Dan kejadian sebelum kami meninggalkan tempat penginapan tadi pagi pun terulang lagi. Mas Umair terjebak dengan obrolan yang amat panjang dengan Hendra. Aku sampai heran dengan suamiku ini. Disetiap obrolannya dengan Hendra, pasti Hendra menyematkan kata-kata entah penghinaan yang ditujukan pada kami ataupun ia memamerkan barang miliknya yang katanya mahal, tetapi respon mas Umair hanya tersenyum dan sesekali menanggapinya, namun masih dengan keadaan tenang.Sebenarnya apa dirinya tidak merasa sakit hati setiap hinaan dilontarkan pada dirinya? Aku saja baru melihat orangnya sudah kepengen memelempar batu lantas melarikan diri. "Kamu itu sudah beristri Mair, harusnya lebih maju dikitlah, kasihan istrimu," kata Hendra pada mas Umair. Sok bijak sekali satu orang ini."Rejeki 'kan sudah diatur, aku juga sudah banyak berusaha, tinggal Allah maunya gimana," balas mas Umair yang terdengar sangat bijak. Tidak seperti lawan bicaranya. "Gimana k
"Dasar pengecut! Pembohong!" mendengar teriakan dari Yanti membuatku menghentikan langkah seketika. Tak terima mendapat cercaan seperti itu, aku putuskan untuk kembali ke tempat dimana Yanti dan suaminya berada. Tak bisa dibiarkan, mereka harus mendapat balasan dariku, apalagi karena teriakannya barusan menjadikanku pusat perhatian setiap pasang mata. Mas Umair terlihat bingung kala aku melewatinya. Gegas, ia pun menyusulku lagi kearah orang yang mengaku sebagai temannya itu. "Apa kamu bilang?" aku berkacak pinggang di depan Yanti dan hendra. "Dek, sudahlah, ayo pulang saja," kata mas Umair yang tiba-tiba sudah berdiri di sebelahku. Ia berusaha menarik lenganku untuk pulang, namun dengan cepat aku melepaskannya. "Buktikan pada kami, kalau kamu memang benar mampu membeli tasku seharga dua juta," kata Yanti dengan congkahnya. Merasa tertantang aku pun dengan cepat mengeluarkan uang sejumlah yang Yanti minta dan meletakkannya di atas meja."Du-a ju-ta!" ku tunjuk tumpukan lembara
Tok!! Tok!! Tok!! Tiba-tiba terdengar ketukan pintu dari luar dengan keras. Saking kerasnya membuatku dan mas Umair kaget sebentar. Gegas mas Umair mengganti baju kokonya dengan kaos biasa. Lalu berjalan menuju pintu untuk membukanya. Sementara aku mengekorinya dari belakang. Siapa yang bertamu dengan mengetuk pintu sekeras itu?"Selamat malam." Rupanya ada dua orang laki-laki bertubuh kekar yang menjadi tamu kami malam ini. Aku sendiri tak mengenal siapa mereka, dan mas Umair dari yang ku lihat tatapan matanya menandakan ia juga tak mengenal dua laki-laki di hadapannya. "Malam. Siapa, ya?" tanya mas Umair. Tiba-tiba salah satu diantara laki-laki itu mendorong masuk mas Umair dan membuat suamiku itu jatuh tersungkur. Aku pun refleks ikut berlari mundur seraya berteriak karena ketakutan. "Minggir Saudah!" Mas Umair memerintahkanku untuk menjauh dari kedua laki-laki tak dikenal. Aku pun dengan cepat berlari ke sudut ruangan. Mas Umair sendiri sudah bangkit dari jatuhnya dan bersi
Part 43 Perjalanan Akhir Usai dari kamar mandi, kesadaranku terasa sudah kembali sepenuhnya. Ku lihat keadaan suamiku juga sepertinya sudah lebih baik. Tapi yang ku herankan saat ku intip ponselku, waktu menunjukkan pukul satu dini hari. Untuk apa ia membangunkanku di jam seperti ini? "Pakai ini." Mas Umair menyodorkan gamis beserta printilannya untukku. Pilihan mas Umair sungguh menyedihkan bagiku, lantaran warna jilbab yang tak senada dengan warna gamis yang ia berikan. Apalagi warna kaos kaki yang cerah dan bermotif penuh. Sangat tidak kontras dengan apa yang akan ku kenakan nanti. Dengan terpaksa aku pun menerima gamis dan printilannya tersebut. Setelah mengganti pakaian lalu aku memasangkan jilbab segi-empatku sembari mendengarkan penjelasan dari mas Umair kenapa ia membangunkanku tengah malam seperti ini. Ternyata saat aku tidur mas Umair sama sekali tidak ikut tidur. Sengaja ia melakukannya karena menunggu waktu yang pas untuk cek out dari penginapan ini. Selain itu ia juga
