Amira merasakan sakit hati saat mengetahui pengkhianatan suami dengan kakak iparnya sendiri. Mereka bermain gila di belakang Amira serta abangnya. Namun, rasa sakit hati Amira tidak lama karena setelah itu ia sangat bersyukur suaminya direbut oleh kakak iparnya. Biasanya, seorang wanita akan merasakan sakit dan menyimpan dendam kepada perempuan yang telah merebut suaminya, tapi berbeda dengan Amira. Justru perempuan itu mengucapkan terima kasih setelah mengetahui iparnya merebut suaminya sendiri. Ada apa dengan Amira? Apa yang menyebabkan perempuan itu justru mengucapkan terima kasih kepada pelakor?
View MorePOV TamaAmira? Benarkah itu Amira? Aku berkedip, lalu membuka mata kembali. Menyakinkan diri bahwa mata ini ini tidak salah melihat. Dan memang benar, itu Amira. Suaranya, senyumnya, cara jalannya semua memang Amira. Bagaimana bisa dia ada di sini? Siapa yang mengundangnya? Sial! Kecantikan Amira membuatku tidak ingin berpaling. Detak jantung ini pun semakin tidak tahu diri. “Oh, jadi ini alasan kamu tadi ogah-ogahan ngajak aku ke sini? Mau ketemuan sama Amira?” Di sampingku Lilik berkata dengan sangat ketus meskipun samar.Aku abaikan komentar Lilik, memilih bergabung dengan Aldo dan yang lainnya. “Itu mantan istri kamu, Bro? Gila makin kinclong aja. Memang, seorang wanita kalau sudah menjadi janda auranya itu semakin kentara.” Aldo saja memujinya, bahkan matanya tak ingin berkedip saat menatap Amira meski dari jauh. Apalagi aku yang pernah memilikinya. Mengamati Amira dari jarak jauh. Ia tampak tersenyum pada perempuan di sebelahnya. Ternyata Amira memiliki senyum yang begit
“Mbak Amira?” Aku menoleh ke arah sumber suara. Ternyata Ajeng sudah berada di belakangku. Ia menyambutku dengan pelukan hangat. Lalu bercipika-cipiki dengan Nana yang ada di sebelahku. “Terima kasih sudah datang, Mbak. Aku senang sekali Mbak Amira bisa hadir. Tadi sempat khawatir Mbak Amira nggak bisa datang mengingat. Sebab punya ibu yang sedang sakit. Apalagi sampai acara mau dimulai Mbak belum kelihatan.” Ajeng mengembangkan senyum seolah bahagia dengan kehadiranku. Aku memang datang agak terlambat. Karena sudah hampir penuh tempat duduknya. “Insya Allah saya hadir, Mbak. Untuk masalah ibu ada yang menjaga, kok.” “Yuk, kenalkan pada suamiku.” Ajeng membawaku ke suami dan juga mertuanya. Setelah berbasa-basi dengan mertuanya, aku dibawa ke arah laki-laki yang mengenakan baju yang sama dengan Ajeng. “Mas, kenalkan ini Mbak Amira, pemilik cateringnya.” Ajeng menyentuh tangan seorang lelaki yang baru saja mempersilakan tamunya menempati tempat duduk. “Lho, Bu Amira? Kok, nggak
“Belum puas kamu mencari masalah dengannya aku, Mir? Tidak ada bosan- bosannya kamu mengusik urusan pribadiku. Apa sih maumu, brengsek?” Jari telunjuk Santi mengarah tepat ke wajahku. Tentu aku tersentak kaget. “Wong edan songko ngendi kui, Nduk?” Bibi yang ada di belakangku berbisik.(Orang gila dari mana itu, Nduk? “Bi, tolong balik lagi ke belakang saja. Biar orang-orang nggak ikutan ke sini. Nanti bisa repot urusannya. Pekerjaan nggak kelar-kelar.” Aku meminta Bibi dengan setengah berbisik pula. Aku tak ingin menjadi bahan tonton. Setelah memastikan bibi pergi ke belakang, aku kembali menatap Santi yang masih ada di hadapanku.“Aku mencari masalah dengan kamu?” Seperti orang bego aku mengulang pertanyaan tersebut. Jari telunjuk ini mengarah pada dadaku sendiri. Keningku pun berkerut dengan lipatan yang banyak.“Sejak kapan aku mencari masalah sama kamu? Bukan selama ini kamu yang mencari perkara dengan aku?”Santi tersenyum mengejek. Kurang ajar memang! “Nggak usah merasa sok
