Share

Tanah Bapak

*Ilmu itu lebih baik daripada harta karena harta itu harus kamu jaga, sementara ilmu akan menjagamu.* - Ali bin Abi Thalib

***

Suara tangisan mbok Inah yang mengucapkan kata maaf, terdengar sampai ke dapur. Hingga bapak mengucapkan suatu kalimat yang membuatku terkejut. 

“Apa??” teriakku, Taufik seketika langsung membekap mulutku sambil melototkan matanya. 

“Nia, Taufik, kemari!” panggil bapak tegas. 

“I … iya, Pak,” Taufik menoyor kepalaku pelan, ia berjalan mendahuluiku. 

“Duduk!” perintah bapak ketika kami sudah berada di ruang tamu. 

“Kamu, Nia. Minta maaf sama Inah, atas apa yang telah kamu lakukan di surau.” 

Jika bapak sudah menyatakan pendapatnya pada kami, berarti itu adalah suatu perintah yang harus segera dilaksanakan. Kulihat emak, sebagai tanda protes. Emak hanya mengangguk, menyetujui kalimat bapak. Kuperbaiki posisi duduk ku, menghadap mbok Inah. Tiba-tiba mbok Inah berdiri, berjalan menghampiri dan langsung memelukku. 

“Maafkan, Mbok, ya Nia. Maafkan,” tangisnya semakin keras. Aku yang  kebingungan langsung melihat ke arah bapak, terlihat ia tersenyum. 

“I … iya, Mbok. Maafkan Nia juga, ya. Nia salah, karena sudah mempermalukan Mbok di kampung kita,” ujarku, menepuk pelan punggungnya. 

Setelah drama tangisan selesai, mbok Inah dan lek Ipul pamit pulang. Ada kantongan kresek hitam di sudut ruangan. Taufik sepertinya sadar, ia meraih dan langsung membukanya. Gula, minyak, teh dan sembako kecil lainnya. 

“Dari mbok Inah, ya, Mak?” tanya Taufik, emak hanya mengangguk. 

*** 

Shalat isya kami laksanakan berjamaah di rumah, Taufik yang menjadi imamnya. Lelaki itu terlihat semakin dewasa, aku lupa menanyakan perihal surat rekomendasi tersebut? Sepengetahuanku, untuk melanjutkan ke perguruan tinggi tidaklah perlu menggunakan surat rekom dari camat, cukup dari sekolah saja. Ah, ini nanti juga akan aku tanyakan, tetapi ada hal yang lebih penting lagi, terkait ucapan bapak tadi pagi dengan mbok Inah dan lek Ipul.   

“Pak, boleh Nia bertanya?” ujarku mendekati bapak, yang sedang mengganti chanel TV yang masih berukuran kotak tersebut. Taufik menyerngitkan dahinya seraya menggeleng, ku tahu, ia melarangku untuk menanyakan masalah tersebut kepada bapak. 

“Tanya apa, nduk?” 

“Maaf ya, Pak, karena telah mendengar semua percakapan bapak dan mbok Inah pagi tadi. Bukannya Nia mau ikut campur, tapi … .” kugantungkan kalimatku, menarik nafas dalam-dalam sebelum memulainya kembali. 

“Soal tanah?” celetuk emak yang muncul dari dapur, membawa sepiring pisang goreng yang asapnya masih terlihat mengepul. 

Aku mengangguk, bapak memperbaiki posisi duduknya. 

“Hem, memang sudah seharusnya kalian tahu,” tutur bapak seraya memperbaiki posisi duduknya, Taufik segera mendekat, duduk disampingku. 

“Setelah Taufik lahir, keluarga Ipul menjual tanahnya, mereka butuh uang untuk keperluan sekolah Ipul. Alhamdulillah, saat itu Bapak ada pegangan uang, karena baru panen. Tetapi saat Ipul berumur dua puluh lima tahun, dia melarikan seorang gadis, Inah. Keluarga Inah marah dan akan menuntut, jika permintaan mereka tidak dipenuhi, yaitu mahar sebidang tanah untuk Inah,” jelas bapak. 

“Jadi, Bapak kasih tanah kita?!” potong Taufik cepat, terlihat emak mendelik ke arahnya. 

“Hehehe, ya nggak gitu juga, lek,” bapak terkekeh lucu menjawabnya

“Karena keluarga Ipul sudah tidak lagi memiliki tanah, maka mereka minta tolong untuk mencicil kembali tanah yang mereka jual. Karena Bapak kasihan, dan kita dianjurkan tolong menolong, Bapak akhirnya menjualnya,” ada jeda kembali, Bapak melahap pisang yang sudah tersaji dihadapannya.  

“Terus, Pak?” tuntut ku 

“Sabar, nduk,” sahut emak. 

“Ipul tahu, masalah tanah yang menjadi utangnya. Jadi, setelah ia menikah, ia menemui bapak, mengatakan bahwa ia tidak sanggup untuk membelinya kembali. Waktu itu, ia mengatakan dan meminta izin pada Bapak, untuk membolehkan sementara menempati tanah kita sebagai lahan rumahnya.” Bapak menghirup nafasnya dalam. 

“Ya, itu. Mungkin Inah tidak tahu, makanya setelah kejadian kemarin, ia merasa bersalah dan minta maaf pada Bapak dan Emakmu.” 

Aku tertegun mendengar penjelasan bapak, ternyata … . 

Ya, mbok Inah pasti merasa sangat, sangat menyesal, apalagi melihat luka di kepala bapak yang masih diperban. Kejadian kebakaran saat itu, ketika Siti, anak mbok Inah yang masih terjebak di kobaran api rumahnya, dengan sigap bapak masuk menerobos, hingga tidak melihat sebuah balok jatuh dan menimpa kepalanya. 

