Sebuah persekongkolan keji memperebutkan jabatan kepala kampung membuat Wijaya Kusuma kehilangan ayah dan ibu. Bahkan ia nyaris terbunuh pula dalam satu peristiwa berdarah yang membuatnya terpisah dari kedua orang tua. Beruntung seorang tua sakti dari lereng Gunung Kelud datang sebagai dewa penolong. Satu windu menghilang, Wijaya Kusuma muncul kembali sebagai seorang pendekar muda nan tangguh. Tujuannya hanya satu: menuntut balas! Berbekal sebuah senjata pusaka bernama Golok Naga, Wijaya lantas dikenal sebagai Pendekar Golok Naga. // Ikuti penulis di Instagram, Tiktok dan Facebook dengan follow akun @keborawis. Baca juga karya lainnya di https://karyakarsa.com/keborawis.
View MorePADUKUHAN Kartasentana terletak di ujung wanua Sangguran. Berbatasan langsung dengan hutan belantara lebat di lereng timur Gunung Kawi. Sehampar luas sawah nan hijau memisahkan pemukiman terpencil itu dari kampung-kampung lain.
Menjelang sore itu, suasana hening dipecah oleh suara ringkik kuda bercampur derap puluhan ladam. Tak kurang dari 13 lelaki berkuda melintas cepat di atas jalan tanah yang membelah hamparan sawah menuju kawasan pemukiman.
Debu tebal membumbung tinggi di udara, mengiringi laju kaki-kaki kuda. Beberapa warga padukuhan yang sedang berada di sawah sontak menghentikan pekerjaan. Mereka sama memandang ke jurusan rombongan berkuda dengan penuh rasa penasaran.
"Siapa mereka? Mau ke mana?" tanya salah satu pemuda pada teman di sebelahnya.
"Aku tidak tahu," sahut temannya cepat, lalu balik bertanya, "Memangnya kenapa?"
"Sebaiknya kita ikuti saja mereka. Aku punya firasat tidak enak. Mereka tampaknya bukan orang baik-baik," jawab pemuda pertama.
Dengan setengah berlari kedua pemuda tersebut membuntuti arah kepergian rombongan berkuda. Namun mereka ketinggalan sangat jauh. Hanya kepulan debu di kejauhan yang dapat dijadikan sebagai patokan.
Sementara rombongan lelaki berkuda tadi berhenti di depan sebuah gapura paduraksa. Dua lelaki muda bersenjata golok besar di pinggang, tampak berjaga-jaga di kiri-kanan gapura tersebut.
Sebuah bangunan bagus berhalaman luas terlihat dari ambang gapura. Sementara tembok tinggi seukuran pinggang orang dewasa melingkungi sekeliling halaman yang luas membentang.
Menilik dari keadaannya, bangunan bergapura ini merupakan kediaman seseorang yang berpengaruh di Kartasentana. Tak lain tak bukan adalah rumah kepala kampung, Ki Dukuh Kartasentana.
"Berhenti!" seru lelaki muda yang berada paling depan dalam rombongan berkuda. Sebelah tangannya terangkat lurus ke udara.
Jika dilihat dari pakaian serta penampilannya yang lebih mewah, demikian pula wajahnya yang bersih dan klimis rapi, bisa ditebak jika lelaki muda itu adalah pemimpin rombongan.
Melihat isyarat tadi, selusin lelaki di belakang pemuda berpakaian mewah langsung menarik tali kekang kuda masing-masing. Suara ringkik kuda terdengar ramai, ditingkahi bentakan-bentakan untuk menenangkan hewan-hewan tersebut.
Begitu kudanya berhenti, lelaki yang memberi isyarat tadi langsung melompat turun. Bertepatan dengan saat sepasang kakinya menjejak tanah, terdengar suaranya yang menggelegar keluarkan ucapan membentak.
"Panggil keluar si Sarwa Kusuma kemari, cepat!"
Dua penjaga gapura saling pandang sesaat. Melihat dari raut wajah keduanya, nyata sekali jika mereka tidak senang terhadap sikap lelaki yang barusan membentak. Namun mereka juga tahu perasaan itu harus ditekan dalam-dalam.
"Maaf, Kisanak, kami akan segera panggilkan Ki Dukuh Sarwa. Namun sebelumnya mohon sudilah kiranya Kisanak menyebutkan nama beserta keperluan Kisanak datang kemari," balas penjaga gapura di sebelah kanan, berusaha bersikap sopan.
