Zhang Yuan, anak kedua dari jenderal Zhang Jin sudah terkenal dengan kehidupan bebas dan santai. Dia bahkan tak peduli jika setiap hari harus berdebat dengan ayahnya karena hanya mabuk-mabukan. Keberanian ini dia dapatkan dari Wu Huan yang selalu menuruti keinginan dan membela setiap tindakkan salah yang dilakukan oleh Zhang Yuan.
“Apa maksud Ayah?” Zhang Yuan menoleh lagi ke samping di mana papan roh yang bertuliskan nama jenderal muda Zhang Fei membuat matanya berkaca-kaca.
Tamparan dari Zhang Jin sepertinya telah menyadarkan dia dari pengaruh alkohol. Sosok kakak yang selalu pulang dengan kemenangan peperangan kali ini hanya membawa tubuh tanpa jiwa.
Zhang Yuan berjalan kaku. Dia tersungkur di samping Wu Huan yang sedang terisak menahan tangis.
“Ibu ... apa dia benar kakakku?” Zhang Yuan menoleh ke samping dan menoleh lagi melihat kediamannya yang dipenuhi dengan suasana duka.
“Tidak! Ini tidak mungkin! Kakakku petarung yang hebat, dia jenderal muda yang berbakat. Tidak mungkin meninggal!”
Zhang Yuan menguatkan diri dan berdiri menghampiri peti mati di hadapannya. Dengan cepat dia membuka tutup peti dan mendapati tubuh sang kakak yang sudah memucat dan tak bernapas lagi.
“Kakak!” Teriakkan Zhang Yuan diiringi dengan tangisnya yang pecah. Dia tersungkur di bawah peti sambil memukul lantai yang keras. Rasa sakit di tangannya bahkan tak terasa lagi saat mengetahui kenyataan yang sebenarnya.
Bayangan wajah Zhang Fei muncul dalam benaknya dengan rupa pahlawan yang pemberani. Bahkan lelucon yang sering dia lakukan di hadapannya muncul bagai kenangan yang hanya bisa diingat dalam pikiran.
“Pelayan! Bawa Tuan muda kedua ke kamarnya dan bersihkan segala kekotoran yang menempel di tubuhnya. Aku tak mau aroma busuk tercium di samping peti mati jenderal muda!” pinta Zhang Jin dengan wajah datar.
Usai pemakaman anak tertua dari jenderal Zhang Jin, suasana duka masih menyelimuti kediaman. Zhang Yuan duduk bersujud sambil memandang papan roh Zhang Jin dengan mata yang sembab.
“Tak ada gunanya kau berlutut di sini. Bahkan sampai air matamu habis, kakakmu tak akan pernah kembali!” Zhang Jin yang sudah beberapa kali datang menemuinya malah menjadi kesal melihat air mata Zhang Yuan yang terlalu berlarut. Baginya seorang prajurit yang mati di medan perang adalah kemuliaan yang sangat besar. Meski dalam hati dia begitu merasa kehilangan dengan anak kebanggaannya, tapi sebagai jenderal besar dia telah tahu akan ada hal ini yang menimpa anaknya.
Zhang Yuan tak membalas perkataan ayahnya, dia membungkam hingga sang ayah tak tahan melihat sikapnya dan pergi dari sana.
Kematian sang kakak membuat Zhang Yuan berpikir kalau ayahnya pasti akan meminta dia untuk bergabung dengan prajurit, karena sang kakak telah tiada maka dia satu-satunya anak yang harus mengangkat martabat keluarga jenderal besar kerajaan Song.
***
“Di mana anak itu?!”
“Suamiku, dia belum terbiasa bangun di jam seperti ini. Lagi pula ini masih terlalu pagi baginya,” bujuk Wu Huan dengan suara pelan sambil menyuguhkan secangkir teh ke hadapan Zhang Jin untuk menenangkan kekesalannya.
Pagi ini entah sudah berapa kali pelayan membangunkan Zhang Yuan, tapi jawaban mereka tetap sama. Zhang Yuan malah memarahi mereka dan menutup pintunya dari dalam kamar. Wajar saja emosi Zhang Jin meluap-luap karena tingkah laku Zhang Yuan telah melewati batas.
“Pelayan!” teriak Zhang Yuan membanting cangkir yang baru saja dia pegang ke atas meja hingga membuat Wu Huan mengerjapkan matanya karena terkejut.
“Dobrak pintu kamar anak tak bermoral itu dan seret dia kemari! Jika kali ini kau tidak membawa anak durhaka itu kemari, maka kepalamu akan kupisahkan dari tubuh!”