Di rumah, sedang sibuk-sibuknya hari ini. Banyak orang yang membantu mempersiapkan pembuatan nasi kotak untuk acara aqiqahan anaknya Ajeng. Kami semua sibuk, karena mengolah berbagai macam menu, sesuai permintaan ibu mertuanya Ajeng.Aku yang baru selesai membuat rendang daging kambing istirahat sejenak di ruang tengah. Menikmati secangkir es teh manis buatan Nana. Tanpa sadar bibir ini menyunggingkan senyum, mengingat bagaimana pertemuan pertamaku dengan mertuanya Ajeng. Kami menegosiasi harga dengan alot. Mertuanya Ajeng ingin bertemu denganku secara langsung katanya. Menjelaskan secara rinci apa yang beliau inginkan. Beliau ingin tambahan ini dan itu di atas nasi. Tapi, mertuanya Ajeng ingin harga standar dengan menu yang komplit. Tentu aku tidak bisa menerimanya. Bukankah ada harga ada kualitas? Sempat terjadi perdebatan mengenai harga. Beliau sempat ngotot ingin harga yang murah, aku pun ngotot untuk mempertahankan harga yang memang sudah sesuai perhitungan. Meskipun begitu,
Dari jarak jauh aku melihat Santi dituding-tuding oleh seorang perempuan di depan SPBU. Entah apa yang diucapkan wanita asing itu, tapi yang pasti Santi terlihat menunduk, tidak berani menatap lawannya maupun ke sekeliling. Mungkin saat ini ia sudah kehilangan muka, karena dipermalukan di depan umum. Aku dan Nana yang sedang antri di tempat pengisian bahan bakar hanya bisa menjadikan mereka bahan tontonan. “Ada masalah apa mantan kakak ipar Mbak Amira sampai dimaki-maki seperti itu?” Nana yang sedang ada di belakangku melontarkan pertanyaan. Sepertinya ia sangat penasaran, jiwa keponya meronta-ronta untuk mencari bahan gibahan, mungkin. “Nggak tahu, Na. Bisa jadi itu istri dari selingkuhan Santi.” Aku menjawab sekenanya, hanya berdasarkan praduga. Siapa lagi yang bisa membuat Santi ketakutan kalau bukan istri sang pacar? “Mantan ipar Mbak Amira pacaran sama suami orang? Jadi ceritanya itu sedang dilabrak, ya, Mbak? Dih, amit-amit!” Nana mengumpat.Aku hanya mengedikkan bahu, mena
Aku yang baru pulang dari belanja sayur menatap wajah asing di depanku dengan berbagai pertanyaan. Namun, sebisa mungkin aku menyambutnya dengan ramah. “Ada yang bisa saya bantu, Mbak?” Aku menatap tamu yang tidak diundang itu dengan penuh selidik. Takut-takut ia suruhan seseorang. Bukan merasa sok penting, tapi nyatanya ada orang yang tidak suka dengan aku.“Kenalkan, Mbak. Nama saya Ajeng.” Perempuan dengan rambut sebahu itu mengulurkan tangan ke arahku yang masih waspada. Melihat keramahan sang tamu, aku pun menyambut uluran tangannya.“Amira. Mbak Ajeng tahu alamat saya dari mana?” Karena dilanda penasaran yang teramat, akhirnya aku melontarkan pertanyaan tersebut setelah memperkenalkan diri. “Saya tahu alamat rumah Mbak Amira dari Bu Wongso. Saya mau ikut memesan nasi kotak pada Mbak Amira.” Mendengar nama Bu Wongso disebut, aku pun sedikit lega. Setidaknya Ajemg bukan orang yang punya niat jahat padaku. Terlebih setelah ia mengatakan tujuannya datang kemari. Dengan tanga