Lelaki yang baru datang menanggapi ucapan orang dengan satu dengusan pendek. Kedua tangannya lantas ditekuk ke pinggang dengan gaya pongah luar biasa.
"Tidak usah banyak basi-basi! Siapa aku dan apa urusanku dengan si Sarwa Kusuma keparat itu, kalian tidak perlu tahu!" sergah lelaki tersebut dengan nada tinggi. "Panggilkan saja junjungan kalian itu kemari sekarang juga. Cepat!"
Kembali dua penjaga gapura saling berpandangan. Sorot mata mereka menyiratkan kemarahan. Kalau menuruti panasnya darah yang menggelegak, sudah sejak tadi-tadi mereka menerjang untuk membungkam mulut besar lelaki muda yang tidak tahu sopan santun ini.
Namun keduanya harus berhitung serta bersikap waspada. Selusin lelaki bersenjata yang datang bersama lelaki pongah di hadapan mereka tentu bukanlah sekadar pengiring. Terlebih jika menilik pada parang-parang besar lagi tajam yang tergantung di pinggang 12 lelaki tersebut.
"Ah, harap maafkan kami, Kisanak, tetapi memang begitulah aturannya semenjak dahulu. Siapapun yang ingin bertemu dengan Ki Dukuh, harus terlebih dahulu menyebutkan nama beserta kepentingannya pada kami para penjaga gapura...."
"Cuih! Aturan tahi kucing!" tukas lelaki berpakaian mewah dengan suara menggelegar. Ia lalu meludah ke tanah dengan kasar.
"Baiklah kalau kalian tak mau memanggil keluar Sarwa Kusuma sialan itu. Berarti biar orang-orangku sendiri yang akan menyeretnya keluar!" imbuh lelaki tersebut dengan geraham bergemeletak.
Usai berkata begitu, si lelaki berpakaian mewah memberi isyarat dengan sebelah tangan.
Selusin lelaki di atas kuda serentak meloncat turun. Tangan kanan mereka bersiaga di gagang parang yang masih tergantung di pinggang. Siap dicabut sewaktu-waktu.
Dua penjaga gapura kediaman kepala kampung sama kertakkan rahang. Tahulah mereka jika rombongan berkuda ini tidak main-main.
"Sial dangkalan!" geram penjaga gapura yang sedari tadi menjadi juru bicara. Parasnya sudah benar-benar merah kelam akibat gelegak amarah yang tak tertahankan lagi.
"Beri isyarat ke dalam. Cepat!" tambahnya, memerintah teman di sebelahnya.
Mendengar ucapan tersebut, penjaga satunya lagi cepat-cepat masukkan dua jari tangan ke dalam mulut. Kejap berikutnya terdengar satu suitan keras lagi panjang membelah udara.
"Suuuuiiiiiiiitt!"
Suitan itu adalah isyarat tanda bahaya. Karenanya, begitu merdengar suara nyaring tersebut para pengawal yang berjaga-jaga di bagian dalam tembok bergegas keluar.
Hanya beberapa kejap berselang, tak kurang dari enam orang bersenjata golok besar bermunculan. Tahu-tahu saja mereka sudah berdiri di belakang dua penjaga gapura.
Melihat ini, lelaki pemimpin rombongan berkuda menyeringai sinis. Dipandanginya para pengawal di depan gapura dengan tatapan mata berkilat-kilat.
"Hmm, bagus! Jadi kalian berniat menghalang-halangi kami, hah?" bentaknya menantang.
Penjaga gapura yang sejak tadi jadi juru bicara balas menatap dengan tak kalah tajam. Sebelah tangannya sudah menggenggam erat gagang golok, siap mencabut senjata itu dari dalam warangka jika keadaan berubah genting.
"Aku peringatkan kau, Kisanak. Berani kau membuat onar di kediaman Ki Dukuh Kartasentana ini, maka nyawamu yang bakal jadi taruhan!" ujar penjaga gapura tersebut. Suaranya terdengar mendesis.
Alih-alih menunjukkan rasa jeri, yang diancam justru ganda tertawa. Sebuah tawa yang kentara sekali bernada meremehkan.
Sikap tersebut membuat para pengawal kediaman kepala kampung Kartasentana sama mengertakkan rahang. Kemarahan mereka berdelapan semakin membara.
