Maddox membeku di kursinya. Kisah itu tidak pernah ada dalam bayangannya selama ini. Berharap semua dugaan adalah hasil dari imajinasinya semata, ternyata apa yang Maddox perkirakan benar-benar terjadi. “Perempuan yang menculikku adalah kekasih Joe yang dendam, karena aku selalu membuat kekasihnya berkhianat. Aku tidak pernah tahu jika Joe memiliki wanita yang begitu mencintainya.” Foxy menatap Maddox. “Rasanya memalukan untuk mengakui, bahwa aku pernah menjalani hubungan dengan seseorang yang akhirnya menjadi pembunuh Josh. Aku hanya ingin menjauhi masalah, Mad. Berbohong adalah kesempatanku untuk tetap memiliki nama bersih.” Perasaan detektif itu benar-benar kebas dan hatinya bingung, harus memilih reaksi yang mana? “Jadi Joe adalah bekas kekasihmu?” tanyanya. “Aku … ya, dia adalah orang yang pernah dekat denganku.” Foxy tidak bisa mengelak. Maddox mengusap wajah, menggelengkan kepala seperti ingin menyingkirkan segala hal yang membuatnya berspekulasi liar. “Alasan dia mengej
Pria yang seharusnya sudah menikmati masa tua dengan tenang itu tampak bersantai di teras rumah mewahnya, di sebuah kota yang tersembunyi. Tidak ada satu pun yang mengetahui keberadaan dia, sebab Russel memiliki begitu banyak musuh yang mengincar dirinya. Sebagai pria yang tidak pernah memiliki keluarga apalagi menikah, Russel hanya mempunyai Joe sebagai satu-satunya anak asuh. Joe telah mendapat didikan yang begitu keras dan mungkin menjadi manusia yang paling mengerti juga paham akan dirinya. Semenjak ia mengangkat Joe menjadi orang kepercayaan, Russel selalu melihat jika pria itu bisa menjadi sosok anak yang dirinya inginkan. Joe memiliki sifat pemberani dan tidak pernah peduli akan bahaya. Caranya mencapai tujuan juga begitu unik sekaligus menakutkan. Joe Black tidak akan pernah mewakilkan siapa pun juga untuk menuntaskan keinginannya. Russel menyukai prinsip dan kepribadian Joe. Akan tetapi, sejak puluhan tahun berlalu, Russel mulai ingin mewariskan semua yang telah ia bangu
Seorang wanita panggilan yang sepertinya berkelas memasuki sebuah kamar hotel bintang lima. Dengan dandanan yang seronok dan tubuh hasil dari goresan pisau operasi, wanita itu tersenyum samar pada Joe. “Kau terlambat,” ucap Joe, sembari memandang dengan wajah angkuh serta dingin. “Jangan terlalu cepat emosi. Kau tahu aku harus menyelesaikan beberapa hal. Kau bukan dan tidak akan pernah jadi prioritasku, Joe.” Wanita itu segera melepas bajunya satu persatu hingga tinggal baju dalam. Dengan sepatu hak tinggi berujung runcing, ia berjalan menuju ke meja bar dan menuangkan minumannya sendiri. “Tidak kusangka kau masih saja mau melayani mereka.” Joe melepas jaket dan melemparkan bantal begitu saja di lantai. Shelby, nama perempuan itu, menoleh dan melirik Joe dengan senyum sinis. “Aku selalu butuh materi untuk membiayai hidupku. Lagi pula, jika aku berhenti, kalian akan kesepian.” Bentuk tubuh yang indah itu begitu menawan dan mengundang hasrat Joe yang memang sengaja mengundangnya u
Joe Black Mobil pickup itu berhenti dan menyebabkan debu beterbangan. Dengan langkah pelan dan siaga, Joe keluar serta memandang dengan mata terpicing ke arah pondok yang temboknya terbuat dari batu tersebut. Suasana sekeliling tampak sepi dan rumah itu hanya satu-satunya yang berdiri di sana. Ada beberapa pohon besar yang menaungi dan sedikit memberi keteduhan di tengah teriaknya matahari. Pintu kayu itu tertutup rapat dan tidak ada tanda-tanda keberadaan penghuni. Joe mengintip ke dalam kaca jendela kotak. Gelap. Tangannya mengetuk hingga berulang kali dan tidak ada jawaban. Joe dengan kesal mengumpat dan kesabarannya habis. Ia berjalan memutar dan tidak menemukan satu pun pertanda keberadaan Maowi. Hatinya semakin jengkel dan kesal. Akhirnya, dia menendang pintu dapur dan masuk ke dalam. Tungku yang masih menggunakan kayu bakar itu terlihat baru saja dipadamkan. Asapnya mengepul dalam kabut putih tipis. Joe mencabut pistolnya sembari terus melangkah ke satu persatu ruang
