Majalah Online Feminim
Runner Up Asia Top Model Bertunangan
Siapa yang tidak mengenal Allena Rheanatha, model cantik asal Surabaya, mantan runner up Asia Top Model 2015 ini sudah sering melenggok di catwalk event-event busana ternama. Tak hanya itu beberapa judul FTV pun pernah dibintanginya bersama artis-artis ternama. Beberapa waktu yang lalu Allena dikabarkan telah bertunangan dengan kekasihnya yang merupakan seorang pengusaha IT di Surabaya. Usut-diusut ternyata Allena dan tunangannya telah berpacaran cukup lama. Salah satu teman baik Allena bahkan mengatakan bahwa mereka telah berpacaran sejak SMA, hanya saja putus nyambung.
Saat dikonfirmasi tentang kebenaran pertunangannya, Allena tidak menampik. Dia bercerita bahwa kekasihnya yang akrab dipanggi Jo alias Jonathan Aldebaran telah melamarnya beberapa waktu lalu. Lamaran yang sederhana dan hanya melibatkan mereka berdua. Namun meski mereka telah bertunangan, Allena tidak bisa memberitahu kapan mereka akan meresmikan hubungan mereka. Allena saat ini sedang sibuk dengan job-nya di luar kota, begitupula dengan Jonathan yang tengah mempersiapkan proyek baru di perusahaannya sehingga belum berpikir untuk mempersiapkan pernikahan. Allena dan Jonathan pun sama-sama ingin fokus dengan karier masing-masing belum berpikir untuk mempertemukan kedua keluarga baik dari pihaknya maupun pihak Jonathan. Namun kita semua berharap bahwa wanita kelahiran 1989 ini akan segera memberitahu tanggal bahagia mereka.
Redaksi Feminim\Tiara.W\Surabaya, 1 January 2017
Paragon Mall merupakan mall eksklusif, sarang dari barang-barang branded. Dan Allena sudah puluhan kali memutari Mall itu. Setidaknya dalam setahun, dia bisa sampai dua kali terbang ke Singapura. Atau lebih tepatnya dia dan teman-temannya di geng elit yang gemar berbelanja dan berburu barang-barang branded. Sehingga rasanya Allena sudah seperti warga lokal yang nyaris mengetahui setiap sudut dari Mall tersebut. Tapi warga lokal pun tidak akan memilih Singapura sebagai tempat untuk merayakan tahun baru.
Teman-teman Allena yang lain sedang pamer merayakan tahun baru di berbagai belahan dunia, seperti Paris, Amsterdam dan New York. Tapi yang paling membuat Allena iri adalah Mia Ariestya atau yang kini berstatus Nyonya Afri Pramuwidjadja yang merupakan salah satu kolongmerat di Jakarta. Mereka menghabiskan liburan tahun baru sekaligus bulan madu bersama di pulau Madives selama sepekan penuh. Allena sebenarnya tidak meminta apapun bahkan tidak mampu berharap banyak jika kekasihnya, Jonathan Aldebaran bisa memberinya kejutan kecil seperti yang biasa teman-temannya dapatkan. Jo tidak pernah membawakannya bunga setelah dia turun dari catwalk, tidak pernah memberinya hadia yang romantis, tidak pernah mengajaknya ke pesta-pesta elit. Jika dipikir, Allena memang lebih menyedihkan dibanding teman-temannya.
Satu-satunya hal membahagiakan yang pernah didapatkan Allena dari Jonathan adalah lamaran itu. Mereka bertengkar hebat saat itu karena rencana liburan mereka ke Bangkok yang sudah dipersiapkan sejak lama terpaksa dibatal karena Jonathan tidak bisa mengambil cuti sepekan penuh. Jonathan memang seperti itu, selalu mendahulukan kepentingan pekerjaan di atas kepentingan pribadi, meskipun dia sendiri adalah pemilik perusahaan tempatnya berkerja. Jonathan memberi cincin di hadapan Allena tanpa berlutut dan dengan nada bicara yang kaku. Tapi meski Allena bisa saja menolak, dia tidak melakukannya. Perasaan Allena telah terpaku pada Jonathan hingga bertahun-tahun.
