Share

Bab 5

Damar menatap Fitri dengan tatapan tajam di dalam rumah sederhana itu. Melihat sang istri baru pulang ketika jam menunjukkan pukul 07.00 malam, membuat emosi Damar meledak seketika

Suaranya naik satu oktaf dan ketus saat dia bertanya, “Kenapa jam segini kamu baru pulang?! Jangan jadikan ini kebiasaan baru, Fitri! Kamu pasti senang kan cari-cari kesenangan, sedangkan suamimu yang LUMPUH ini cuma bisa diam di rumah?!”

Fitri terdiam, berusaha untuk tidak terpancing oleh kata-kata Damar yang semakin hari semakin melukai hatinya.

“Maaf, Mas. Tadi aku lembur di kantor, jadi baru pulang lewat magrib…,” ucap Fitri dengan nada lemah, berusaha menjelaskan pada suaminya.

Namun Damar hanya diam, matanya tidak menatap Fitri. Tanpa berkata apa pun, pria itu memutar kursi rodanya sendiri menggunakan kedua tangannya dan meninggalkan Fitri.

“Semakin hari, kau semakin kurang ajar! Dasar Istri durhaka!”

Fitri masih bisa mendengar umpatan Damar sebelum pria itu masuk ke dalam kamar. Ia pun hanya bisa menghela nafas lelah, berusaha menahan tangis. Sudah biasa suaminya bersikap seperti.

Fitri mencoba untuk tidak menghiraukan ucapan Damar yang menyakiti hatinya ia lebih memilih masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri.

Beberapa saat kemudian setelah ia selesai dengan ritual mandinya, Fitri duduk di meja makan seperti biasa ia berharap masih ada sisa makanan yang dimasak tadi pagi, akan tetapi nihil ia tidak mendapatkan apapun di atas meja.

Fitri menutup kembali tudung saji itu kemudian ia ingin membuat segelas teh manis namun telinganya mendengar handphonenya berdering seperti ada pesan masuk.

Fitri pun berjalan mendekat ke arah bufet tv karena ia meletakkan tasnya di atas bufet itu. Fitri mengambil handphone miliknya yang berada di dalam tas kemudian melihat Siapa yang mengirim pesan di aplikasi hijaunya. Mata Fitri membulat sempurna saat melihat pesan foto yang terkirim dari nomor yang tidak ia kenal.

“Ini kan? Ini foto tadi siang saat aku telah berbicara dengan Mamat karena ia telah membantuku, Siapa yang mengirim pesan ini?” Fitri berpikir kira-kira Siapa yang mengirim pesan berupa foto saat ia telah memeluk Damar karena refleks saat ia begitu senang Damar bisa membantunya.

Di Saat Fitri masih bertanya-tanya tentang siapa pengirim foto itu pesan kedua pun masuk dari nomor yang sama. Kali ini bukan berupa foto melainkan berupa pesan teks.

“Udah punya suami tapi masih suka godain cowok lain di kantor. Dasar jalang!”

Fitri semakin penasaran dengan pesan teks itu, namun ia dibuat lebih sakit lagi saat pesan foto kedua, ini masuk dari nomor yang sama. Fitri pun langsung berlari keluar rumah setelah melihat foto yang dikirim oleh nomor yang sama yang ia tidak kenal adalah foto depan rumahnya.

Fitri membuka pintu dengan kasar dan saat di luar rumah ia menoleh ke kanan dan ke kiri namun tidak menemukan siapapun.

“Siapa sih Orang itu?” gumam Fitri lirih namun ia dibuat kaget saat ada sebuah tepukan di pundaknya dan membuatnya ia menoleh seketika.

“Mbak Fitri cari apa?”

“Eh, Bu Tati,”

“Mbak Fitri cari apa?” Bu Tati mengulangi pertanyaannya kepada Fitri yang terlihat gugup.

“Oh, ini Bu, tadi aku dengar suara tukang bakso lewat, tapi pas keluar rumah uang baksonya sudah kabur,” jawab Fitri sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

“Elaah, kirain ibu ada apa,” ucap Bupati sambil tersenyum.