Tangan Maddox masih mengetik dengan cepat untuk membuat laporan sementara di dalam kamar tamu, rumah Tim. Sudah hampir sebulan ia tidak kembali ke apartemennya dan itu membuat Maddox geram. Begitu banyak hal yang ia lakukan demi Foxy, tapi wanita itu kini menjadi manusia yang paling ingin dia hindari. Maddox tidak bisa menerima, jika Foxy ternyata terlibat cukup serius dalam kemelut ini. Memang awal mula dulu Maddox mencurigai, namun seiring dia mengenal dan bersama-sama dengannya, pikiran itu berubah. Foxy tidak lebih dari seorang wanita yang terjebak oleh hutang budi. Dia terlanjur terjerumus ke dalam dunia gelap Josh tanpa memiliki kesempatan untuk menghindar. Antara khawatir ia akan menemui kenyataan yang lebih pahit lagi, Maddox membiarkan semua hal mengenai Foxy tersimpan dalam-dalam. Ia ingin menemui Jimmy kembali untuk menyelusuri di mana Russel berada. Di tengah dia berpikir tentang daftar pertanyaan untuk Jimmy, lintasan Foxy melintas. Maddox mengumpat pelan, atas rasa pe
Malam baru saja menyingkirkan sore. Maddox kembali dari tempat Jimmy dengan tampang kusut. Pamela menawari untuk makan malam, tapi pria itu justru membereskan semua pakaian dan berpamitan untuk kembali ke apartemennya. Tim yang baru saja selesai menelepon, mengernyitkan dahi dengan tatapan menyelidik. “Ada apa, Mad? Peter baru saja memberitahu jika Chris yang sekarang menjadi penjaga Foxy. Ada apa ini? Kenapa aku baru tahu? Aku adalah kapten kalian, tapi semua terjadi seperti di luar kendaliku!” Tim juga terdengar kecewa. Maddox menghela napas dengan raut yang masih muram, ada sesuatu yang menganjal dalam hatinya. “Kau harus tanya pada Peter dan Foxy sendiri. Aku tidak akan mencampuri lagi urusan tentang perlindungan saksi.” Maddox tidak sedikit pun menatap Tim. “Tapi kau bisa memberitahuku siang tadi, Mad!” tuntut kaptennya. “Sejak kapan aku menjadi siswa teladanmu, Tim? Bukan aku yang menyalahi dan mengubah aturan! Chris dan Peter, bosmu, yang mengacaukan segalanya!” pekik Mad
Apartemen yang baru saja ia sewa tersebut akan menjadi tempat tinggal sementara. Claire telah mengurus semuanya dan Foxy membutuhkan tempat baru untuk meninggalkan jejak dari semua orang yang mencoba mengejar dirinya saat ini. Entah itu Joe, bekas kekasihnya, Maddox, detektif yang cukup membuatnya menjadi pribadi yang berbeda, atau pihak yang mengincar dirinya demi sebuah informasi. Chris terdengar bersiul dari arah dapur. Foxy membetulkan posisi kakinya dengan gerakan hati-hati dan sangat pelan. Lukanya mulai sembuh, tapi dia tahu jika ini akan berlangsung bulanan untuk benar-benar pulih seperti semula. “Perawat akan datang sepuluh menit lagi dan semoga semua yang aku siapkan cukup.” Claire muncul dari kamar Foxy dengan selimut kecil di tangan. Dengan cekatan, sekretarisnya menyelimuti kaki Foxy yang sedang setengah berbaring di sofa. “Aku membenci siulannya,” bisik Foxy dengan ekspresi kesal, seraya melirik ke arah dapur. Claire tersenyum miring seperti mencibir. “Karena kau t
Maddox berhasil mendapatkan dukungan dari Tim untuk menggunakan helikopter demi menyelamatkan Daniel malam itu. Begitu pihak hotel memberikan persetujuan, Maddox mendarat di rooftop hotel bintang lima. Detektif itu menemui Daniel di kamar yang terlihat ketakutan. “Kau terluka!” seru Maddox. Pemuda itu menepis tangan Maddox yang mencoba memeriksa goresan di pipinya. “Bukan apa-apa. Dia berhasil menghantamku sedikit,” sahut Daniel. Maddox mengangguk dan segera mengajaknya untuk bergegas ke landasan heli malam itu juga. Keduanya segera meninggalkan Seattle menuju Las Vegas. Selama perjalanan, Daniel terlihat termenung dengan wajah tertekan. Maddox sangat iba padanya. Anak itu tidak seharusnya mengalami hal ini. Kehilangan orang tua saja sudah cukup berat dan kini harus menghadapi satu persatu musuh ayahnya yang terus mengejar. Jika saja Foxy menyingkirkan sedikit egonya, mungkin masalah ini tidak akan berlarut-larut. “Aku tidak ingin menemui Foxy!” seru Daniel saat mereka sampa