“Jo… kamu dimana sih? Apakah kamu benar-benar tunanganku?”
Berkali-kali Allena berusaha menghubungi Jonathan tapi tidak tersambung. Hampir satu jam dia menunggu Jonathan datang. Tapi pria itu tidak juga menampakkan batang hidungnya. Pergelangan tangan Allena sudah lelah karena mengirim beberapa pesan untuk Jonathan, ditambah dia sendiri merasa kurang nyaman dengan tatapan orang-orang yang entah terpukau dengan kecantikannya atau justru kasihan karena dia menghabiskan makan siang itu sendiri. Restaurant oriental itu memang ramai, semua meja hampir penuh. Tapi sekalipun hidangan yang disajikan cukup menarik, Allena tidak berminat memakannya sedikitpun.
“Baik! Jika memang seperti ini yang kamu mau, aku tidak butuh kencan romantis denganmu. Aku akan langsung terbang kembali ke Jakarta begitu aku selesai berbelanja.”
Allena beranjak dari mejanya dan menyelesaikan pembayaran. Selama berada di elevator, layar ponselnya menyala memperlihatkan sebuah panggilan masuk dari seseorang yang sejak tadi dinantinya. Tapi kali ini Allen membiarkan ponsel itu berbunyi beberapa kali dan mencoba membuat Jonathan merasakan apa yang dialaminya beberapa waktu lalu.
“Aku sudah sudah keluar dari restaurant. Kamu tidak perlu memaksa datang jika kamu memang tidak bisa menemaniku.” ucapnya tanpa basa-basi. Pada akhirnya Allena tetap menekan ikon hijau di ponselnya.
“Allena sayang… maaf! Aku akan menyusulmu segera,” balas suara dari seberang. “Kamu bisa meminta apapun hari ini, sebagai permintaan maafku.”
“Bohong. Memang kamu kemana aja sih? Jangan bilang urusan pekerjaan lagi?” cecar wanita itu. Dia berjalan ke dalam salah satu toko sepatu brand terkenal di dunia sambil berbicara di telepon sehingga mengabaikan seorang pramuniaga yang menyapanya.
“Aku tidak sengaja bertemu relasiku di perjalanan jadi aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Tapi aku janji aku pasti menyusulmu secepatnya.”
“Tapi tidak berarti kamu bisa mengabaikan panggilan telepon dariku bukan?”
“Allena…”
“Iya… aku ngerti kok! Bahkan selamanya aku yang akan selalu memahami kamu. Tapi jangan protes kalau aku akan membuatmu membayar mahal.”
“Tentu... aku akan membelikanmu apapun yang kamu mau. Kamu bisa berbelanja apapun yang kamu inginkan hari ini.”
Sambungan terputus. Perempuan berwajah tirus itu yang mematikannya lebih dulu. Memang Allena lebih cocok disebut perempuan matre. Bahkan dia akan mengutuk wanita yang munafik karena tidak tertarik dengan uang atau sepatu atau tas-tas mewah. Tapi bukan berarti dia juga tidak membutuhkan perhatian khusus dari kekasihnya. Dalam hal ini sudah banyak orang yang meninggalkan suami mereka yang kaya raya hanya karena kurang kasih sayang dan perhatian, bahkan Allena pun pernah sekali bermain api dengan pria lain saat masih berpacaran dengan Jonathan. Alasannya pun tidak jauh berbeda. Namun pria workaholic seperti Jonathan seolah mengabaikan kekurangannya itu.
