*Jangan berduka, apa pun yang hilang darimu akan kembali lagi dalam wujud lain (Jalaludin Rumi)*
***‘ORANG MISKIN (KELUARGA ARMAN) DILARANG BELANJA’
Tulisan dengan arang hitam itu terlihat jelas dimataku. Dua orang wanita yang tengah belanja segera beranjak ketika melihat kedatangan kami.
Belum sempat kakiku melangkah, cekalan tangan Taufik di bahuku membuatku menolehnya.“Biar Taufik aja, Kak.” Diraihnya batang kayu seukuran tangan orang dewasa yang ada di samping jalan setapak ini. Aku terkejut, gawat.
“Fik, jangan pakai kekerasan,” kali ini aku yang mencekal tangannya.
“Taufik!”
Suara bariton bapak terdengar dari belakang. Derapan langkah besar juga terdengar jelas menuju arah kami.
“Apakah Bapak pernah mengajari kalian seperti ini?” ucapnya pelan, tapi mampu membuatku dan Taufik berhenti untuk menghirup oksigen untuk bernafas.
“Pulang!” tambahnya lagi.
Bapak mendahului kami berjalan di depan, kulihat Taufik masih berdiri memandang kedai mbok Inah, masih menahan amarahnya.
“Ayok, Fik,” kutarik tangannya kuat, kuucapkan alhamdulillah dalam hati, ada rasa syukur yang kupanjatkan. Bahaya jika Taufik mengamuk disana, aku takut akan terjadi hal yang tidak diinginkan.
***“Apakah Bapak pernah mengajari kalian bertingkah kurang ajar terhadap orang tua?”
Setelah shalat isya, bapak dan emak memanggilku dan Taufik. Disinilah kami sekarang, ruang tamu yang berukuran tiga kali tiga, duduk bersimpuh, menundukkan kepala, tidak berani menatap bapak yang duduk tepat dihadapanku.
“Nia, kau sudah dewasa, ilmu dan adab tidak bisa terpisah. Emak tahu, kau lebih paham akan hal itu, kan, nduk,” kali emak yang berbicara. Kulirik Taufik, anak bungsu emak ini akan melempem jika sudah berhadapan dengan bapak.
“Tapi, Mak, apa yang dilakukan oleh mbok Inah sudah keterlaluan,” kuberanikan diri menatap emak.
Bapak membuang kasar nafasnya, ah, kerutan di wajahnya semakin terlihat semakin banyak.
“Pak, apa tidak sebaiknya kita menelpon Ipul?” tanya emak.
Ipul? Bukankah itu nama suami mbok Inah? Setahuku, lek Ipul bekerja jauh di pulau sumatera, sebagai sopir barang antar propinsi.
“Jangan dulu, Mak,” sela bapak cepat.
Mengapa emak ingin menghubungi lek Ipul? Ah, rahasia apalagi ini.
“Apapun yang terjadi, kita tidak boleh mendahului gusti Allah. Terserah orang mau berkata apa tentang kita. Allah itu maha kaya, nduk, bumi Allah itu luas. Umur dan rezeki tidak ada yang tahu,” ujar bapak lembut menatapku dan Taufik bergantian.
“Tidak ada yang miskin di dunia ini. Yakinlah rezeki itu jaminan Allah, karena Allah sudah mengatur dan membaginya, tugas kita cuma berusaha dan berdo’a.”
Aku semakin menunduk dalam, begitupun Taufik. Bapak tidak pernah marah dengan berkata kasar, ia hanya akan menasehati dengan bijak. Itulah yang membuat kami semakin segan dan hormat kepada bapak dan emak.
***
Ponsel ditanganku menunjukkan pukul 22.45 wib. Kucari kontak bang Ilham, mencoba untuk mengetik pesan untuk memberitahukan masalah keluargaku yang telah dikatakan mbah Sarmi. Ada kegalauan yang melanda, aku takut ini akan membuatnya khawatir dan mengganggu pekerjaanya. Mungkin bukan sekarang waktu yang tepat, pikirku. Kuletakkan kembali ponsel yang kubeli sendiri di meja belajarku dulu, buatan bapak, yang kini keempat kakinya tidak sama panjang.