“Fitri, cepat masuk!” teriak Damar begitu keras hingga mengagetkan Fitri dan bupati yang tengah mengobrol di luar rumah. Damar tidak mau Fitri bersosialisasi dengan tetangganya itu karena ia merasa khawatir jika Fitri membocorkan semua kelakuan Damar yang sering menyiksa Fitri.

“Bu maaf Aku masuk dulu ya,” ucap Fitri sambil meninggalkan Bu Tati yang masih terpenuhi karena kaget Damar berteriak memanggil istrinya.

“Astaghfirullahaladzim, Mas Damar itu kok bisa seperti itu sama Mbak Fitri?” gerutu Bu Tati sambil berjalan pulang.

“Di dalam rumah sederhana itu, tersembunyi lebih banyak cerita daripada yang terlihat. Fitri, dengan segala ketegarannya, mungkin menyimpan perasaan dan beban yang tak terungkap. Apakah ada harapan untuk perubahan?” gumam Bu Tati Yang masih memikirkan sikap Damar pada Fitri.

*****

Keesokan harinya Saat Fitri tengah berjalan di koridor lobby kantor ia tidak sengaja menabrak Cindy yang tengah membawa beberapa berkas di tangannya hingga berkas-berkas di tangan Cindy itu terjatuh dan berserakan.

Namun Fitri begitu terkejut saat membantu mengemas berkas yang berserakan itu kedua bola matanya membulat sempurna saat melihat CV data berkasnya ada di tumpukan berkas-berkas yang dibawa oleh Cindy.

“Ini kenapa CV aku ada di Mbak?” tanya Fitri sambil menatap wajah cantik Cindy yang masih sibuk merapikan berkas yang berserakan.

“Pertanyaan bodoh! Kok lupa jika aku ini stafnya Pak Alvin wajar dong kalau aku punya CV ini!” ucap Cindy kasar.

“Apakah Mbah Cindy in-?”

“Apa maksudmu? Lebih baik kau cepat masuk! Apakah kau tidak menyadari jika kau sudah terlambat?” Potong Cindy yang merasa jika Fitri mencurigainya.

Sambil berjalan meninggalkan Cindy yang masih membereskan map yang masih berjajar itu Fitri berpikir, “apa iya yang mengirimkan pesan semalam itu Mbak Cindy?” gumam Fitri sambil berjalan menuju ke meja kerjanya namun ia berpapasan dengan Mamat.

“Mbak Fitri kenapa? Wajahnya terlihat pucat sekali Apakah Mbak Fitri sakit?” tanya Mamat yang merasa khawatir.

“Aku nggak papa kok mas, mungkin hanya kurang tidur saja, aku permisi dulu ya,” pamit Fitri mencoba menghindari Mamat.

“Aku buatkan teh manis hangat ya mbak Mbak tunggu saja di meja kerja mbak nanti teh manisnya segera datang!” ucap Mamat yang hendak berlalu dari hadapan Fitri.

“Tunggu mas!”

Mamat pun kembali menoleh dan menghampiri Fitri, “kenapa Mbak, Mbak butuh apa lagi selain teh manis?”

“Sebaiknya kita jangan terlalu dekat Mas,”

Mamat begitu terkejut mendengar apa yang barusan Fitri ucapkan hingga alisnya tertaut.

“Memang kenapa Mbak? Kita kan hanya sebatas berteman, dan aku rasa di kantor ini tidak ada larangan apapun untuk sesama staf atau OB untuk dekat,”

Mamat begitu penasaran menunggu jawaban dari Fitri, namun Fitri masih terdiam di hadapannya, dan terlihat matanya berkaca-kaca. Ingin sekali Mamat memeluk Fitri untuk menenangkan gadis itu. Namun ia urungkan mengingat posisinya Tengah di kantor dan ia hanya bisa menahan rasa sesak di dadanya.

Fitri sendiri bingung Apakah ia harus jujur pada pria yang tengah berdiri di hadapannya tentang status pernikahannya yang ia sembunyikan. Fitri pun berdehem untuk bisa menetralkan perasaannya agar ia bisa jujur.

“Aku sudah bersuami Mas, aku sudah menikah,”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status