Guratan kekesalan tidak bisa disembunyikan Allena. Moodnya sangat buruk lebih buruk dari kenyataan dia harus merayakan malam tahun baru seorang diri di balkon hotel karena Jonathan yang ternyata tidak bisa mendapatkan jadwal penerbangan yang sama dengannya. Allena pun tidak membalas sapaan seorang pramuniaga ketika dirinya melangkah masuk ke dalam salah satu toko sepatu wanita branded yang cukup terkenal itu. Dia tidak memerlukan pujian atau hiburan apapun untuk saat ini. Yang dia inginkan hanya berbelanja apapun yang dia inginkan sampai puas.
Dalam lima belas menit, Allena sudah mendapatkan segala hal yang ingin dibelinya. Dia punyai selera yang bagus, teman-temannya memujinya karena jeli dalam hal menemukan barang-barang mewah dan eksklusif. Sebagai seorang model yang sering melenggok di atas catwalk, melakukan pemotretan dengan baju-baju desainer kelas atas, Allena dituntut untuk berpenampilan elegan. Karena itu dia rela mengeluarkan uang puluhan juta dan melakukan job di luar dunia model hanya untuk memenuhi kebutuhannya akan barang-barang branded. Bahkan jika diperlukan dia akan lebih sering menggunakan kartu kredit Jonathan nantinya.
Saat memasuki ruang bagian koleksi sepatu wanita, bola mata Allena langsung menangkap pemandangan sebuah stiletto indah yang diletakkan ditempat khusus. Stiletto bertumit merah dengan taburan swaroski segala sisinya. Tahun lalu mereka mencoba mencari stiletto yang serupa di toko-toko ternama di dunia tetapi tampaknya stiletto itu hanya bisa dipesan secara khusus dari desainernya. Dan betapa beruntungnya Allena hari itu menemukan stiletto eksklusif itu di Singapura. Teman-temannya seperti Jenifer si pengemar Hermes, Alexa si budak Chanel atau bahkan Mia yang mempunyai koleksi sepatu berharga di rumah barunya pasti akan menangis karena melihat Allena yang memiliki sepatu itu.
Seperti yang semua wanita ketahui jika stiletto disebut “High Heels Kill”. Sebuah sepatu berhak yang dapat menampakan kecantikan maut wanita yang menggunakannya. Karena heelsnya yang lebih panjang dari high heels biasa, stiletto bahkan bisa membuat kepercayaan diri pemakainya meninggat sepuluh kali lipat. Apalagi Lady Diana dalam sejarahnya pernah memakai brand sepatu stiletto yang Allena temukan itu. Tanpa membuang waktu, Allena hendak meraih stiletto di etalase khusus itu. Namun disaat bersamaan seorang seorang pramuniaga dengan sarung tangan tiba-tiba mengambilnya lebih dulu. Allena hanya menautkan kedua alisnya. Dia tidak berpikir bahwa stiletto itu telah dipesan sebelumnya.
“Forgive me. But I find this shoes first.” Sergah Allena menghentikan gerakan pramuniaga tersebut. Mereka saling menatap cukup lama sebelum wanita berkacamata yang datang setelah pramuniaga itu menyahuti.
“No. I’m first.”sahutnya
***
Dalam beberapa dekade terakhir, orang-orang menggemari barang-barang branded dari desainer dunia. Pakaian, sepatu, tas, jam tangan dan berbagai perhiasan. Tapi yang paling faforit adalah sepatu serta handbag eksklusif. Mereka, khususnya para wanita rela merogok kocek sangat dalam hingga bahkan menghabiskan separuh harta suaminya hanya untuk mendapatkan barang-barang tersebut. Sebagian untuk dijual kembali sebagai bentuk investasi lalu sebagian yang lainnya menumpuknya di rumah sebagai koleksi pribadi dan memamerkannya. Margaret Lauren, ibu kandung Eleanor berserta perkumpulannya yang biasa disebut tacik-tacik pasar atom pun tidak ketinggalan. Mereka termasuk tipe kedua yang menumpuk barang-barang tersebut di rumah mereka sebagai salah satu koleksi. Mulai dari yang asli sampai tiruan.
