Share

Tawaran Cinta Sang Taipan
Tawaran Cinta Sang Taipan
Penulis: Memey Yin

Sang milyuner dan gadis pilihan

“Setidaknya sampai hari ini kau harus bersyukur karena masih bernapas.”

Begitulah kalimat penyemangat yang dilakukan Alexa pada diri sendiri. Jika bukan dirinya, siapa yang akan peduli?

“Jangan melamun. Lihat! Meja nomor lima ada orang.” Alexa segera menoleh dan mendapati pelanggan sudah duduk di sana dan membuka buku menu.

“Aku ya?” ucap Alexa malas.

“Kau melamun terus. Ada apa?” tanya Emily merangkul bahunya. Salah satu sahabat sekaligus saudara bagi Alexa yang hidup seorang diri.

“Tidak ada. Aku ke depan dulu,” sahut Alexa segera melangkah menuju meja nomor lima. Tangan kirinya memegang buku kecil yang digunakan untuk mencatat pesanan.

“Silakan sebutkan pesanan Anda, Signore,” ucap Alexa yang berdiri dengan kepala menunduk di hadapan pelanggan.

Setelah dua pria tersebut menyebutkan pesanan, Alexa segera berlalu menuju dapur.

Siang ini suasana restoran tak begitu ramai karena ini adalah hari Minggu. Letak restoran ini begitu strategis dan menjadi salah satu restoran yang terkenal di antara yang lainnya.

Alexa tampak tak bersemangat. Tubuhnya terlihat begitu lesu dengan wajah terlihat sayu dan badan yang sedikit panas.

“Hei Alexa! Ada apa denganmu?” Emily kembali bertanya sambil menepuk bahunya.

“Mungkin kelelahan,” sahut Alexa, tersenyum tipis.

Obrolan keduanya terhenti saat pesanan meja nomor lima sudah siap. Karena pesanan mereka cukup banyak, Alexa membawa kereta dorong untuk membawa makanan-makanan tersebut. Saat meletakkannya di atas meja pelanggan, tak sekali pun kepalanya mendongak. Namun wanita itu menyadari, ada mata yang memandang.

“Silakan nikmati makan siang Anda. Saya permisi,” ucap Alexa sebelum berbalik arah. Bahkan sampai langkahnya sudah menjauh, ia merasa ada mata yang mengawasi.

Alexa segera mengenyahkan pikirannya, mungkin itu hanya ketakutan yang berlebih. Tak lama Emily datang dan membawakan segelas air yang langsung diterima.

“Lebih baik kau izin pulang, wajahmu terlihat pucat,” ucap wanita itu penuh perhatian.

“Aku baik-baik saja. Pulang hanya akan membuatku mendapatkan potongan gaji sementara sebentar lagi harus membayar sewa flat,” jawab Alexa pelan, membuang napas kasar.

Diam-diam Alexa terkadang lelah menjalani kehidupan sulit yang setiap saat mendera. Wanita itu harus rela menahan semua keinginan.

“Apa tidak sebaiknya kita merayu seorang jutawan untuk hidup yang lebih layak?” Emily berkata dengan frustrasi.

“Tak ada gunanya merayu seorang jutawan, belum tentu mereka berminat dengan wanita lusuh seperti kita,” sahut Alexa kemudian mendesah pelan. “Kita bukan selera mereka,” lanjutnya lagi sambil mengamati diri sendiri. Bentuk tubuhnya memang bagus—tinggi semampai dengan wajah yang bisa dibilang cantik dengan kulit yang putih bersih. Setidaknya itu menjadi dua aset berharga yang dimiliki.

Emily tertawa mendengar jawaban sahabatnya yang apa adanya. “Aku masih ada tabungan jika kau membutuhkan,” ucapnya sambil menatap Alexa serius.

Alexa menggelengkan kepala pelan sebelum menjawab, “Aku tidak mau menambah beban utang dulu. Mati membawa utang yang belum lunas itu membuat arwah kita jadi penasaran.”