POV Amira“Sudah siap semuanya, Na?” tanyaku usai salat Ashar.Kuminta Nana untuk melanjutkan keperjakaan yang tinggal sedikit lagi, mengemas nasi ke dalam kotaknya. “Sudah dong, Mbak. Tinggal kita tunggu jemputan dari Bu Wongso.” Perempuan berwajah manis itu menjawab tanpa menolak ke arahku. Tangan dan matanya sibuk mengupas jeruk balik, hasil panen di belakang rumah ini. Pandangan ini kuedarkan ke seluruh ruang tamu. Di sana sudah berjejer kotak nasi yang siap dikirim ke rumah Bu Wongso.Klakson mobil di halaman rumah membuat kami saling pandang. Melalui kontak mata seolah kami sedang berbicara, “Sepertinya itu utusan Bu Wongso.” Gegas aku membuka pintu dengan lebar. Di ambang pintu, tubuhku menegang sekketika, senyumku yang tadi merekah kini lenyap begitu saja saat mata ini menangkap sosok yang selama ini sangat aku benci. Untuk apa dia datang ke sini?“Amira? Jadi ini rumahmu?” tanyanya sok polos. Dari sorot matanya, aku tahu dia sedang pura-pura kaget. Basi! “Amira, apa kabar?
Sesuai dengan janjinya pada Lilik, Tama bersiap untuk pergi ke cafe. Kebetulan hari ini libur, sejak pagi ia tak ke mana-mana. “Rapih bener, mau pergi? Mau ke mana kamu, Tama?” Bu Mumun menegur putranya yang baru keluar kamar. Perempuan itu memindai Tama dari ujung kepala hingga kaki.Setelah bercerai dengan Amira, laki-laki itu kembali ke rumah ibunya atas permintaan Bu Mumun. Alasannya, kasihan tidak ada yang mengurus, padahal bukan itu tujuan utamanya. Agar mereka lebih mudah menguasai uangnya Tama.“Mas Tama mau ketemu sama perempuan itu, Bu. Dia akan mau menikah dengan janda gatal itu, Bu.” Arin, adiknya Tama menjawab dengan cepat. Ia duduk di sebelah ibunya dengan senyum mengejek ke arah Tama. Gadis itu memang tidak menyukai Amira, tapi juga tidak menyetujui hubungan abangnya dengan Lilik. “Apa? Benar kamu mau menemui perempuan itu, Tama?” Bu Mumun melotot, tanda tidak suka dengan apa yang didengar oleh telinganya.“Benar. Kenapa memangnya, Bu?” Tama mengambil kunci motor
Amira mengepalkan tangannya kuat-kuat, dadanya bergemuruh hebat saat melihat senyum kemenangan di bibir Lilik. Tapi, itu tidak berlangsung lama, sebab detik berikutnya, Amira menyeringai setelah menemukan ide untuk membalas perlakuan Lilik padanya. “Bagaimana kabar mantan kakak ipar? Sehat? Sudah lama ya, kita tidak bertemu.” Amira mengulurkan tangannya ke arah Lilik. Namun, diacuhkan oleh perempuan itu. Amira hanya tersenyum melihat tangannya diabaikan oleh pelakor“Tidak usah, sok, asyik, anak pelakor! Untuk apa kita bertemu, seandainya bisa aku tidak ingin pernah kenal pada kamu, anak pelakor!” Lilik masih angkuh. Tidak kehabisan akal, Amira berjalan mendekati, meraba perut Lilik yang sudah tidak lagi rata tersebut. “Bagaimana keadaan janinmu, Mbak? Sehat kan? Semoga sehat, lahiran dengan lancar meskipun tidak diakui oleh bapaknya.” Amira mengalihkan pandanganya, dari perut buncit ke wajah Lilik.“Eh, sudah diakui oleh bapaknya belum, sih, Mbak? Belum, ya, kasihan dia. Sebaga
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.