“Kamu pikir telah menang karena menggugat cerai aku. Kamu salah, aku tidak akan mengabulkan permintaan cerai kamu. Jangan harap perceraian ini berjalan mulus.” Pesan dari Tama membuat keningku berkerut. Tidak habis pikir, apa sih maunya orang itu? Dia yang berkhianat, tapi kenapa pula tidak mau diceraikan? Apa memang setiap laki-laki yang berselingkuh, tidak pernah mau diceraikan oleh istri sahnya? “Kenapa, De?” Mbak Mayang menepuk pundakku. Handphone dalam genggaman kusodorkan padanya. “Apa sih maunya?” Mbak Mayang kembali bersuara. Aku hanya bisa mengedikkan bahu, tidak paham dengan jalan pikiran si mantan.Ya Allah … ampuni hamba yang selalu menyusahkan orang tua. Seandainya saja, dulu tidak gegabah dan buru-buru menikah, mungkin nasibku tidak akan seperti ini. Menjadi janda di usia muda. Ada yang lebih penting dari itu, bisa jadi, Ibu tidak akan pernah menjadi seperti ini seandainya aku tidak menikah dengan Tama, menantu yang selingkuh dengan iparnya sendiri. Gara-gara keego
POV 3 Ketuk palu hakim membuat detak jantung Amira bertalu-talu. Jari jemarinya saling bertaut. Meskipun ini yang Amira inginkan, perpisahan. Tapi, nyatanya tetap meninggalkan luka di hati perempuan cantik tersebut. Siapa yang menginginkan perpisahan? Tidak ada satu perempuan pun di dunia ini yang mengharapkan menjadi janda, gelar yang menjadi momok setiap wanita. Pun dengan Amira, dulu tidak pernah terlintas dalam pikirannya untuk mengakhiri pernikahan dengan cerai hidup seperti saat ini. Amira melangkah keluar dari ruang sidang dengan gontai. “Yang kuat, ya. Memang dengan statusmu yang baru ini tidak mudah. Tapi, dengan ini kamu akan lebih bahagia. Percayalah akan ada pelangi setelah badai.” Mayang mengelus- ngelus pundak Amira dengan penuh kasih. “Aamiin.” Amira menyahut dengan penuh rasa.Ketidakhadiran Tama sejak sidang pertama memuluskan proses perceraian mereka. Amira berjalan beriringan dengan Mayang menuju tempat parkir mobil. Tidak ada pembicaraan di antara mereka
“Bagaimana kondisi Bulik Sumi? Maaf, aku sangat sibuk akhir-akhir ini, sehingga tidak ada waktu untuk ke sini. Bulik Sumi sudah ada perubahan? Bagaimana hasil pengobatan yang waktu itu?” tanya Mbak Mayang sembari menyodorkan rantang padaku. Sudah tiga bulan dari perceraianku dengan Tama. Tapi, kondisi ibu belum juga membaik. Sudah berbagai cara kami usahakan untuk kesembuhan Ibu. Sudah ke dokter, ke ahli saraf, kata orang suruh membawa ke sana, ke sini sudah kamu lakukan. Namun, masih nihil hasilnya. Sepertinya, Allah masih meminta kami untuk terus berjuang. “Eh, kok malah melamun. Ada apa?” Pertanyaan Mbak Mayang membawa kesadaranku seketika. “Belum ada perubahan, Mbak? Aku nggak tahu harus ke mana lagi membawa ibu berobat. Apa ini, Mbak?” Aku menatap ke arah rantang stainless yang terasa hangat.“Bubur ayam. Tadi aku membuat bubur banyak, sengaja untuk Bulik Sumi. Mumpung ada waktu senggang.” Mbak Mayang menghempas bobot tubuhnya di sofa ruang tamu. “Wah, terima kasih banyak, Mb
“Ada perlu apa datang ke sini? Masih punya nyali juga kemari?” tanyaku begitu bersitatap dengan tamu tak diundang tersebut. Di depan pintu, aku bersedekap dengan badan disandarkan pada kusen pintu. Tidak ada sambutan hangat untuknya seperti dulu. Aku tidak bisa lagi berbasa-basi dengannya. Mendengar pertanyaanku mukanya memerah seketika, bahkan sempat membuang muka ke arah lain. Tapi, detik berikutnya ia terlihat bisa menguasai keadaan. “Aku datang ke sini untuk silaturahmi. Apa itu salah? Bukankah di dalam islam dilarang memutuskan tali persaudaraan? Aku ingin menjenguk ibu, mantan mertuaku yang sedang sakit. Apa itu dilarang?” Pertanyaan Lilik memojokkan aku. Kurang ajar memang.“Tidak ada yang salah dengan silaturahmi. Tidak salah pula menjenguk orang sakit. Namun, di sini yang salah adalah tujuanmu datang ke sini. Aku sangat yakin, kamu punya tidak benar-benar tulus untuk menyambung silaturahmi. Tapi, ada maksud lain.” Aku menjawabnya dengan senyum sinis. Tatapan ini tidak le
