Tahu-tahu mas Umair menyentuh tanganku dan memberikanku kode untuk melihat kaca spion di atas kami. Dan ku lihat mbak Sinta dan mas Bima tampak bingung dan gelisah ketika tahu ada perkelahian di belakang sana. Jelas sekali wajah merah pada terpancar dari wajah dua insan yang baru bertemu kembali itu. Aku tersenyum melihat suamiku. Rencananya sedikit membelok dari apa yang ia ceritakan tadi malam. Meski begitu, ku akui disetiap rencana yang ia susun tak pernah gagal. Termasuk saat ini. Dan bisa ku simpulkan, bahwa dugaannya terhadap mbak Sinta dan suaminya kemungkinan besar adalah benar. "Ya ampun, kasihan mereka," kata mbak Sinta saat melihat keributan di belakang mobil kami. "Mair, kamu gak mau nolongin mereka? Kamu 'kan suka ngebantuin orang-orang biarpun mereka udah jahat sama kamu," ucap mbak Sinta lagi. Terlihat ia sedang berusaha agar mas Umair menghentikan perkelahian itu. "Biarin aja, Mbak." Mas Umair lalu menjalankan mobilnya. "Mair, kalo seandainya kamu mau berhenti, me
Mas Umair pun tahu-tahu memutar setirnya. Tak jadi pulang, kini mobil berjalan menuju rumah mama kembali. Entah apa yang ada dalam pikiran suamiku ini, yang jelas ia benar-benar membuatku begitu penasaran dengan apa yang ia lakukan sekarang. Mungkinkah ini bagian dari rencana yang ia katakan tadi? Mobil berhenti tepat di seberang jalan depan rumah mama. Dan rupanya pak Didin lari terburu-buru tadi lantaran ia menuju ke rumah mama dimana sudah banyak tetangga kompleks termasuk pak RT pun ikut berkerumunan di halaman rumah. Entah terjadi keributan apa di sana.Yang jelas keadaan di sana begitu riuh dan ramai. Banyak dari mereka meneriaki nama mbak Sinta dan mas Bima untuk keluar dari rumah. Bahkan ada yang sampai mengumpat dan melontarkan kata-kata kasar agar mbak Sinta dan mas Bima cepat keluar. Mas Umair sendiri memutuskan untuk tidak langsung turun. Entah apa yang ditunggu. Namun terlihat dari wajah suamiku ini ia tampak senang melihat kejadian di depan mata kami. Dan mungkin teba
Baru kali ini aku melihat wajah melas pada kakak tiriku ini. Bahkan pancaran matanya seakan memohon padaku untuk menyelamatkannya dari kemarahan para tetangga yang ada. "Tenang, Mbak, kami akan bantu," kata mas Umair yang membuatku terperanjat. Sebab bukankah tadi ia mengatakan jika ini akan menjadi pelajaran untuk mbak Sinta dan suaminya. Lantas ini apa? Mungkin pelajaran yang ia maksudkan hanya sampai di sini? Dan ini lagi, aku baru menyadari kalau semua tetangga termasuk pak RT dan pak Didin ikut terdiam kala aku dan mas Umair sampai di rumah ini. "Dengar, ya, kalian!" tunjuk mbak Sinta di depan para tetangga. "Kalian tau 'kan siapa adik iparku ini dan bagaimana dia? Dia sudah menyatakan akan menolongku dan itu artinya aku akan bebas dari tuduhan yang kalian berikan." Mbak Sinta terlihat berapi-api berkata demikian. Sungguh, kepercayaan dirinya dan kesombongan yang biasa ia tampakkan kini muncul kembali di garis wajahnya. "Benar ibu-ib
Mas Umair juga menceritakan alasan lain kenapa mas Bima bisa tertangkap. Yakni, sebelumnya dua orang suruhan mas Umair yang menyamar sebagai tukang ojek online tersebut, mereka menyelidiki lebih dalam kebenaran utang yang menyangkut nama perusahaan mas Bima. Dan ternyata ada fakta yang luar biasa yang mana aku benar-benar tak menyangka kalau mas Bima bisa bertindak sejauh itu. Namun sebelum lebih lanjut membahas soal mas Bima dan mbak Sinta, mas Umair malah sibuk mengutak-atik ponselnya. Menelepon seseorang yang entah siapa itu. "Ya, datang sekarang," kata mas Umair pada lawan bicaranya di seberang telepon lalu menutupnya. "Siapa, Mas?" tanyaku penasaran. "Nanti juga tau," balasnya seraya memasukan kembali ponselnya ke dalam saku celananya. "Gitu aja terus!" balasku dengan rasa dongkol. Namun mas Umair hanya tersenyum menanggapi kekesalanku. Tanpa lagi merespon pertanyaanku, mas Umair lalu mulai menceritakan lagi