Sementara Eleanor bukan jenis perempuan seperti itu. Dia tidak bisa dibilang fasionable. Tapi juga tidak bisa dibilang kolot karena tidak menyukai trend apapun. Eleanor hanya kurang tertarik dengan segala sesuatu yang biasa digemari wanita kebanyakan. Bahkan Eleanor tidak suka kalau ada yang menyamai pakaian atau selera-nya. Setiap bulan Eleanor berbelanja kebutuhan pribadi termasuk aksesoris dan pakaian-pakaian mewah, tapi itu pun dari koleksi desainernya sendiri. Sehingga tidak memiliki brand yang bisa dikenal.
Dalam hal ini pun Jenny, teman beracunnya itu sering mengejek selera Eleanor, dan bahkan merendahkannya dengan alasan yang tidak masuk akal. Padahal kalau dipikir justru kelas Eleanor sangat berbeda jauh dari Jenny. Siapa yang bisa memiliki penjahit keluarga dan desainer pribadi kalau bukan keluarga Eleanor.
Namun kali ini Eleanor terpaksa membeli beberapa barang branded yang direkomendasikan Rere untuk dipakainya ke acara pernikahaan Jenny. Suatu cara untuk merendahkan Jenny secara tidak langsung, sekaligus menjalankan rencana Eleanor untuk mempermalukan teman beracunnya itu. Eleanor mampu saja terbang ke Milan sebelum tahun baru. Tapi dia tidak melakukannya dan lebih memilih berbelanja di Singapura, negara yang sudah seperti rumah kedua bagi Eleanor. Sebab pamannya termasuk warga negara kehormatan di negara itu.
“Tentu… aku sudah di luar. Kamu tidak perlu cerewet!” Eleanor berdiri di depan pintu lift sambil meletakkan ponsel di telinga kanannya. Untuk pertama kalinya pun dia pergi ke tempat umum dan membeli secara langsung. Tentu semua itu karena paksaan sekretarisnya.
Saat lift sudah turun, Eleanor hendak menekan tombol pintu untuk mempercepatnya. Tapi tidak sengaja ujung jarinya bertubrukan dengan seseorang yang juga hendak menekan tombol lift. Spontan Eleanor mengangkat kepalanya dan memandang seseorang itu. Tatapan mereka bertemu, tapi hanya sesaat. Sebab pria jakun dengan setelan kemeja biru sapire itu memutus tatapannya lebih dahulu. Dia kemudian mempersilahkan Eleanor mendahuluinya masuk.
Eleanor sudah sering bertemu pria-pria tipe eksekutif yang tampan, juga beberapa putra dari pengusaha-pengusaha ternama yang dikenalkan padanya. Tapi tidak satupun dari mereka yang menarik di mata Eleanor. pria-pria itu tidak memiliki inner yang kuat di dalam diri mereka. Namun saat Eleanor berada dalam satu lift dengan laki-laki asing itu, entah kenapa dia merasa aura laki-laki itu sangat kuat. Bahkan dari jaraknya berdiri, dia merasakan sesuatu kehangatan yang tidak pernah dirasakannya pada siapapun. Sebelum laki-laki asing itu keluar dari lift, dia sempat menundukkan kepala pada Eleanor dan tersenyum tipis. Dia pun tidak sadar bahwa Eleanor juga melangkah keluar dari lift setelahnya.
Hingga beberapa langkah Eleanor seolah mengekor di belakang laki-laki itu. Mengamati punggungnya yang bidang. Sementara laki-laki itu tampak mencari sesuatu. Tidak mungkin bukan kalau dia hendak berbelanja. Kalau hal itu terbukti, maka Eleanor akan memberinya nilai minus. Namun saat ponsel Eleanor berbunyi dan Eleanor terpaksa mengangkatnya, dia pun kehilangan jejak laki-laki itu. Sangat disayangkan kalau dia kehilangan mangsanya.