“Jadi, kita nggak miskin, donk, Pak,” ungkap Taufik dengan lugu. 

“Hust, gak baik ngomong gitu, lek,” 

“Terus, selanjutnya bagaimana, Pak? Mbok Inah, masih tinggal disana?” tanyaku lagi. 

“Ya iyalah, nduk. Memangnya mau kemana lagi,” tegasnya. 

Ucapan bapak membuatku semakin yakin, untuk selanjutnya mbok Inah tidak akan berbuat hal aneh lagi dengan keluargaku. 

*** 

“Kamu nggak pergi sekolah, nduk.” Emak terlihat sibuk di dapur, mengolah makanan untuk sarapan, sambal pete dan sayur bayam rebus ditambah tempe mendoan. Sarapan sederhana, tapi mampu membuat yang melihatnya harus bersiap melepaskan ikat pinggang. 

“Hari ini, Nia tidak ada jadwal ngajar, Mak,” 

“Lah toh, terus?” 

“Kalau tidak ada jadwal, berarti tidak perlu ke sekolah, Mak. Kecuali, ada kepentingan dan panggilan dari sekolah,” kupotong tempe yang sudah tersaji di nampan kecil.

“Nduk, apa abangmu, Ilham, nggak mau nikah lagi?” 

Pertanyaan emak menghentikan kegiatanku. 

Teringat dua tahun yang lalu, ketika aku, Bela dan bang Ilham sedang berada di warung makan. Bang Ilham memperhatikan sepasang suami istri dan anaknya yang seumuran dengan Bela, bercanda ria. 

“Abang, nikah lagi, aja,” kupelankan suaraku, agar tidak terdengar oleh Bela. 

“Entahlah, dik. Sepertinya Abang masih cinta sama kakakmu, Abang masih belum bisa membuka hati Abang untuk orang lain,” senyumnya kecut. 

“Nduk, ditanya kok malah melamun,” emak memukul pundakku pelan, membuyarkan lamunanku. 

“Eh, kenapa nggak Emak tanya aja langsung.” 

Kuambil telepon genggamku di atas meja dapur. Kutekan aplikasi berwarna hijau, mencari kontak bang Ilham, sejurus kemudian kutekan gambar video. Handphone yang kubeli masih jauh dari kata bagus, merk yang masih belum diakui oleh pasar nasional, gambar yang belum berstandar HD. Tapi aku bersyukur setidaknya aku masih bisa melihat orang tercintaku yang jauh melalui barang tersebut. 

Tersambung, terlihat bang Ilham sedang menggunakan topi kerjanya. 

“Assalamu’alaikum, emak,” ujarnya tersenyum, menampakkan lesung pipitnya. 

“Wa’alaikumsalam, anak emak. Ganteng pisan anak emak. Mau berangkat kerja, lek?” kuserahkan handphone ku kepada emak. 

“Iya, Mak. Emak sehat?” 

“Alhamdulillah sehat, kamu kabarnya gimana, lek? Cucu Emak, sehat? Betah di pesantren? Jangan telat makan, badan kamu kurusan, lek,”

Kubiarkan emak dan anak sulungnya bertukar kabar. Ku goreng tempe yang telah dipotong tadi. Taufik datang dari arah pintu dapur, dengan sarung yang masih menggantung di lehernya.  Sejurus kemudian, ia pun ikut duduk disamping emak. 

“Kak, nih. Bang ilham mau ngomong,” kembaran bang Ilham itu menyerahkan handphone ku kembali. 

“Nia,” 

“Iya, Bang,” jawabku cepat, tak seperti biasanya, bang Ilham memanggil namaku. Ia tersenyum, senyum yang kini kurindukan. 

“Gimana ngajarnya? Jangan cerewet ya ngajarnya, jangan juga dipukulin siswanya,” bang Ilham tertawa, ku tampakkan wajah cemberut. 

“Nia, jangan lupa jaga kesehatan, jaga emak dan bapak, bilangin juga sama Taufik, lanjutkan sekolah. Insyaallah, Abang ada tabungan. Jangan tinggalkan sholat ya, doakan Abang sehat, lancar rezekinya,” lanjutnya.

Kulirik emak yang menghapus air matanya dengan punggung tangan, begitupun Taufik, ia tertunduk dalam. Tak sadar, air mataku pun jatuh. 

“Loh, kok nangis, kenapa dik?” 

“Nggak apa-apa, Bang. Emak lagi ngiris bawang, nih,” ujarku seraya memasang wajah sedih yang kubuat aneh, bang Ilham tertawa melihat tingkahku. 

“Yowes, Abang berangkat kerja dulu, ya. Salam sama bapak,” ucapnya seraya menutup telepon dengan ucapan salam. 

*** 

Kututup aplikasi berlogo F, beranjak ke dapur untuk mengambil minuman. 

Masih diambang pintu dapur, dering teleponku berbunyi. 

Bang Ilham menelpon.

“Assalamu’alaikum, Bang?” ucapku.

“Benar ini dengan keluarga Ilham,” suara pria yang tidak kukenal terdengar dari seberang sana. 

“I … iya. Ini siapa? Ini handphone bang Ilham, kan” tanyaku ragu, ada kecemasan terbesit di dalam hati. 

“Iya, Ilham … .” Spontan handphone yang kugenggam terjatuh setelah mendengar ucapan pria itu. 

@@@

Yeee, bersambung lagi gais,,,

Kira-kira Ilham kenapa ya? Hemm. Makan goreng pisang dulu yuk.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status