis melayang di atas taman istana, menyelimuti paviliun-paviliun dan kolam teratai dalam kehampaan pagi yang sunyi. Tidak ada kicauan burung, tidak ada bisikan angin—seolah seluruh istana menahan napas, menunggu dalam kecemasan. Para dayang dan kasim berjalan hampir tanpa suara di sepanjang koridor yang mengarah ke paviliun tempat Raja Yu Ping terbaring sakit.Di dalam kamar utama yang luas, hawa dingin menyelinap melalui celah-celah jendela meskipun beberapa tungku pemanas telah dinyalakan. Tirai-tirai sutra merah keemasan menutupi jendela, membuat ruangan temaram meski matahari sudah merangkak naik di langit pagi. Di atas pembaringan megah berlapis sutra, Raja Yu Ping terbaring lemah. Wajahnya yang biasanya tegas dan berwibawa kini pucat, dengan lingkaran hitam di bawah matanya yang tertutup. Napasnya berat dan tidak teratur, kadang tersengal seolah setiap tarikan udara membutuhkan usaha besar. Keringat dingin membasahi dahinya meskipun udara di ruangan terasa sejuk.Di sam
Paviliun Bulan Musim Gugur berdiri megah di sudut timur istana, dikelilingi oleh pohon-pohon maple yang daunnya mulai berubah kemerahan. Cahaya temaram dari lentera-lentera merah menyinari ruangan tengah paviliun dimana tiga sosok pangeran duduk mengelilingi meja bundar dari marmer."Sudah lama sekali kita tidak berkumpul seperti ini," ucap Qi Lung sambil menuangkan arak berwarna keemasan ke dalam tiga cawan porselen putih berukir naga. "Terakhir kali mungkin saat perayaan musim semi tahun lalu."Uap tipis mengepul dari cawan-cawan tersebut, membawa aroma manis arak berkualitas tinggi. Di atas meja tersaji berbagai hidangan mewah – daging angsa panggang dengan saus plum, ikan sungai dikukus dengan jahe, dan berbagai hidangan langka lainnya."Arak langka dari Wilayah Barat," Qi Lung mengangkat cawannya. "Hanya ada beberapa guci saja yang dikirim sebagai persembahan untuk Ayahanda."Zhen Yi menatap cairan di cawannya dengan ragu. Sebagai penghuni biara, ia sudah hampir tak pernah menyen