Kucoba memejamkan mata, suara jangkrik menambah kantukku menjadi. Belum sampai lelapku, terdengar sayup suara orang meminta tolong. Ah, mungkin aku salah dengar, kuabaikan suara tersebut yang semakin keras terdengar.
“Tolong, kebakaran, tolong!”
Bergegas aku bangkit dari tempat tidur, kuraih jilbab yang ada di gantungan belakang pintu.
“Pak, Pak, Mak,” kupanggil kedua orang tuaku. Terlihat Taufik keluar dari kamarnya sambil mengucek mata.
“Kenapa, Kak?” tanyanya mendekat.
“Kenapa, Nduk?” bersamaan dengan emak yang keluar dari kamar.
“Ada yang minta tolong, Mak, ada kebakaran,”
Bapak keluar dari kamar, dengan tergesa membuka pintu utama dengan lebar. Terlihat beberapa warga berlari sambil berteriak minta tolong.
“Fik, ayo ikut Bapak, kamu dan Emak disini saja, tutup pintunya,”
Tanpa diperintah dua kali, Taufik segera menyusul bapak, diraihnya senter yang ada di cantolan tiang dinding rumah. Kulihat kesibukan warga di luar, langit yang semula gelap kini berwarna jingga oleh kobaran api.
“Mak, bukannya itu dari kedai mbok Inah?” tanyaku sambil menunjuk arah api yang terlihat di langit malam.
“Hus, jangan berkata yang tidak-tidak, kita tunggu bapakmu pulang, biar jelas,”
Kututup pintu, emak pun berlalu ke dapur. Sepertinya memang benar, itu kedai mbok Inah. Karena hanya tiga rumah disana, yang satu rumah mbak Asih, rumah yang sudah lama ditinggal oleh pemiliknya, karena tinggal di luar pulau jawa. Sedangkan rumah lainnya, disebelah kedai mbak Inah, adalah rumah yang belum siap dibangun.
*** Sudah pukul dua belas lewat lima menit, tapi bapak dan Taufik belum kembali. Emak sedari tadi membaca mushafnya, setelah melaksanakan shalat malamnya. Keributan warga juga tidak terdengar seperti sebelumnya.“Assalamu’alaikum,” suara Taufik terdengar dari luar. Bergegas kubukakan pintu.
“Rumah siapa yang terbakar, Fik,” ku ajukan pertanyaan dengan segera.
Taufik masuk tanpa bersuara, seorang diri.
“Bapakmu, mana, lek?” tanya emak
Taufik berlalu kedapur, sepertinya ia kehausan, terdengar dari air yang dituang kedalam gelas.
“Kedai mbok Inah, Mak,” ucap Taufik pelan.
“Astagfirullah,” ujarku dan emak berbarengan
“Mbok Inah lupa matikan tungku api yang ada di luar rumahnya, yaaa, terus terbakar,” jelas adik bungsuku itu. Kulihat pakaian yang dikenakannya kotor oleh debu dan arang hitam.
“Lah, terus, Bapakmu, dimana?” tanya emak yang sudah duduk disebelah Taufik.
Taufik menghela nafas panjang, ada kegelisahan di wajahnya.
“Bapak … .” ucapan Taufik terhenti, kala terdengar suara ketukan dari arah pintu luar.
“Assalamu’alaikum,” suara Bapak, batinku.
“Bapak!” teriakku. Aku terkejut melihat kondisi bapak, yang berdiri di depan pintu. Sebuah perban sudah melekat mengelilingi kepalanya. Tangisku pecah, kupeluk bapak.
“Sudah, sudah, Bapak gak apa-apa kok, nduk,” ujarnya sambil membelai kepalaku yang masih tertutup jilbab. Setelah kutuntun bapak ke kamar, bapak mulai bercerita, mengapa ia bisa mendapatkan cedera. Emak menghapus air matanya yang terjatuh dengan ujung mukenanya. Ya Allah, inikah balasanMu, maafkan kami yang telah mendahului kuasa-Mu.
***Kusapu halaman rumah, cahaya mentari terasa hangat di tubuhku. Hari minggu yang cerah, batinku. Sudah dua hari berlalu, sejak kejadian kebakaran di rumah mbok Inah.
