Linda mencoba menghubungi seseorang yang mungkin bisa ia mintai tolong untuk mencari informasi tentang Tangguh. Tidak apa-apa ia harus membayar mahal, asalkan ia mengetahui di mana keberadaan kekasihnya.
"Halo, Mas Baron, saya dapat nomor ponsel Mas Baron dari Tante Vera. Nama saya Sisil, saya butuh informasi tentang keberadaan kerabat saya yang sudah hari kedua menghilang. Kami tidak bisa menghubunginya dan kami khawatir sesuatu terjadi padanya. Jangan tanyakan kenapa kami tidak lapor polisi, karena Mas Baron tahu sendiri urusannya bakalan ribet seperti apa."
"Baik, Mbak, silakan kirim foto saudara Mbak, lalu kapan terakhir dia ada di rumah dan dengan siapa dia pergi terakhir kali. Mbak bisa transfer DP pencarian orang hilang sebesar sepuluh juta dan sisanya dua puluh juta lagi setelah saya mendapatkan kabar tentang saudara Mbak."
"Baik, Mas Baron, saya transfer ya. Kirimkan nomor rekeningnya. Terima kasih."
Pesan berisi tentang nomor rekening lela
"Besok malam kamu ikut aku pulang ke rumah." Steve tertawa licik sambil mengedipkan sebelah matanya pada Darwis."Jujur aku penasaran, bukannya kamu dulu sangat menjaga istrimu? Jika dia sudah selesai menyuguhkan kopi atau teh, pasti kamu sudah meminta Linda untuk masuk ke dalam rumah. Kenapa sekarang malah kamu ijinkan aku mencicipinya?" tanya Darwis penasaran. Ia tahu Steve, pasti ada sesuatu yang membuat teman baiknya itu berlaku nekat. Pasti ada hal yang sangat tidak ia suka dari perbuatan istrinya."Jangan terlalu banyak tanya atau tawaran itu aku tarik kembali," ancam Steve dengan wajah kaku."Baiklah, aku setuju. Rasanya tak sabar menunggu besok malam." Keduanya tertawa.Sementara itu, Linda masih saja berada di jalanan mencari keberadaan Tangguh. Ia ke sana-kemari dengan ojek online dan juga berjalan kaki menyusuri trotoar dan masuk ke dalam gang-gang sempit sambil menanyakan pada warga yang barangkali melihat keberadaan Tangguh. Untun
Dasar murahan! Bermalam dengan lelaki lain bukannya teriak, malah keenakan. Pelac*r! Hardik Steve dari teras rumahnya.Sebuah kesalahan terbesar dalam hidupnya adalah menikahi wanita yang tidak bisa menahan hasrat gilanya untuk bercinta dengan lelaki yang bukan suaminya.Steve mematikan rokoknya, kemudian ia masuk ke dalam rumah untuk mengambil kunci mobil. Dengan hati yang panas ia meninggalkan rumah. Tujuannya satu saat ini, pergi ke Garut untuk bercinta dengan Rucita.Rucita tidak bisa tidur sudah dua malam karena baik Tangguh dan Steve tidak bisa dihubungi. Ia tidak tahu apa yang terjadi pada keduanya. Ingin kembali datang ke Tangerang, tetapi ia lupa alamat Steve. Sekarang ia hanya bisa menangis hingga matanya bengkak. Dua malam tidak tidur nyenyak, tidak bisa makan, dan dilanda gelisah membuat Rucita pucat dan tidak bertenaga. Selalu saja ia mendekap ponselnya berharap suami atau kakangnya memberi kabar.Ya Tuhan, tolong jaga
Steve terus melajukan mobilnya menuju gudang mobil rongsokan, yang di dalamnya sudah ada Tangguh yang mungkin jika bernasib baik, maka masih hidup. Jika tidak, bisa dipastikan Tangguh sudah tidak bernyawa saat ini. Lalu bagaimana dengan dirinya? Steve sudah pasrah dengan semua yang terjadi nanti yang penting balas dendamnya dengan Tangguh terbayarkan. Suara erangan Rucita di balik sleeping bag yang ia gunakan untuk menutupi tubuh istrinya, menimbulkan sedikit keraguan di hatinya. Air matanya tergenang bila mengingat begitu manisnya saat ia menyenangkan hati Rucita, tetapi itu dulu, sekarang ia harus kembali pada kenyataan bahwa balas dendam adalah hal yang wajib ia lakukan pada Linda dan juga Tangguh. Masih pukul tiga sore dan ia hampir sampai di tempat yang dituju, tetapi karena perutnya sangat lapar, Steve memutuskan berhenti sejenak di warung makan. Ia makan dengan cepat, tanpa mempedulikan Rucita. Setelah perutnya terisi, Steve kembali m