“Iya, Paman…”
Eleanor menyelesaikan pembicaraan dengan pamannya tepat ketika sampai di sebuah toko yang diinformasikan Rere. Namun ketika dia sampai disana, justru disambut oleh keributan dua orang wanita di depan meja pembayaran. Perempuan-perempuan yang sepertinya terlalu gila karena tak sadar kalau beberapa pengunjung lainnya sedang menonton keributan mereka. Pikir Eleanor apakah wanita-wanita konyol itu rela saling membunuh hanya karena barang-barang branded? Dan ternyata memang seperti itu adanya. Yang lebih mengejutkan ketika dia memperjelas pandangannya, wajah salah satu wanita yang membuat keributan itu tampak dikenalinya. Wajah yang tidak lain adalah milik Resti Anggika, sekretasi pribadinya sendiri.
“Enggak! Pokoknya aku mau sepatu itu. Titik.” Ujar wanita itu.
“Enggak bisa dong! Stiletto ini sudah dipesan dan sudah menjadi milik atasan saya.” kali ini Rere menyahuti dengan ketus. Jadi dari kedua pembicaraan itu, Eleanor menyimpulkan bahwa mereka sedang berebut sepatu yang sama.
“Kamu sombong sekali sih? Memang siapa atasan kamu? Lagipula dia gak ada disini jadi seharusnya aku yang berhak mendapatkan sepatu itu.” balas wanita itu sekali lagi.
“Anda ini benar-benar tidak tahu diri ya? Sudah dibilang sepatu ini untuk member VVIP masih saja ngeyel ingin memilikinya. Tahu diri dikit dong.”
“Kamu menghina aku? Kamu pikir aku tidak bisa membeli sepatu itu?”
Eleanor memijat pelipisnya. Wanita bergaun navy itu bahkan mulai mendorong-dorong bahu Rere. “Anda ingin bermain-main rupanya?” Rere maju selangkah seolah menantang.
Jika saja bukan karena ada seorang pria diantara mereka yang mencoba melerai mungkin mereka akan berakhir dengan saling menjambak satu sama lain. Atau bahkan digiring oleh petugas keamanan setempat, karena membuat keributan. Namun yang lebih mengejutkannya lagi Eleanor juga mengenali sosok pria diantara mereka itu. Pria berkemeja biru yang bersamanya di lift. Tenyata dia dan wanita bergaun navy itu saling mengenal. Dan dari caranya memisahkan wanita itu dari Rere dan pakaian mereka yang seolah terlihat seperti dress code, Eleanor mengambil kesimpulan kalau mereka adala sepasang kekasih. Sangat disayangkan.
“Hei… kamu sudah datang? Sejak kapan?” sapa Rere yang menghampirinya di pintu, begitu pula si manager toko yang mencoba memberi salam.
“Sejak kamu membuat keributan tadi.” Balas Eleanor setengah mencibir.
“Maaf ya, ibu Eleanor yang terhormat! Ada masalah dengan wanita gila yang mau merebut sepatumu, jadi aku tidak bisa tinggal diam.”
Dan Eleanor hanya berdecak, “Yang kamu maksud wanita bergaun navy itu kan? Kamu gak berpikir kalau tindakanmu itu memalukan? Dasar udik!”
Rere melipat bibirnya dan mendesis. “Mau bagaimana lagi, wanita itu membuatku kesal. Rasanya dia yang lebih pantas dibilang udik. Dia tidak mengerti prosedur.”
“Kamu juga udik!”
Rere tidak menjawab lagi. Rasanya dia lelah setelah berdebat dengan wanita udik itu. Dan Eleanor juga menyalahkannya.
“Yasudah, berikan saja stiletto itu padanya! Aku tidak tertarik lagi memilikinya.” Ujar Eleanor tiba-tiba membuat Rere terperanjat. “Juga uang ganti rugi untuk beberapa pegawai dan pengunjung yang melihat. Pastikan kamu juga meminta maaf.”