Sehari setelah kebakaran, aku dan emak melihat kedai mbok Inah. Alhamdulillah, kedai mbok Inah tidak ikut terbakar, tapi rumah yang ditinggalinya yang posisinya tepat di belakang kedai, habis terbakar. Tapi karena warga sigap, barang-barang berharga mbok Inah berhasil diselamatkan.“Assalamu’alaikum,” seorang pria mengucapkan salam di pintu pagar kayu rumahku.
“Wa’alaikumsalam,” jawabku.
“Ini pasti, Nia, kan?” tanyanya seraya mendekat.
“Iya, maaf. Bapak siapa ya?”
“Nia, ini lek Ipul.”
Ipul? Suami mbak Inah? Bukannya ada di pulau sumatera? Ah, pasti lek Ipul pulang karena kejadian yang menimpa rumahnya.
“Bapak, ada?” sambungnya.
“Ada, lek. Masuk, lek, bapak ada di belakang.” Kutinggalkan sapu di sisi rumah, dan mempersilahkan lek Ipul untuk masuk.
“Duduk dulu, ya lek. Nia panggil bapak kebelakang,” kutinggalkan lek Ipul yang duduk di tikar yang terpasang di ruang tamu.
Kupanggil yang tengah berjemur, perban masih menutupi kepalanya. Bapak masuk, melewatiku yang sedang membuat teh untuk lek Ipul.
Langkahku terhenti, gelas di tanganku hampir saja terjatuh. Mboh Inah? Sejak kapan ia duduk di sebelah lek Ipul. Kuhidangkan satu gelas teh ke hadapan laki-laki yang masih terbilang muda itu.
“Nduk, buatkan minumannya satu lagi, dan panggil emakmu di rumah mbah Sarmi,” ucap bapak lugas.
Aku beranjak ke dapur, menuangkan sisa teh yang kubuat tadi ke dalam gelas. Setelah menghidangkan ke wanita berbadan tambun tersebut, bergegas aku memanggil emak. Sebelumnya, emak berpamitan pergi ke rumah mbah Sarmi untuk mengembalikan piringnya, setelah sebelumnya memberikan ikan gulai kerumahku.
Kupercepat langkahku, dengan sedikit berlari. Sampai dihalaman rumah mbah Sarmi, kupanggil emak.“Mak, Mak.”
Terlihat pintu rumah mbah terbuka, seorang wanita berkerudung hitam tampak keluar dari pintu.
“Nia, ga sopan teriak begitu dirumah orang, nduk,” emak memakai sandalnya dan menghampiriku.
“Hehe, maaf, Mak. Soalnya ada yang sangat penting, dan kita harus bergegas pulang, Mak. Bapak udah nungguin,” ucapku seraya menuntun emak berjalan cepat.
“Bapak? Bapakmu kenapa, nduk?” raut kegelisahan terlihat di wajahnya.
“Bapak gak kenapa-kenapa, Mak. Ada tamu yang akan buat emak terkejut,” ujarku sambil tersenyum manis, sengaja alis kunaik turunkan.
Dari kejauhan, terlihat Taufik baru memarkirkan kendaraan roda dua bapak di samping rumah.
“ Kenapa, Kak? Terburu-buru amat jalannya,” ucapnya, setelah aku mengikutinya menuju pintu belakang. Emak sudah masuk melewati pintu depan.
“Sshhtt,” ku acungkan telunjuk ke mulutnya.
“Jangan berisik, ada mbok Inah dan lek Ipul didalam. Ayo, ikuti Kakak,” ujarku, seraya melangkahkan kaki ini pelan, menuju dapur melalui pintu lain dari rumah ini.
Disinilah aku dan Taufik, mendekatkan telinga kami untuk mendengar pembicaraan bapak dan tamunya. Padahal aku tahu ini salah, tapi rasa penasaran mengalahkan rasa bersalah itu. Terdengar mbok Inah menangis, mengucapkan kata maaf berulang kali. Sampai di satu kalimat terdengar dari mulut bapak, yang membuatku berteriak.