Bahkan seorang pelayan yang mendengar pinta dari Zhang Jin menjadi gemetar ketakutan. Lelaki itu pergi dengan cepat menemui Zhang Yuan. Pintu kamar Zhang Yuan didobrak sesuai dengan perintah Zhang Jin.
“Hei! Ada apa ini? Siapa yang memberikanmu keberanian untuk mendobrak kamarku? Apa kau ingin mati?!”
“Tu-tuan muda kedua, Tuan jenderal telah berkali-kali memanggilmu. Kali ini Tuan sangat geram dan memintaku untuk mendobrak pintu kamar dan menyeret Tuan muda.”
Zhang Yuan yang masih berbaring sontak bangun dan duduk di tempat tidur dengan menopangkan tangannya di atas lutut. “Menyeretku? Kau berani?” tanya Zhang Yuan menatapnya tajam.
“Maaf Tuan muda, aku terpaksa harus melakukannya jika Tuan muda tak mau.”
Zhang Yuan masih berdiam diri dengan wajah angkuh hingga membuat pelayan lelaki itu berjalan menghampirinya.
“Jika kau melangkah sekali lagi maka aku akan membunuhmu!”
“Tuan muda, ampuni aku. Aku hanya mengikuti perintah jenderal besar. Nyawaku juga terancam di sana sini,” ucap sang pelayan dengan berlutut dan membungkuk.
“Berdirilah! Aku akan pergi sendiri!” Tak ingin menghabisi nyawa seseorang, terpaksa Zhang Yuan pergi menemui ayahnya tanpa berpakaian dengan sempurna.
Begitu sampai di hadapan kedua orang tuanya, Zhang Yuan menguap dan memberi salam dengan asal-asalan di hadapan mereka. “Ayah, Ibu, aku datang.”
“Bagus, kau masih menganggapku sebagai ayahmu! Kalau begitu, mandi dan bersiaplah. Kereta sudah menunggu di depan gerbang,” ucap Zhang Jin dengan wajah datar.
“Kereta? Kita mau ke mana?” tanya Zhang Yuan yang bingung, sebab ayahnya tak pernah mengajaknya untuk bepergian.
Semua orang terperangah melihat kaisar Qin Huang yang seharusnya tak boleh ada di situasi berisiko seperti ini. Perintah untuk menangkap permaisuri Xun Yan dan Ma Jun segera dilakukan oleh prajurit yang dipimpin He Qianfan. Namun sayang tindakan itu berakhir gagal sebab kerumunan rakyat yang berlari dari arah berlawanan, menghalangi pasukan He Qianfan yang berusaha mengejar Ma Jun dan Xun Yan. Sementara itu Zhang Yuan justru terdiam melihat pemandangan di depan mata. Ma Jun dan Xun Yan berlari begitu cepat, hingga berhasil bergabung dengan pasukan musuh. Sedangkan Qin Huang terlarut dalam kegeraman, dia memerintahkan jenderal memimpin pasukan dan menangkap kembali kedua tahanan kerajaan yang meloloskan diri dengan cara apa pun. “Panglima Zhang, kau berani meloloskan tahanan kerajaan!? Apa perintahku sama sekali tidak kau anggap!?” Qin Huang menatap geram ke arah Zhang Yuan. Zhang Yuan menundukkan wajah dan mengakui kesalahan. Namun emo
Pesan yang tertulis di atas kertas membangkitkan kegeraman. Ekspresi Zhang Yuan berubah, kertas dicengkeram kuat hingga tangannya bergetar. “Ada apa panglima Zhang?” tanya jenderal ikut merasa penasaran melihat ekspresi Zhang Yuan. “Mereka meminta kita untuk menyerah. Jika tidak, akan ada kiriman tubuh tak bernyawa lagi setiap dua jam!” “Sialan! Mereka benar-benar tidak manusiawi!” umpat jenderal menahan geram, “apa panglima Zhang punya rencana lain?” Zhang Yuan terdiam sejenak. “Mau mengancamku? Baik!” Zhang Yuan memerintahkan Chen Changyi untuk membawakan pesan ke pihak musuh menggunakan ancaman balik dengan menggunakan nyawa Ma Jun dan permaisuri. Suasana menjadi semakin tegang ketika dua jam berlalu. Kali ini tubuh tak bernyawa seorang wanita muda dan anak kecil yang dikirimkan oleh seekor kuda. Namun Zhang Yuan masih tetap tidak memberi perintah penyerangan hingga menimbulkan perdebatan dengan jenderal.