“Mbak, Bu Sumi sepertinya memanggil-manggil.” Aku menoleh ke arah sumber suara. Nana terlihat panik, ia berdiri di ambang pintu pemisah antara ruang tamu dan ruang keluarga. “Tolong samperin dulu, Na. Aku masih ada sedikit urusan.” Perempuan itu mengangguk. Aku harus menyelesaikan urusan dengan Lilik. Kini aku kembali mengalihkan pandangan ke arah Lilik setelah memastikan Nana pergi ke arah kamar ibu. Partner kerjaku itu bisa diandalkan untuk membantu mengurus Ibu.“Apa maksud dan tujuanmu datang ke sini? Katakan apa yang ingin kamu sampaikan. Waktuku tak banyak!” “Baiklah kalau kamu mendesak aku. Sepertinya ini waktu yang tepat untuk mengungkapkan semua kebenarannya.” Ucapan Lilik membuat keningku berkerut. “Nggak usah bertele-tele, katakan apa maumu,” pintaku dengan tegas. Entah kebenaran apa yang ingin dia sampaikan? “Aku hanya ingin bilang pada ibumu, anaknya Rusmi, wanita yang dulu calon suaminya direbut ibumu masih hidup.” Ucapan Lilik membuat otaknya berusaha kerasnya me
POV Lilik“Maaf, ada apa, ya, Ibu menatap saya begitu dalam?” tanyaku kepada seorang wanita paruh baya yang menumpang berteduh di kontrakanku. Di luaran hujan begitu derasnya. Aku memberikan tumpangan padanya untuk beristirahat sejenak. Sepertinya dia orang yang sama susahnya dengan aku. Buktinya, ia memulung. “Siapa namamu, Nak?” Alih-alih menjawab pertanyaanku, wanita itu justru bertanya balik. Entah kenapa ingin kenal dengan aku. “Lilik, Bu. Ibu mengenal saya?” “Siapa yang mengerikan kalung itu?” Dia kembali bertanya setelah leherku dengan seksama. Kepo. Tapi, sepertinya dia mengetahui sesuatu. Siapa tahu ia bisa memberikan petunjuk tentang keberadaan orang tua kandungku. “Saya tidak tahu, Bu. Tapi, ibu panti memberikan kalung itu satu bulan yang lalu. Katanya, itu barang yang dulu diletakkan di atas samping tubuh mungil saya. Apa ibu tahu tentang kalung ini?” Aku sangat penasaran, kenapa ia begitu kepo. Ya, satu bulan lalu aku datang ke panti. Kangen dengan ibu panti, Bu Mus
POV 3“Aku tak bisa membalas sakit hati ini sendiri. Di sini, aku tidak punya siapa-siapa lagi. Satu-satunya cara aku harus menikah dengan Mas Tama dulu untuk membalaskan sakit hati ini pada Bu Sumi. Bekerja sama dengan mantan besannya itu seperti lebih baik. Aku akan datang untuk menuntut keadilan wahai perempuan penghancur masa depanku, Bu Sumi!” Lilik menatap foto usang di tangannya. Tapi, wajahnya tampak murung seketika ketika mengingat bagaimana hubungannya dengan Tama akhir-akhir ini. Laki-laki itu seolah menghindarinya hanya gara-gara ia meminta uang tambahan. “Dasar laki-laki pelit! Ah, apa pun itu, aku harus bisa merayu dan mengambil hati Mas Tama. Bagaimanapun caranya aku harus bisa menikah dengannya. Enak saja, mau lari dari tanggung jawab. Aku hancur gara-gara dia. Seandainya dulu kami tidak bermain gila aku pasti sedang bahagia menikmati fasilitas dari Mas Fikri.” Di dalam hati Lilik bermonolog. Ia membulatkan tekad. ***Langit baru saja menumpahkan air, membasahi bum
Usai salat Isya, aku yang biasanya merebahkan badan di samping ranjang ibu, kini masih berkutat di dapur. Malam ini aku mempersiapkan bumbu-bumbu untuk besok pagi. Dua ratus box nasi harus dikirim ke pelanggan untuk acara syukuran di sore harinya. “Nduk, kamu, kok, akhir-akhir ini bibi perhatikan banyak melamun? Ada masalah apa, tho?” Bibi duduk di sampingku yang sedang mengupas bawang merah. Aku mendongak, menatap perempuan ayu meski tidak lagi muda tersebut. Seulas senyum tipis kupersembahkan untuknya sebagai jawaban. “Kalau ada sesuatu cerita sama Bibi. Barangkali bisa meringankan bebanmu.” Wanita yang telah lama ditinggal suaminya itu mulai ikut mengupas bawang yang ada di hadapanku. Aku terdiam sejenak, mempertimbangkan segala sesuatunya. Pisau dalam genggaman kuletakkan di tampah. Lalu, kutatap perempuan di samping itu dengan seksama. “Bi, apa dulu sebelum menikah dengan ayah, ibu sudah menjadi janda?” Akhirnya pertanyaan itu meluncur dari bibir ini. Sudah dua hari aku m