Ha ha haSteve masih terus tertawa nyaring saat polisi memborgol kedua tangannya. Pria bule itu hanya menarik kembali celana panjang yang memang hanya ia turunkan sampai betis saat ia bercinta dengan istrinya."Tangguh, bertahanlah! Rucita, ya Tuhan!" Linda syok bukan main saat kedua kakak beradik itu akhirnya dibawa oleh mobil ambulan. Karena Linda hanya membawa satu ambulan sedangkan korbannya ada dua orang, maka dari itu, Rucita didudukkan di depan bersama sopir dan seorang perawat.Linda ikut duduk di ambulan belakang, menemani Tangguh yang sudah tidak sadarkan diri. Wanita itu menangis sejadi-jadinya saat melihat keadaan Tangguh yang amat menyedihkan. Apalagi Rucita. Semua ini adalah salahnya. Jika ada yang paling berdosa dan bersalah, itu adalah dirinya. Linda terus saja menangis tersedu menyesali perbuatannya yang mungkin tidak akan pantas untuk dimaafkan.Aku tidak punya, Mas, bisakah kamu membantuku untuk meminjamkan uang membay
Linda membuka matanya perlahan. Beberapa kali ia berkedip untuk menerangkan pandangannya yang samar. Seorang wanita berpakaian sangat sederhana tengah duduk di depannya. Wanita setengah baya uang yang mungkin berumur sekitar empat puluh lima tahunan."Syukurlah kamu sudah sadar." Wanita itu tersenyum hangat padanya."Saya di mana?" tanya Linda."Tadi kamu diserempet mobil dan pingsan. Mobil itu lari dan melemparkan uang ini ke jalanan." Wanita setengah baya itu menunjuk tiga lembar uang merah yang ada di samping Linda."Saya dan teman-teman pemulung yang membawamu ke sini. Apa kamu tahu alamat atau nomor telepon keluargamu yang bisa kami hubungi?" mata Linda berair kembali."Saya sebatang kara, Bu," kata Linda dengan suara tertahan."Tidak, kamu sepertinya tidak sendiri. Dokter yang suka kunjungan ke daerah miskin kami kebetulan lewat sini tadi. Kamu diperiksa olehnya dan dia meminta kamu untuk tes kehamil
"Sus, saya mau melihat adik saya," kata Tangguh pada perawat yang tengah mengecek tekanan darahnya sore ini."Boleh, tapi dari luar saja ya. Nona Rucita lebih banyak tidur dan menangis. Kasihan sekali. Mungkin dengan melihat saudara lelakinya, ia bisa segera pulih," kata perawat menyahuti."Terima kasih, Sus.""Saya ambilkan kursi roda dulu ya." Perawat itu pun keluar sebentar, lalu kembali lagi ke kamar perawatan dengan membawa kursi roda. Tangguh duduk di sana setelah perawat merapikan selang infus. Dengan hati berdebar ia berharap melihat keadaan adiknya tidak begitu parah. Mungkin luka fisiknya tidak, tetapi luka batinnya."Itu, Nona Rucita masih tidur. Ibu hamil muda memang lebih banyak tidur dan itu wajar. Ditambah kondisinya belum benar-benar pulih.""Tunggu, apa maksud suster? Adik saya hamil? Kok bisa?" Tangguh melotot dengan tidak percaya. Adiknya belum menikah dan adiknya bukan perempuan nakal, bagaimana bisa hamil? Mem
Tiga tahun kemudian.Seorang wanita tengah menyuapi sepotong roti untuk kedua putra kembarnya. Hari ini tidak banyak yang bisa ia dapat dari mengumpulkan barang bekas, karena hujan terus saja turun dengan derasnya.Bersyukur dirinya bisa tinggal di penampungan sederhana bersama dengan Bu Tahu, dan teman-teman pemulung lainnya. Semua menjadi keluarga, walau ia termasuk anggota baru mereka. Semua orang di sana juga tanpa segan membantunya baik saat hamil, melahirkan, hingga mengurus bayi kembar Linda."Kenapa cuma makan roti? Anak kamu badannya kurus banget, Nuri," tegur Bu Yayu saat ia kembali sore itu dengan tubuh yang basah kuyup."Hari ini dapatnya sedikit, Bu. Mereka minta jajan tadi di jalan, jadi saya belikan roti saja karena uang untuk beli nasi tinggal hari ini dan besok. Hujan terus, saya jadi tidak bisa keliling. Kasihan anak-anak kalau kehujanan," terang Nuri sambil tersenyum getir."Ini, tadi Jumat berkah, ada yan
"Nuri, sini deh! Saya ada info bagus nih untuk kita, tapi itu juga kalau kamu mau," kata Bu Yayu saat siang itu pulang; mengantar makanan untuk Agus. Nuri yang tengah melipat cucian, akhirnya menghampiri Bu Yayu dengan penasaran. Jika wajah Bu Yayu berbinar, itu tandanya ada berita baik."Ada apa, Bu?" tanya Nuri yang sudah duduk di samping Bu Yayu."Saya kenal sama salah seorang lelaki yang bekerja di dapur restoran di mal. Yang makan di restoran'kan suka gak habis tuh, kalau makan, nah sama mereka ditawarin, mau gak? Ada yang masih belum dimakan, ada yang cuma makan setengah. Padahal masih ada daging atau ayam. Lumayan banget kan, kamu mau gak? Nanti setiap malam jam sembilan kita ambil, lalu kita panaskan, lumayan untuk makan besoknya, gimana?" Nuri nampak berpikir keras. Sebenarnya ia tidak tega memberikan anaknya makanan sisa, tetapi kehidupan lagi sangat sulit, sehingga ia harus menahan ego dan gengsi demi kebaikan anak-anaknya."Kamu mau