Rere masih terkejut dan dia berusaha menahan langkah Eleanor yang seperti hendak meninggalkan toko. “Tumben kamu murah hati? Bukannya kamu paling pelit soal uang?” tapi Eleanor memberikan tatapan tajam sehingga Rere tidak bisa melanjutkan cibirannya.
“Tapi tetap saja tidak masuk akal kalau kamu mau memberikan stiletto eksklusif itu secara cuma-cuma? Seorang Eleanor Liemsudibyo, keponakan Liem Hok Seeng membiarkan orang lain memiliki apa yang seharusnya dia miliki? Ini seperti bukan dia saja atau aku yang hanya salah dengar?” sahut Rere melebih-lebihkan.
“Kenapa enggak? Kalau perlu, kamu bayar juga stiletto itu untuknya!”
Masih setengah terkejut, Rere pun berusaha menyamai langkahnya dengan langkah Eleanor yang kini telah meninggalkan area toko. “Tapi kenapa? Tidakkah kamu membutuhkan sepatu itu untuk datang ke pesta pernikahan Jenny? Kamu bahkan sudah merancang rencana untuk tampil lebih elegant dibandingkan si pengantin jadi-jadian itu sendiri.”
“Aku berubah pikiran.”
Eleanor menghentikan langkahnya sebelum sampai di depan lift. Tapi pandangannya menerawang jauh. Toko itu dikelilingi jendela kaca yang mengkilap, sehingga pria berkemeja biru itu masih terlihat dari jangkauan pandangannya. Dia tampak menggandeng kekasihnya melihat-lihat koleksi yang lain dan sesekali membelai puncak kepala kekasihnya yang bergelanyut manja di lengannya tersebut. Eleanor pun dapat melihat ekspresi yang dibuat-buat oleh wanita manja itu.
“Aku bisa cari sepatu yang lain, aku tidak suka dengan merek itu.” pungkasnya,
“Lagipula aku juga tidak akan memberikan sepatu itu secara cuma-cuma, aku akan menagih balasan dari wanita suatu hari.” Sambung Eleanor kali ini disertai penekanan di setiap kata-katanya. Rere pun kembali terdiam. Baru tersadar jika seharusnya dia menuruti kata-kata Eleanor saja dan tidak memancing wanita itu untuk bertindak lebih. Karena jika Eleanor sudah mengatakan hal-hal demikian, dia pasti tidak main-main dengan ucapannya.
“Setelah ini, aku ingin informasi tentang kedua orang itu. Jadi cepat selesaikan semua pembayaran dan kompensasi karena ulahmu.” perintah Eleanor sebelum melangkah pergi meninggalkan Rere yang justru prihatin pada siapapun yang dimaksud mereka oleh Eleanor.
“Baik…”
Blouse satin berwarna gading dipadukan dengan blazer merah, kacamata hitam dan rambut pendek curly yang diikat rapi ke belakang adalah style andalan Eleanor di kantor. Tidak lupa celana katun high weish dan sebuah stiletto merah yang membalut kakinya. Seharusnya style seperti itu lebih cocok jika dipadukan dengan rok pensil seukuran lutut, apalagi dengan kegemaran Eleanor terhadap stiletto. Tetapi wanita yang tahun ini genap berusia dua puluh tujuh tahun itu menolak keras gaya berpakaian seperti itu. Eleanor yang seperti alergi dengan pakaian seksi bahkan sampai menetapkan aturan di perusahaannya untuk melarang pegawai wanita memakai rok dan kemeja seksi. Dengan dalil kesetaraan gender, dia tidak ingin pegawai wanita mendapat perlakuan khusus terlebih dipandang dengan sudut kecantikan semata.Standart kerja yang diterapkan Eleanor sejak dia menjabat sebagai direktur utama HS Group pun juga terbilang tinggi. Setiap pegawai akan diawasi oleh satuan khusus sehingga dilarang berc