Aku pun terdiam. Kalau sudah begini biasanya mas Umair adalah orang di belakangnya. Tapi untuk apa orang-orang itu ke rumah mama? Padahal sudah tidak ada lagi orang di sana. "Kamu dalangnya ya, Mas?" ku tunjuk mas Umair yang fokus pada setirnya. Mas Umair tampak terkejut dengan tuduhanku. "Dalang apa?" tanyanya. "Itu tadi."Mas Umair mendesah. "Tentu saja.""Untuk apa? Kan di rumah mama udah gak ada orang.""Kamu lupa ya kalau di rumah mama masih ada orang?"Aku diam sebentar, lalu berpikir siapa orang yang dimaksud suamiku ini. Lumayan lama aku berpikir. Sampai akhirnya aku menemukan jawabannya. "Udah ketemu?" tanya mas Umair kala melihat perubahan ekspresi wajahku. "Iya, dua orang laki-laki yang kerja sama dengan mbak Sinta dan mas Bima 'kan?""Cerdas!"Aku tersenyum lebar mendengar pujian dari mas Umair. Memang ini bukan kali pertama ia memberiku pujian, hanya saja kali ini rasanya berbeda. Entahlah. ***Siang ini, usai menyelesaikan pekerjaannya di kampus, mas Umair berencan
"Baik!" Aku kembali menoleh kearah suamiku. Tercengang dengan jawabannya yang menantang perkataan mbak Sinta. "Tapi ingat satu pesan dariku." Ku tautkan kedua alisku. Heran dengan ucapan mas Umair. Pesan apa lagi yang ingin ia sampaikan pada mbak Sinta? Mata mbak Sinta nanar menatap kearah kami. Raut wajah ketidaksukaan jelas ia tunjukkan. Aku rasa perkiraan mas Umair tentang ucapan mbak Sinta barusan salah. Mbak Sinta terlihat benar-benar tak menginginkan kami datang kembali. "Tobat, Mbak!" ujar mas Umair yang membuatku mengernyit dahiku. Lantas dengan cepat mas Umair menarik tanganku untuk pergi. Berjalan menuju parkiran dengan gandengan tangan dari mas Umair, diam-diam aku menatap sembari tersenyum ke wajahnya. Suamiku ini benar-benar penuh teka-teki. Namun dibalik itu semua, selalu ada jalan yang tepat untuk setiap masalah yang sedang kami hadapi. ***Hari ini sebenarnya adalah hari terakhir aku dan mas Umair berada di kota sebelum kami kembali pulang ke desa. Namun, aku dan
"MasyaaAllah, sejuknya .... " Ku buka jendela kamarku yang menghadap langsung kearah matahari memunculkan sinarnya. Menghirup udara pagi yang memang begitu menyegarkan. Cukup lama rasanya diriku tak merasakan hal seperti ini. Berbagai kejadian di kota membuat waktuku dan mas Umair benar-benar tersita. Bahkan tak terasa kami sudah hampir setengah bulan tak pulang ke desa. "Dek, Mas pergi dulu, ya." Mas Umair keluar dari kamar mandi. "Loh, mau kemana, Mas? Ini masih pagi banget lho," kataku mendekati mas Umair yang tengah memakai jaketnya. "Ada urusan. Sebentar aja." Mas Umair mengecup keningku lalu pergi begitu saja tanpa memedulikanku yang masih dirundung rasa penasaran. Masalah apalagi yang terjadi kali ini? Seingatku, aku ataupun mas Umair tak pernah memiliki masalah apapun saat di desa. Malah suamiku maupun keluarganya terbilang orang yang begitu dihormati di sini. "Mbak, sarapan, yuk." Aku menoleh kearah pintu kamar. Rahma, adik iparku lah yang memanggilku. Membuyarkan lamun
Entahlah, aku merasa ada yang janggal dengan kejadian ini. Tapi, aku mana berani mengatakan kejanggalanku ini pada umi. Apalagi sekam padi itu sebenarnya memang mudah terbakar. Hanya saja jika itu memamg sengaja dibakar. Kalau ini? Apa iya dari konsleting listrik penyebabnya? 'Tunggu kabar mas Umair aja, deh,' batinku. Mau bagaimana lagi? ***Sehari semalam telah berlalu. Dan mas Umair juga sudah mengabari kalau dirinya tak akan pulang malam ini. Katanya ia akan mengusut tuntas pelaku kebakaran di tempat sekam berada. Bahkan ia sampai meminta bantuan dari orang suruhannya yang ada di kota. Sementara abah sudah pulang sejak tadi sore. Beliau diminta mas Umair untuk pulang saja menjaga orang rumah yang semuanya adalah perempuan. Sebelum pulang abah juga sudah melaporkan kejadian ini pada pihak berwajib sesuai instruksi dari anak lelakinya. Lantaran setelah ditelusuri penyebab kebakaran bukan dari konsleting listrik. Jadi, setelah perbaikan listrik di penggilingan pulih, mas Umair da