Setelah selesai mengurus pendaftaran sebagai pasien baru, kami menyerahkan mama pada pihak rumah sakit. Sementara itu kami akan kembali pulang lebih dulu guna mengambil segala kebutuhan yang diperlukan mama selama menjalani perawatan. Saat kami hampir sampai di rumah, rupanya mbak Sinta dan suaminya sudah di rumah. Terlihat dari mobil mereka yang sudah terparkir di halaman depan. Perasaanku mendadak tak enak mengetahui kami akan saling bertatap muka kembali setelah sekian lama tak bertemu. "Assalamualaikum!" ucap mas Umair sebelum kami memasuki rumah. Lebih tepatnya kami berhenti di depan pintu. Tak juga mendapati balasan dari salam kami, aku dan mas Umair pun langsung masuk ke dalam. Mengingat kami harus segera kembali ke rumah sakit. Di sofa ruang tengah aku melihat mbak Sinta yang sedang menangis. Sementara mas Bima aku tak melihat keberadaannya. "Mbak?" aku berjalan perlahan mendekati kakak sambungku itu. Dengan cepat m
Part 55 Mas Umair dan Mbak Sinta? "Mungkin ini balasan buat Mbak Sinta," kata mas Umair di tengah perjalanan kami saat kami membahas apa yang diceritakan mbak Sinta tadi. Jelas aku tertegun menderita perkataan suamiku barusan. Aku saja tidak berpikir jika apa yang dialami mbak Sinta adalah balasan atas perbuatannya padaku. Tapi, mungkin memang saja. Ah, rupanya, karma itu memang ada. ***Sore ini aku dan mas Umair berencana untuk kembali ke rumah mama, menggali lebih dalam informasi mengenai hilangnya mas Bima. Sebab sejak kemarin belum ada kabar dari mbak Sinta yang menyatakan kepulangan suaminya. Sebenarnya aku mengusulkan pada mas Umair, kami pergi besok pagi saja, pasalnya hampir seharian ini ia bertugas di kampus. Aku yakin ia pasti lelah. Tetapi ia tak mau mendengarkanku, katanya jika pencarian ini terus ditunda akan berakibat lebih tidak baik, karena kami tak tahu bagaimana situasi dan kondisi yang dialami mas Bima di luaran sana. Apalah daya, aku tidak bisa melarang apa
Ku hela nafasku. Kewaspadaanku semakin bertambah melihat mbak Sinta menyiapkan teh hangat untuk suamiku. Entah sejak kapan mbak Sinta tahu kalau mas Umair memang lebih suka minuman hangat, terutama teh hangat. Ah, apa mungkin suamiku itu ada hubungan dengan mbak Sinta? Akhirnya kami bertiga pun makan bersama. Terus-menerus ku perhatian gerak gerik antara suamiku dan mbak Sinta. Aku tak mau hal sekecil apapun terlewat dari padanganku. Tanpa diminta akhirnya mbak Sinta menceritakan awal mula perginya mas Bima ditengah-tengah kegiatan kami. Entah benar atau tidak, aku merasa ada sesuatu yang aneh dari pernyataannya barusan. Pasalnya mbak Sinta mengatakan sebelum suaminya pergi, mereka sempat bertengkar hebat. Sementara yang ku tahu selama ini, sehebat apapun mereka ada masalah, tak ada salah satu dari mereka sampai pergi dari rumah. Apa mungkin pertengkaran mereka ada kaitannya dengan mas Umair?Ketika mbak Sinta asyik dengan ceritanya, ku lihat mas Umair tampak biasa-biasa saja. Ia
Astaga, aku benar-benar tak bisa menebak apa rencana suamiku yang sebenarnya. Membingungkan. Atau memang otakku saja yang tidak sampai menangkap apa yang menjadi rencana mas Umair? Duh! Mbak Sinta pun berusaha menghubungi kembali nomor tadi. Tak butuh waktu lama untuk menunggu, akhirnya balasannya datang. "Iya, besok pagi jam 6 di alamat ini." Mbak Sinta memperlihatkan balasan pesan tersebut. "Oke!" balas mas Umair dengan mantap. ***Malam ini aku dan mas Umair memutuskan untuk tetap menginap di sini. Kami tidur di kamar yang dulunya adalah tempat tidurku. Rasanya kangen juga menempati ruang kamar ini setelah hampir satu tahun ku tinggalkan. "Mas yakin mau ngasih uang 200 juta gitu aja ke mbak Sinta? Kita 'kan gak tau kebenarannya gimana?" tanyaku saat kami bersiap untuk tidur. "Yakinlah." Mas Umair menyusulku yang lebih dulu berada di atas kasur. "Mas, kok bisa seyakin itu, sih?" tanyaku penasaran. Lantas mas Umair memposisikan duduknya lebih dekat denganku. Ia tersenyum memp