Tidak ada jaminan bahwa seseorang yang dibesarkan dari keluarga harmonis dan bahagia tidak akan memiliki trauma pada pernikahan. Seorang yang lahir di keluarga yang sempurna seperti Eleanor pun bahkan bisa tidak mempercayai cinta sedikitpun, apalagi sebuah komitmen yang disebut pernikahan. Eleanor tidak punya waktu untuk memikirkan pernikahan dalam hidupnya. Karena kebanyakan pernikahan yang dikenalnya tidak lebih dari pernikahan bisnis, atau kalau tidak pernikahan parasite, dimana salah satu belah pihak berusaha mendapatkan keuntungan dari pernikahaan itu. Sungguh Eleanor tidak tertarik jenis pernikahaan apapun di dunianya.Begitu pula dengan pesta pernikahan konyol yang sedang berlangsung itu. Dibandingkan dengan pesta pernikahaan romantis dimana kedua mempelai menunjukan tatapan saling mencintai, pesta itu justru lebih tepat disebut pesta pernikahan bisnis. Banyak relasi dari Jimmy Kwok yang hadir, dibandingkan keluarga atau sahabat dekat Jenny. Tetapi Eleanor juga hampir
“Keberanian untuk mengambil resiko apapun demi mencapai tujuan.”Di sebelah Konservatorium mini halaman rumahnya, ada sebuah sauna dari bambu yang rutin digunakan Eleanor untuk Meditasi atau Yoga. Paling lama setengah jam, tergantung seberapa besar amarah yang sedang dikendalikannya. Tapi terkadang juga bisa sampai berjam-jam, atau lima belas menit saja kalau tidak ada hal apapun yang menganggu mood-nya. Suasana hati Eleanor memang mirip cuaca. Kadang mendung, kadang cerah. Sebentar hujan, lalu tiba-tiba menghangat. Tapi dalam keadaan cerah sekalipun, sikap Eleanor memang tetap kaku seperti itu.Hanya saja Rere tidak tahu apa yang membuat Eleanor mampu menghabiskan dua jam di arena tembak. Pasti moodnya kali ini lebih ekstrim dari yang bisa dikendalikannya dengan Yoga. Olahraga ekstrim itu pun hanya dilakukan Eleanor paling tidak seminggu sekali. Itu juga paling lama tiga puluh menit. Dan jangan ditanya seberapa jago Eleanor menembak. Dari usinya t
“Keluar dari jalur kuno dan menciptakan inovasi.”Dalam sebuah keluarga besar pasti ada seorang pembangka di dalamnya. Atau si bungsu yang merasa terabaikan sehingga melakukan banyak tingkah untuk mendapatkan perhatian. Begitulah William Liemsudibyo. Lahir dengan IQ 150. Setidaknya cukup membuatnya mendapat julukan genius. Saat masih kecil William bercita-cita menjadi dokter, sehingga ayahnya langsung membuatkannya sebuah rumah sakit premium bernama Williemsiom. Namun di tahun terakhir dia kulia kedokteran di NUS, William justru mengundurkan diri. Lalu memutuskan untuk mengambil study robotika di Penysilvania. Tentu saja hal itu menjadi kontroversi besar di keluarganya.Tidak berhenti disana, William bahkan nyaris mengitari separuh dunia untuk menguji kemampuannya sendiri. Setelah menyelesaikan study robotika-nya, William mengambil gelar lain dari universitas yang berbeda-beda, mulai dari Swiss Federal Institute of Technology Zurich jurusan teknik,