“Apa?? ”
@@@
Hayooo,, kira-kira apa ya yang diucapkan bapak?bersambung dulu gaes,,, 😊😊😊
hehehe🥰*Ilmu itu lebih baik daripada harta karena harta itu harus kamu jaga, sementara ilmu akan menjagamu.* - Ali bin Abi Thalib***Suara tangisan mbok Inah yang mengucapkan kata maaf, terdengar sampai ke dapur. Hingga bapak mengucapkan suatu kalimat yang membuatku terkejut.“Apa??” teriakku, Taufik seketika langsung membekap mulutku sambil melototkan matanya.“Nia, Taufik, kemari!” panggil bapak tegas.“I … iya, Pak,” Taufik menoyor kepalaku pelan, ia berjalan mendahuluiku.“Duduk!” perintah bapak ketika kami sudah berada di ruang tamu.“Kamu, Nia. Minta maaf sama Inah, atas apa yang telah kamu lakukan di surau.”Jika bapak sudah menyatakan pendapatnya pada kami, berarti itu adalah suatu perintah yang harus segera dilaksanakan. Kulihat emak, sebagai tanda protes. Emak hanya mengangguk, menyetujui kalimat bapak. Kuperba
*Jadikan akhirat di hatimu, dunia di tanganmu, dan kematian di pelupuk matamu.* - Imam Syafi’i***Emak mengenakan gamis putihnya, lengkap dengan jilbab instan dengan warna senada, pakaian hari raya Idul Fitri tiga tahun yang lalu, katanya. Baju yang aku dan bang Ilham beli dan kirimkan ke emak dikampung.Ada senyum yang selalu melekat di wajahnya, senyum yang sulit diartikan. Begitupun bapak, sejak siang tadi ia selalu berdiri di depan pintu, pun menggunakan pakaian warna senada dengan emak. Kopiahnya pun tak pernah terlepas sejak tadi.Taufik tidak terlihat, kata bapak, ia akan sibuk untuk sementara waktu. Aku duduk di sudut ruangan tamu ini, memeluk lutut seraya terus memperhatikan jam dinding berputar.Ah, padahal katanya, paling lama tiga jam lagi ia akan sampai, tapi, rindu ini sudah tidak bisa kutahan. Jam pun seakan enggan untuk berputar.***"Nia, ayo sholat ashar dulu,"
*Segala perbuatan sekecil apapun, nantinya pasti akan dipertanggungjawabkan****Gubrak, terdengar seperti ada barang yang terjatuh.Bergegas kulihat sisi rumah, Taufik mengikuti, ternyata emak menjatuhkan sampah yang ada dalam karung."Emak kenapa?" kubimbing emak berjalan memasuki rumah melalui pintu dapur. Taufik kembali mengumpulkan sampah yang sedikit berserakan."Emak duduk aja, biar Nia dan Taufik yang beberes." Wajah emak masih meyiratkan kesedihan, terlihat jelas ada kerinduan dimatanya."Emak nggak kenapa-kenapa, nduk. Oia, sudah beberapa hari ini kamu izin tidak sekolah. Apa tidak jadi masalah?""Alhamdulillah, sekolah kasih izin untuk cuti selama tujuh hari, Mak. Besok Nia juga udah kembali mengajar," jelasku.Sepertinya nanti saja aku tanyakan kembali perihal surat Taufik, masalah pendaftaran sekolahnya harus segera cepat diselesaikan."Assalamu'alaik
*Kekayaan, umur, dan popularitas itu seperti minum dari air lautan yang asin. Semakin kau minum, semakin haus yang kamu dapatkan.* - Shaykh Ahmad Musa Jibril***“Taufik!”Seorang pria bertubuh tambun, telah berdiri di hadapan kami. Wajahnya menahan amarah, terlihat jelas juga dari gestur tubuhnya.“Bilang sama bapakmu yang miskin itu, apa maksudnya ia menemui camat Jatisari? Kau pikir aku takut, hah!?” ucapnya emosi.Aku dan Taufik segera bangkti dari duduk.“Ck, kalau bapak tidak takut, kenapa sekarang, Bapak seperti cacing kepanasan?” tantang Taufik, ia membusungkan sedikit dadanya.“Apa kau bilang?! Anak bau kencur seperti mu tidak pernah diajari sopan santun, apa? Dasar miskin akhlak, cuih!” ludahnya ke sembarang temp