“Jenderal, kau mencariku?” Pertanyaan Zhang Yuan tak dijawab. Dilihatnya ke mana tujuan arah pandangan mata jenderal. Di ruangan lain, tampak Ma Jun tengah diinterogasi dengan paksaan dan siksaan agar pertanyaan dari seorang prajurit dijawab. Jeritan memekik setiap kali satu layangan cambukkan mengoyak tubuh Ma Jun. “Dia sangat gigih!” jenderal menoleh ke samping lalu melanjutkan perkataan, “sejak tadi dia meminta untuk berbicara denganmu, panglima Zhang.” Zhang Yuan mengangguk singkat lalu berjalan meninggalkan jenderal menuju ke ruangan dimana Ma Jun sementara disiksa. Dengan wajah lebam dan tubuh terluka seperti itu, Ma Jun masih begitu gigih. Ekspresi wajahnya berubah saat kedatangan Zhang Yuan disadari. “Tinggalkan kami berdua.” Tak peduli seperti apa ekspresi Ma Jun padanya, Zhang Yuan hanya diam dalam tatapan dingin. Kini di dalam sana hanya tersisa Zhang Yuan dan Ma Jun. Dua pasang mata saling menatap lama
Terasa nyeri hebat dipunggung akibat benda pipih dan tajam. Nyeri semakin bertambah saat benda yang telah menembus daging ditarik kembali. Zhang Yuan berbalik. Ditatapnya wajah ketakutan dari perempuan yang memegang belati berdarah. “Kak Zhang!” seru Liu Bai dengan suara lantang. Dia berlari cepat dari kejauhan diikuti beberapa prajurit di belakang menuju ke arah Zhang Yuan. “Tangkap dia!” pintah Liu Bai dengan wajah panik memeriksa luka tusukan di punggung Zhang Yuan. Sementara Liu Bai memeriksa punggung Zhang Yuan yang terluka, Zhang Yuan memerintahkan para prajurit untuk melepaskan perempuan yang menusuknya. “Liu Bai, aku tidak apa-apa. Luka ini sama sekali tidak berpengaruh bagiku.” “Tidak bisa! Melukai pejabat penting kaisar hukumannya adalah kematian! Bunuh dia!” bantah Liu Bai memandang serius ke arah prajurit. “Liu Bai! Sudahku bilang jangan mengikutiku!” bisik Zhang Yuan menetapkan sorot mata tajam menata
“Ma Jun….” seorang prajurit muncul dari belakang prajurit lainnya, “kau terlalu menyulitkan panglima Zhang. Berikan dia waktu lebih lama untuk memikirkan tawaranmu.” Sosok yang muncul dan berucap menyela Ma Jun menjadi pusat perhatian semua orang. Jika tidak mengenali suara, Zhang Yuan tentu tak tahu kalau yang berbicara adalah permaisuri Xun Yan. Memakai pakaian lelaki, tatanan rambut lelaki, wajah tanpa riasan telah mengubah penampilan keagungan Xun Yan. “Permaisuri Xun Yan, akhirnya kau muncul juga. Aku memang sengaja menunggumu.” Sudut mulut Zhang Yuan melengkung kecil. “Zhang Yuan, aku sedang mengandung keturunan kaisar. Jika nyawa mereka sama sekali tidak bisa memaksamu, bagaimana dengan keturunan kaisar? Apa kau mau membinasakan keturunan kaisarmu!?” “Baik! Kalau begitu, aku ingin lihat seperti apa cara permaisuri membinasakan keturunan kaisar. Apakah dengan racun? Atau kau ingin menusuk perutmu sendiri dengan pedang?"
Lama menunggu pergerakkan di dalam hutan, akhirnya bayangan salah satu prajurit seratus muncul menunggangi kuda dengan membawa informasi keadaan di dalam hutan. Tak menyangka perangkap yang ditujukan untuk menyerang pasukan musuh malah harus dibatalkan sebab Ma Jun menjadikan rakyat yang disanderanya sebagai tameng. Liu Bai dan kedua komandan tidak berani mengambil risiko, mereka menunggu Zhang Yuan untuk memberikan perintah. Zhang Yuan mendengus remeh, ”lakukan penyerangan! Perintahkan komandan Liu Bai melindungi para sandera dari jauh, sedangkan ketiga komandan lainnya jalankan perintah sesuai rencana!” Suara keributan dari dalam hutan terdengar. Dentingan pedang berirama tak beraturan memberikan berita secara tak langsung bahwa pertempuran sedang terjadi di dalam sana. Semakin lama keributan yang berasal dari dalam hutan terdengar begitu jelas, hingga bayangan prajurit seratus muncul di depan mata. Dengan langkah berhati-hati mereka b