Sekilas tentang Haryanto Liemsudibyo atau Liem Sioe Gwan, raja sawit di Indonesia yang telah tutup usia.Haryanto Liemsudibyo lahir dan dibesarkan di Pontianak. Ayahnya seorang Fujian yang kemudian menikah dengan wanita pribumi dan membuka usaha toko kelontong. Setelah dewasa, Haryanto pergi ke jawa untuk melanjutkan kulia. Setelah ayahnya meninggal karena serangan jantung, dia mencoba berwirausaha kecil-kecilan untuk menambah uang kulianya. Namun tidak disangkah usaha itu cukup berkembang. Di pulau jawa, Haryanto juga bertemu gadis pujaannya yang juga peranakan bernama asli Tan mei hwandan kemudian menikahinya. Dari keluarga istri-nya, Haryanto mulai memiliki banyak koneksi. Dia pun secara tidak langsung mendapat dukungan penuh untuk mengembangkan usahanya.Dimulai dari usaha dibidang pangan yaitu mendirikan pabrik mie instant, lalu bank hingga kini perkebunan sawit. Pada saat krisis ekonomi tahun 1998 dan ditamb
Afternoon tea di TWG Tea Salon & Boutique setiap weekend, berburu barang-barang branded, pemotretan, wawancara majalah, haha-hihi dengan geng “Canci”, party nightmare alias clubbing adalah sederet kegiatan Allena di ibukota. Dia sudah menjadi bagian dari standart hidup wanita di kota itu. Kehidupan Allena pun terlihat sempurna. Apalagi dengan bergabungnya dia di lingkaran geng wanita-wanita populer itu. Sebut saja Mia Arestya, mantan pemain sinetron yang sekarang menjadi nyonya di keluarga Pramuwidjadja (walaupun dia masih terbilang kalah elegan dengan mertuanya yang mempunyai aset fantastis).Mia adalah ketua geng Canci sekaligus pendirinya. Dia yang menyatukan ketiga anggota lainnya; Jenifer Alison, Alexa Indira dan Allena Rheanatha yang juga berasal dari industri hiburan. Jenifer lebih dulu mengenal Allena
Dalam suatu perusahaan, setiap orang memiliki kepentingannya masing-masing. Namun kepentingan tersebut harus bersinergi dengan kepentingan bisnis. Begitupula dengan sistem di keluarga besar Eleanor. Semua anggota keluarga memiliki kepentingannya masing-masing. Mereka pun tidak lebih dari orang asing terdekat. Namun satu hal yang pasti bahwa keberadaan mereka harus bersinergi dan saling menguntungkan. Setiap anak dan cucu di keluarganya pun harus membangun dinasti sendiri. Seperti bisnis pamannya di Singapura dan bisnis ayahnya di Indonesia, kelak anak-anak mereka harus bisa membangung ekspansi bisnis di negara lain. Sayangnya dalam hal ini hanya Eleanor yang berada di jalur tersebut. Sepupuh-sepupuhnya memilih keluar dari sistem stakeholder di keluarganya. Begitupula dengan ayah Eleanor kini.“Papa mau pergi?” tanya perempuan itu ketika bertemu ayahnya di koridor lantai dua. Handoko, sosok berkacamata bingkai hitam itu menghentikan lan
Ini mimisan yang ketiga kalinya dalam minggu ini untuk Jonathan. Dia terlihat seperti pria lemah jika sudah seperti ini. Ryan bahkan sering menggodanya karena kelemahannya tersebut. karena biarpun badan Jonathan termasuk cetakan gym dengan otot bisep yang lebih besar dari milik Ryan. Namun jika memang sudah lelah, tubuhnya tidak bisa dikompromi. Dia akan langsung mimisan seperti hari ini.Selama sebulan ini memang sangat berat untuk bisnis Jonathan. Belum selesai masalahnya dengan para hacker yang mencoba meretas data perusahaannya, dia justru mendapat masalah lain yang lebih serius. Kehilangan investor terbesar perusahaannya, yaitu Jimmy Kwok. Proyek baru yang awalnya akan berjalan sukses dan mendapat dukungan penuh dari semua pihak kini akan lumpuh total jika dia tidak segera menemukan alternatif.Jonathan juga tidak mengerti mengapa perusahan start up seperti Bimasakti harus menerima serangan begitu hebat. Patner bisnisnya; Jimmy Kwok yang tiba-tiba menarik investas