*Sifat utama pemimpin adalah beradab dan mulia hati.* - Abu Hamid Al Ghazali@@@"Fik, kapan rencana kamu, ke kampus?" tanyaku, seraya menggunakan sepatu sekolah. Hari ini, aku akan berangkat ke sekolah dengan Intan.'Besok, aku jemput ya' pesannya semalam."Insyaallah, lusa Taufik akan berangkat, Kak,""Oke,"Intan telah berdiri di hadapanku, menggunakan gamis berwarna maroon, ia terlihat makin cantik dengan jilbab dengan warna senada."Loh, kok nggak pakai baju dinas,Tan?" tanyaku seraya berjalan beriringan, menuju motornya yang telah terparkir di halaman rumah."Nanti sepulang sekolah, aku mau ke kecamatan. Mau menyerahkan undangan," ungkapnya seraya menghidupkan motor."Undangan?""Hehe
*Seorang muslim tak akan pernah meninggalkan muslim yang lain yang sedang tak berdaya saat dibutuhkan.*@@@[Nia, jam sembilan aku jemput ke rumah, ya], Intan mengirimiku pesan, setelah sebelumnya ku tunaikan sholat subuh terlebih dahulu.[Nggak usah, Tan. Nanti aku diantar sama Taufik saja. Dia juga sekalian mau keluar], send, langsung tercentang biru.[Oke, deh. Dandan yang cantik ya, bentar lagi jumpa sama babang ganteng], diakhiri pesannya dengan emot love. Tidak ku balas lagi pesan Intan, setelah mendengar emak memanggilku.“Nduk, jam berapa kamu ke sekolah?” tanya emak yang sudah berdiri didepan pintu kamarku.“Jam sembilan, Mak. Kenapa, Mak?”“Oh, soalnya emak belum masak kalau kamu perginya sepagi ini,” ujarnya meninggalkanku. Ku Ikuti langkah em
“Kau?!” pak Gunawan mengacungkan jarinya ke arahku.Keadaan berubah menjadi tegang, Bang Satria yang tidak tahu menahu pun menatap kami secara bergantian. Intan tampak menahan emosi, tangannya ikut terkepal.Sejak mengetahui kelakuan pak Gunawan terhadap keluargaku, bendera perang pun sekarang siap aku kibarkan."Pak, apa anda tidak malu, membuat keributan di depan umum? Oh, atau biar sekalian saja, pak Camat tahu kelakuan Bapak yang sebenarnya," ucapku santai.Pak Gunawan seketika tersadar atas kelakuannya, dia menurunkan tangannya dari wajahku."Pak Gunawan, ada masalah apa dengan saudara Nia?" tanya bang Satria."Eh, itu Pak, itu … . Tidak ada Pak, tidak ada masalah apa-apa," ucapnya gelagapan."Saya duluan, Pak," ujar pak Gunawan berlalu tanpa menunggu ja
Brak!Semua mata mengalihkan pandangannya ke arah pintu yang dibuka secara paksa. Pak Gunawan berdiri dengan wajah merahnya, emosi sudah menguasai tubuhnya."Siapa yang menangkap anak saya?" Sebuah pertanyaan yang entah kepada siapa ia ajukan. Pak Gunawan berjalan cepat ke arahku."Kamu, lagi? Keluarga miskin yang selalu mengganggu!" ucapnya."Pak, mohon maaf. Jika Bapak membuat keributan disini, maka kami tidak akan segan, untuk menangkap Bapak," ujar seorang polisi yang sudah berdiri di samping pak Gunawan."Halah, kamu tidak perlu menasehati saya, masih pangkat rendah saja, sok-sokan mau menasehati orang tua," kali ini, telunjuknya sudah di hadapan perwira polisi tersebut, memang, dilihat dari seragamnya ia masihlah berpangkat Inspektur Polisi Dua.Pak Gunawan sepertinya tidak gentar mendapat teguran dari polisi tersebut