Namun demikian para pengawal memilih menunggu. Mereka masih berusaha menahan diri, tidak ingin menjadi pihak yang terlebih dahulu memulai keributan.
Sementara di pihak lain, setelah puas tertawa lelaki pemimpin rombongan berkuda angkat lagi sebelah tangannya ke udara. Telapak tangan itu lantas terayun ke depan. Satu isyarat agar 12 lelaki di belakangnya maju menyerang.
"Seret keluar Sarwa Kusuma keparat itu!" serunya memerintah.
Selusin lelaki langsung merangsek maju, mengarah ke ambang gapura untuk masuk ke halaman rumah. Suara teriakan mereka bergemuruh, laksana kawanan banteng siap menyeruduk.
"Keparat!" maki pengawal yang menjadi pemimpin pasukan penjaga gapura. Ia tentu saja tidak sudi membiarkan para pengacau ini masuk.
Maka begitu selusin lelaki penyerang kian dekat, pemimpin pasukan pengawal cepat memberi isyarat pada rekan-rekannya. Serempak delapan lelaki itu mencabut senjata masing-masing dari dalam warangka.
Sret! Sret! Sret!
Suara logam bergesekan nyaring terdengar. Delapan bilah golok besar teracung ke depan.
"Tahan mereka! Jangan biarkan seorang pun masuk!" teriak pemimpin pasukan pengawal Ki Dukuh Kartasentana, memberi aba-aba pada teman-temannya.
Bak air bah melanda, delapan mata golok menyambar ke depan secara bersamaan. Masing-masing mencari sasaran di tubuh 12 lelaki penyerang yang kian mendekati ambang gapura.
"Serbuuuu!"
Sring! Sring! Sring!
_)|(_
MESKI kaki-kakinya mungil, Wijaya Kusuma dapat berlari sangat kencang sekali. Hanya dalam masa beberapa kejapan mata bocah cilik itu sudah berada jauh dari si orang tua kerempeng."Hei, Anak, tunggu! Jangan lari ke sana!" seru lelaki tua yang mengejar di belakang.Saking kagetnya, orang tua kerempeng lupa jika dirinya memiliki ilmu lari cepat. Ia tadi langsung berlari saja dengan tenaga kasar, alih-alih memakai kepandaian tersebut.Kejar-mengejar itu terus berlangsung hingga memasuki kawasan di mana pepohonannya penuh dengan dahan-dahan besar memanjang. Dedaunan sangat rimbun, sehingga sinar matahari yang masih sangat muda tak kuasa menembus hingga ke sebaliknya.Paras si lelaki tua berubah tegang begitu menyadari di mana tempatnya berada kini. Terlebih ketika pandangannya terarah ke satu dahan pohon yang akan dilalui Wijaya Kusuma."Anak, awas!" seru si lelaki tua lagi dengan panik. Sambil menggerutu panjang-pendek ia tingkatkan laju lari.
"G-GAWAT apanya, Kek? Apakah ada orang jahat yang datang?" tanya Wijaya Kusuma. Ia kebingungan melihat lelaki tua di hadapannya tiba-tiba saja menghambur cepat ke depan.Namun si orang tua tidak menjawab pertanyaan itu. Ia langsung duduk berjongkok di dekat perapian. Batok kelapa yang tadi ia bawa dilemparkan begitu saja entah ke mana.Dengan raut muka panik lelaki tua tersebut mengambil sebatang kayu bakar yang ujungnya berasap karena terbakar. Dengan benda panjang itu ia mengaduk-aduk tumpukan bara.Wijaya Kusuma yang sudah berada di samping orang tua kerempeng mencium bau hangus yang santar sekali. Anak kecil itu lantas tersenyum geli begitu mengetahui apa yang membuat orang tua kerempeng panik sedemikian rupa.Dari dalam tumpukan bara, si lelaki tua mengeluarkan beberapa benda yang hangus menghitam. Asap mengepul dari permukaan benda-benda tersebut. Inilah sumber bau sangit yang dicium olehnya dan juga Wijaya Kusuma."Oh, ubiku ... ubiku hangus