Tahu-tahu mas Umair menyentuh tanganku dan memberikanku kode untuk melihat kaca spion di atas kami. Dan ku lihat mbak Sinta dan mas Bima tampak bingung dan gelisah ketika tahu ada perkelahian di belakang sana. Jelas sekali wajah merah pada terpancar dari wajah dua insan yang baru bertemu kembali itu. Aku tersenyum melihat suamiku. Rencananya sedikit membelok dari apa yang ia ceritakan tadi malam. Meski begitu, ku akui disetiap rencana yang ia susun tak pernah gagal. Termasuk saat ini. Dan bisa ku simpulkan, bahwa dugaannya terhadap mbak Sinta dan suaminya kemungkinan besar adalah benar. "Ya ampun, kasihan mereka," kata mbak Sinta saat melihat keributan di belakang mobil kami. "Mair, kamu gak mau nolongin mereka? Kamu 'kan suka ngebantuin orang-orang biarpun mereka udah jahat sama kamu," ucap mbak Sinta lagi. Terlihat ia sedang berusaha agar mas Umair menghentikan perkelahian itu. "Biarin aja, Mbak." Mas Umair lalu menjalankan mobilnya. "Mair, kalo seandainya kamu mau berhenti, me
Mas Umair pun tahu-tahu memutar setirnya. Tak jadi pulang, kini mobil berjalan menuju rumah mama kembali. Entah apa yang ada dalam pikiran suamiku ini, yang jelas ia benar-benar membuatku begitu penasaran dengan apa yang ia lakukan sekarang. Mungkinkah ini bagian dari rencana yang ia katakan tadi? Mobil berhenti tepat di seberang jalan depan rumah mama. Dan rupanya pak Didin lari terburu-buru tadi lantaran ia menuju ke rumah mama dimana sudah banyak tetangga kompleks termasuk pak RT pun ikut berkerumunan di halaman rumah. Entah terjadi keributan apa di sana.Yang jelas keadaan di sana begitu riuh dan ramai. Banyak dari mereka meneriaki nama mbak Sinta dan mas Bima untuk keluar dari rumah. Bahkan ada yang sampai mengumpat dan melontarkan kata-kata kasar agar mbak Sinta dan mas Bima cepat keluar. Mas Umair sendiri memutuskan untuk tidak langsung turun. Entah apa yang ditunggu. Namun terlihat dari wajah suamiku ini ia tampak senang melihat kejadian di depan mata kami. Dan mungkin teba
Baru kali ini aku melihat wajah melas pada kakak tiriku ini. Bahkan pancaran matanya seakan memohon padaku untuk menyelamatkannya dari kemarahan para tetangga yang ada. "Tenang, Mbak, kami akan bantu," kata mas Umair yang membuatku terperanjat. Sebab bukankah tadi ia mengatakan jika ini akan menjadi pelajaran untuk mbak Sinta dan suaminya. Lantas ini apa? Mungkin pelajaran yang ia maksudkan hanya sampai di sini? Dan ini lagi, aku baru menyadari kalau semua tetangga termasuk pak RT dan pak Didin ikut terdiam kala aku dan mas Umair sampai di rumah ini. "Dengar, ya, kalian!" tunjuk mbak Sinta di depan para tetangga. "Kalian tau 'kan siapa adik iparku ini dan bagaimana dia? Dia sudah menyatakan akan menolongku dan itu artinya aku akan bebas dari tuduhan yang kalian berikan." Mbak Sinta terlihat berapi-api berkata demikian. Sungguh, kepercayaan dirinya dan kesombongan yang biasa ia tampakkan kini muncul kembali di garis wajahnya. "Benar ibu-ib
Mas Umair juga menceritakan alasan lain kenapa mas Bima bisa tertangkap. Yakni, sebelumnya dua orang suruhan mas Umair yang menyamar sebagai tukang ojek online tersebut, mereka menyelidiki lebih dalam kebenaran utang yang menyangkut nama perusahaan mas Bima. Dan ternyata ada fakta yang luar biasa yang mana aku benar-benar tak menyangka kalau mas Bima bisa bertindak sejauh itu. Namun sebelum lebih lanjut membahas soal mas Bima dan mbak Sinta, mas Umair malah sibuk mengutak-atik ponselnya. Menelepon seseorang yang entah siapa itu. "Ya, datang sekarang," kata mas Umair pada lawan bicaranya di seberang telepon lalu menutupnya. "Siapa, Mas?" tanyaku penasaran. "Nanti juga tau," balasnya seraya memasukan kembali ponselnya ke dalam saku celananya. "Gitu aja terus!" balasku dengan rasa dongkol. Namun mas Umair hanya tersenyum menanggapi kekesalanku. Tanpa lagi merespon pertanyaanku, mas Umair lalu mulai menceritakan lagi