"Kalau udah longgar, kita beli baju baru buat kondangan ke pernikahan Rani, ya," kata mas Umair lagi. Aku tertegun mendengar perkataannya. Ia seperti menjawab apa yang menyebabkan lamunanku pagi ini. Entahlah, sering kali mas Umair bisa saja berkata yang demikian. Seakan ia tahu isi hatiku. Apa mungkin suamiku bisa membaca isi hati seseorang? Aku tersenyum sebagai tanda membalas perkataan mas Umair. Lalu menerima uluran tangannya yang ia layangkan untukku. Kemudian kami bergegas untuk sarapan bersama sebelum kami berangkat ke kota. Seperti biasanya, hanya umi yang akan mengantar kami ketika hendak berangkat. Meskipun hanya sampai di depan rumah. Lantaran abi sudah lebih dulu ke penggilingan, dan Rahma sudah berangkat ke sekolah. Begitulah ayah mertuaku. Ia tahu betul anak lelakinya takkan pernah marah ataupun tersinggung ketika tak diantar untuk pergi. Sebab, memang sudah terbiasa dengan mas Umair yang pulang pergi seperti ini. "Mas Umair!" tiba-tiba datang bu Menik, salah satu t
Tiga puluh menit berlalu, aku yang tengah bersantai mendadak terkejut kala mas Umair yang tiba-tiba muncul. Jangan-jangan ia akan mengajakku untuk melanjutkan pergi ke rumah mama? Tapi, sebentar lagi akan memasuki waktu sholat maghrib, tidak biasanya ia akan pergi di waktu yang seperti ini. Haduh, bagaimana ini? "Mobil dah selesai. Cuma ada masalah di apa tadi, aku lupa namanya." Mas Umair tersenyum nyengir. "Oya, kamu di rumah aja, aku ke rumah mama sendiri. Assalamualaikum." Mas Umair mengecup keningku sebelum ia meninggalkan tempat. Aku tentu bersorak gembira dalam hati mendengar keputusan mas Umair. Tak perlu ikut ke rumah mama, dan cukup menunggu hasilnya di rumah sambil rebahan. Waktu berlalu, tiba-tiba aku terbangun dari tidurku. Ya, usai makan selepas sholat isya tadi, sambil menunggu pulangnya suamiku, aku memutuskan untuk mengistirahatkan badanku.Ku lihat jam dinding sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Tetapi tanda-tanda kepulangan mas Umair belum juga terlihat. Pesan
'Kemana kamu Mas?' batinku yang rasanya ingin menjerit memanggil suamiku. Bu Restu terus memelukku, mencoba menenangkan diriku yang mulai pasrah dengan keadaan. Harus bagaimana lagi untuk menemukan keberadaan suamiku jika ke rumah mama saja aku tak bisa. Kalaupun harus menelepon mama, rasanya itu tak mungkin bagiku. Karena aku sudah memblokir dan menghapus semua nomor keluarga mama.Sekitar lima belas menit kami terdiam. Dan pak Eko masih belum menyalakan mesin mobilnya. Mungkin ia juga sedang memikirkan hal bagaimana kami bisa masuk ke dalam kompleks dengan cara lain. Meski rasanya itu mustahil. "Gak coba telepon mamamu atau saudaramu, Mbak?" tanya bu Restu yang hanya ku jawab dengan gelengan kepala.Bu Restu lantas kembali terdiam tanpa menanyakan hal lebih mengapa aku menjawab demikian. Mungkin bu Restu bisa menangkap apa yang terjadi dibalik masalah yang sedang ku hadapi sekarang. Tiba-tiba aku terpikirkan sesuatu dan kemudian dengan cepat kembali menghampiri pos satpam. Pak Ek
Ku lihat ponselku, dan waktu sudah hampir pukul tiga dini hari. Dan pesan ataupun panggilan untuk mas Umair sama sekali belum ada balasan. Mengingat waktu dan tak mau lebih banyak merepotkan pak Eko dan bu Restu aku pun memilih untuk kembali pulang. Sementara akan ku tenangkan diriku dan mengumpulkan tenaga terlebih dahulu. Sebab selepas terbitnya matahari, aku tahu kepada siapa yang harus ku temui untuk menemukan petunjuk tentang suamiku. ***Pagi ini aku berniat akan menemui seseorang yang ku yakini bisa membantuku untuk menemukan petunjuk tentang mas Umair. Sebab, mas Umair sendiri sama sekali belum merespon pesan-pesan WA atau panggilan dariku sejak tadi malam. "Mbak Saudah?" tiba-tiba bu Restu muncul ketika aku sedang duduk di kursi teras menunggu taksi online yang sudah ku pesan. Aku bangkit mendekati bu Restu yang terlihat sedang kebingungan. "Kenapa Bu?" tanyaku. Bu Restu lalu memperlihatkan isi pesan ponselnya padaku. Aku pun paham apa yang menjadi penyebab kebingungan