Emily memukul pelan bahu Alexa. Bicaranya yang asal membuat keduanya sangat cocok satu sama lain. Tak bisa sekali pun keduanya terlibat pembicaraan yang benar-benar serius.

Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Alexa dan Emily sudah bersiap pulang dengan berjalan kaki, hanya membutuhkan waktu sekitar empat puluh lima menit untuk sampai di tempat tinggal mereka. Melewati beberapa pertokoan dan beberapa jembatan yang harus diseberangi sebelum masuk gang-gang kecil.

Sepanjang jalan keduanya terus bicara sampai tidak sadar telah sampai di sebuah gang sempit yang hanya bisa dilewati secara bergantian. Satu-satunya tempat dengan harga sewa paling murah karena lokasi dan bangunannya yang tak begitu terawat.

Begitu sampai Alexa segera mandi dan bergegas meluruskan punggungnya yang lelah.

Dari luar, tempat ini tampak begitu kumuh dan tak terawat, tetapi Alexa berhasil membuatnya menjadi tempat tinggal yang bersih dan nyaman. Memiliki satu ruang tamu kecil, dapur, kamar tidur dan dua kamar mandi, salah satunya terletak di dalam kamar. Semua perabotan yang dimiliki bukan barang mahal, tetapi setidaknya cukup baik karena dia yang tak memiliki banyak uang.

❥❥❥

Seorang pria dengan kacamata hitam baru saja turun dari pesawat. Penampilannya tampak begitu rapi dengan suit mahal berwarna biru tua. Tinggi tubuhnya kurang lebih seratus tujuh puluh lima sentimeter, hidungnya maju ke depan, alis dan rambut berwarna hitam legam dengan warna kulit kecokelatan, nyaris sempurna dan tanpa cacat.

Lucas Alexander, pria itu selalu menyebut dirinya tanpa nama belakang keluarga.

Sepanjang langkah, sosok pria tersebut tak lepas menarik perhatian.

“Baron, selama di sini aku tak ingin ada pengawal di sekelilingku,” ucap Lucas penuh penekanan.

“Tapi —” Pria yang disebut namanya menunjukkan wajah menolak, tetapi belum sempat mengatakan apa pun, ucapannya sudah disela lebih dulu.

“Tak ada penolakan!”

“Sesuai keinginan Anda,” sahut Baron terlihat pasrah. Segera mengikuti perintah pria di depannya untuk meminta semua pengawal menyingkir.

Di luar sana Robinson terkenal sebagai kerajaan bisnis yang memiliki kekuasaan di segala aspek, tetapi sosok pemimpinnya tak begitu dikenal karena sangat misterius. Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa bertemu dengan pria tersebut.

Maserati Quattroporte berwarna hitam mengkilat membawa Lucas segera meninggalkan bandara, melaju membelah jalanan kota Venesia.

“Hotel atau Villa?” tanya Lucas datar.

“Saya sudah meminta kunci hotel, tapi jika Anda keberatan saya bisa minta Villa,” jawab Baron menoleh ke belakang.

“Tidak perlu.”

Mobil yang dikendarai sang sopir berhenti di perhentian terakhir sebuah dermaga besar. Perjalanan harus dilanjutkan dengan sebuah kapal feri, vaporetto atau gondola. Alat transportasi air yang digunakan hampir di seluruh Venesia. Jalanan yang sempit tak memungkinkan mobil bisa lewat, selain transportasi air, berjalan kaki adalah pilihan.

Sepanjang perjalanan dengan kapal feri, Lucas menikmati keindahan yang memanjakan mata. Pemandangan yang diberikan kota air ini adalah kanalnya, apalagi gondola menjadi daya tarik sendiri, tak lupa jembatan-jembatan klasik.

Kota ini selalu terkesan cantik dan sempurna.

Sesampainya di hotel, Lucas segera masuk ke kamar khusus yang telah disediakan. Jika tirai dibuka, maka pemandangan yang dilihat pertama kali adalah lalu lintas air yang lumayan ramai.

Entah mengapa ... Lucas merasakan perasaan yang lain, seperti ada sesuatu yang begitu menarik.

To Be Continue

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status