ASAP putih mengepul di muka pondok kayu di tengah belantara. Seorang lelaki tua berbadan kerempeng tampak menggembungkan kedua pipi, lalu meniup perapian di hadapannya dengan paras memerah.Di atas api terdapat bejana tanah berisi air yang dari permukaannya mengepulkan asap tipis. Sebentuk kayu pipih panjang terdapat di dalamnya, sangat bisa jadi centong untuk mengaduk."Dasar kayu sialan! Lama-lama bisa tambah peot aku kalau begini," gerutu si lelaki tua usai meniup tumpukan kayu dalam perapian.Bara yang sudah tercipta segera menyala jadi kobaran api akibat tiupan tersebut. Namun nyalanya kecil saja, sehingga si lelaki tua kerempeng jadi senewen sendiri."Huh, kalau begini terus, mau sampai kapan ramuan ini bakal mendidih dan matang? Sialan betul!" Kembali gerutuan keluar dari mulut keriput itu.Hari masih sangat pagi di lereng Gunung Kelud. Kabut menggantung di mana-mana, menghalangi sinar matahari yang telah mengintip dari sela-sela dedaunan. E
"MANA Bramanta? Mengapa aku tidak melihatnya bersama kalian?" tanya sosok tinggi besar di atas kuda tanpa basa-basi. Ia bahkan tidak menanggapi salam Palguna dan teman-temannya."Ah, Bramanta ... dia ... kami juga sedang menunggu dia, Ketua." Palguna mewakili yang lain-lain berbicara."Apakah dia belum tiba di sini?" tanya sosok yang dipanggil Ketua lagi."Semestinya sudah, Ketua, sebab kami lihat kudanya sudah ada di sini," jawab Palguna yang kemudian merasa agak ragu-ragu untuk melanjutkan keterangan. "Tapi sepertinya....""Sepertinya apa?" kejar lelaki di atas punggung kuda.Palguna garuk-garuk kepala, sembari tersenyum kecil serba salah. Namun akhirnya ia merasa tidak ada salahnya menyampaikan apa yang menjadi dugaan mereka berempat tadi."Dia tadi membawa serta isteri Ki Dukuh Kartasentana. Jadi, sepertinya ..." Palguna kembali merasa ragu-ragu hendak berkata, tetapi akhirnya melanjutkan juga, "Kami menduga dia sedang bersenang-senang d
"Aneh, kenapa sepertinya tidak ada siapa-siapa di dalam sana?"Palguna mengerutkan kening keheranan melihat keadaan gubuk di hadapannya. Pintu terbuka lebar, tetapi suasananya sangat sepi sekali. Tak terdengar suara manusia sedikit pun dari dalam sana."Seharusnya dia sudah tiba di sini sejak tadi-tadi," gumam Palguna, sembari menatap ke dalam gubuk yang remang-remang.Tiga lelaki yang datang bersama Palguna ikut memandang ke arah sama. Salah satu dari mereka lantas melompat turun dari punggung kudanya dan memeriksa keadaan sekeliling gubuk.Tak seberapa jauh dari bangunan gubuk, lelaki itu menemukan seekor kuda yang tertambat di sebatang pohon kecil. Ditepuknya pinggul hewan tersebut, sehingga meringkik nyaring karena kaget."Ini kuda Bramanta," ujar lelaki tadi, seraya tangannya ganti mengusap-usap leher kuda yang dipenuhi surai. "Berarti dia sudah sampai di sini sebelum kita.""Tapi kenapa seperti tidak ada siapapun di tempat ini?" gumam
"SITA ... percayalah, aku tidak bermaksud melukaimu," desah Bramanta, sembari tetap mencoba mendekati Sita.Namun yang ingin didekati menggeleng-gelengkan kepala dengan cepat, pertanda tak ingin Bramanta mendatanginya. Raut wajahnya benar-benar seperti orang ketakutan.Mau tak mau Bramanta hentikan gerakannya, lalu menghela napas dengan kecewa. Jauh di dalam lubuk hatinya timbul perasaan terluka juga tersinggung oleh sikap Sita."Sita, a-aku ... aku merindukanmu. Sungguh merindukanmu," ujar Bramanta kemudian dengan suara mendayu. "Tidakkah selama ini kau juga merasakan kerinduan yang sama terhadapku?"Sita kembali menggeleng-gelengkan kepala mendengar ucapan tersebut. Parasnya yang tadi tegang dan pucat seketika berubah mendung. Sepasang matanya tampak berembun."Kau gila, Bramanta! Kau sungguh keji! Mengapa kau tega menghabisi suamiku?" ujar Sita setengah menjerit. "Aku juga terpisah dengan anakku. Aku tidak tahu di mana anak itu sekarang berada..
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments