Savira tidak mendengar peringatan Revan. Karena menurutnya Revan hanya terlalu cemas akan Jovanka. Padahal tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Seharusnya Revan lebih memikirkan janjinya yang akan segera menikahi Savira. Jujur, Savira terus menunggu Revan membahas tentang mereka. Tapi pacarnya itu justru malah selalu membahas tentang istrinya. Savira mulai khawatir. Terlebih, Savira menyadari Revan mulai melirik istrinya itu. Meski Savira tetap merasa percaya diri, akan tetapi dia tetap cemas, Savira tidak suka berbagi. Dia takut jika seandainya suatu saat nanti Revan justru tetap ingin mempertahankan Jovanka di sisinya. Savira tidak sebaik itu dengan sudi berbagi prianya. Baginya jika Revan sudah menjadi kekasihnya berarti pria itu hanya miliknya. Savira mulai berpikir, apa yang harus ia lakukan untuk membuat Revan mau segera menikahinya. Karena jika dibiarkan berlarut-larut, Savira mungkin akan benar-benar kehilangan Revan. Saat tengah sibuk berpikir, Savira nyaris menabrak seseoran
Razka memutuskan untuk menyelidiki tentang Revan. Razka tidak akan membiarkan Revan lepas jika sampai dia terbukti telah mengkhianati Jovanka. Pria mana pun yang berani menyakiti adik kesayangannya, akan Razka balas berkali-kali lipat. Pagi tadi saat ia tanpa sengaja bertemu dengan seorang perempuan, awalnya Razka tidak sadar siapa perempuan itu. Akan tetapi, saat dia menahan dan mengajaknya bicara Razka baru mengingat tentangnya. “Savira.” Razka rasa, wajah perempuan itu cukup familiar. Dia pasti seorang karyawan yang sudah cukup lama bekerja di kantor itu. Jika memang benar demikian, maka kemungkinan Revan sering berinteraksi dengan perempuan itu selama ia di tempat kerja. “Dia berusaha membodohi semua orang,” sinis Razka. Melihat Revan kemarin bersama perempuan bernama Savira itu, sepertinya hubungan mereka masih berlanjut hingga sekarang. “Bagaimana jika Jo tahu tentang ini?” Razka mengkhawatirkan reaksi adiknya. Apalagi dia tahu secinta apa Jovanka pada Revan. Dia mungkin akan
Jovanka baru sampai di rumah setelah hari sudah senja. Ketika dia turun dari taksi, dia melihat Revan yang sepertinya juga baru tiba. Mereka berjalan mendekat lalu berhenti dengan jarak satu langkah. Jovanka sebenarnya malas bertemu Revan, tapi ketika dia melihat Revan berjalan ke arahnya, Jovanka pun memutuskan untuk menghampirinya. “Kamu dari mana?” Tanya Revan. Dari nada bicaranya terdengar kesal. “Kenapa tidak ijin padaku?” Jovanka menghela napas. Dia sebenarnya ingin menjawab dengan ketus, tapi Jovanka sadar dia tidak bisa bersikap seperti itu terlebih pada suaminya sendiri. “Aku lupa,” jawab Jovanka sekenanya. Padahal dia sengaja tidak mengabari Revan karena tidak mau terlalu sering berinteraksi dengan pria itu. “Lain kali, jangan lupa untuk ijin padaku saat kamu hendak keluar,” ucap Revan. Dia mengusap puncak kepala Jovanka.Walau awalnya sulit menerima fakta jika perempuan itu kini resmi menjadi istrinya, Revan mulai terbiasa. Bahkan timbul rasa tanggung jawab dan rasa ingin
Revan termenung memikirkan ucapan Jovanka sebelumnya. Dia mulai berpikir, apa sikapnya yang dulu sudah keterlaluan hingga Jovanka memilih berhenti mencintainya. Bahkan karena Revan jugalah sikap Jovanka benar-benar berubah. “Apa aku sangat jahat dulu?” “Revan!” “Berhenti mengikutiku, Jo!” seru Revan kesal. “Ish, Revan! Kenapa kamu terus saja menghindariku?” “Karena kamu mengesalkan,” ketus Revan. Dia semakin mempercepat langkahnya karena tidak ingin terlalu lama bersama Jovanka. “Revan!” “Menjauh dariku!” Revan tersentak. Apa perlakuannya yang dulu itu sangat membekas di ingatan Jovanka? Tapi, sikap Revan hanya sebatas itu. Dia tidak pernah terlalu kasar pada Jovanka. Mungkin? “Apa yang kamu lakukan?” Jovanka tersungkur saat Revan mendorongnya dengan keras. Dia mengaduh kesakitan, lalu menatap Revan dengan pandangan kecewa. Tapi, apa Revan peduli? Sikap Jovanka ini sudah banyak membuat banyak masalah untuk dirinya. Tiap kali ia melihat Jovanka, hanya ada perasaan marah. Ke
Savira nyaris frustasi karena Revan tidak bisa dihubungi. Semua perubahan Revan yang makin tampak jelas itu membuat kekhawatiran Savira semakin besar. Dia yakin, ini semua pasti karena Jovanka. Status mereka yang sudah berubah ternyata berpengaruh banyak pada hubungan yang kini Savira dan Revan jalani. Kehadairan Jovanka di tengah-tengah mereka dan statusnya yang kuat sebagai istri Revan membuat Savira perlahan tersingkirkan. “Aku harus mencari cara. Jika dibiarkan terus seperti ini, Revan pasti akan segera meninggalkanku,” ucap Savira menggigit jarinya cemas. “Revan bahkan belum membicarakan tentang menikahiku. Bagaimana aku bisa diam saja saat posisiku sudah terancam?” Berhubungan dengan Revan lumayan menguntungkan. Pria itu sangat royal padanya. Apapun yang Savira minta, pasti akan berusaha dia kabulkan. Revan tidak pernah berpikir ulang untuk membelikan sesuatu untuk Savira. Hal itulah yang membuat Savira senang akan pria itu. Dengan Revan, Savira tidak perlu bekerja terlalu kera
Savira merasa marah saat ia mengetahui jika Revan tengah menghabiskan waktu dengan Jovanka. Savira tanpa pikir panjang langsung menghampiri tempat mereka. Jovanka tampaknya adalah orang pertama yang menyadari tentang kehadiran Savira. Karena dia jugalah yang meminta Revan berbalik supaya mengetahui keberadaan Savira di sana. “Revan,” panggil Jovanka. Ekspresi Revan terlihat sangat terkejut ketika melihat Savira. Savira tidak menyukai itu. Rasanya seperti, Revan tidak senang akan kedatangannya. “Sa-savira?” ucap Revap kaku. Siapa yang menduga kekasihnya itu akan menghampirinya di saat Revan tengah bersama Jovanka saat ini? “Kenapa kamu ada di sini?” Revan bertanya dengan suara pelan. Dia ragu-ragu untuk bertanya karena ada Jovanka bersama mereka. Akan tetapi sekecil apapun suara Revan, Jovanka tetap mendengarnya. “Aku mencarimu,” jawab Savira jujur. Dia melirik Jovanka sekilas, yang masih belum menunjukkan reaksi apapun. “Kamu sangat sulit dihubungi.” “Maafkan aku. Tadi, aku men-si
Setelah Revan mengantar Savira ke rumahnya, Revan bergegas melajukan kendaraannya untuk pulang. Walau kekasihnya itu awalnya memaksa Revan untuk tetap tinggal sebentar, Revan menolak dengan alasan dia masih memiliki urusan yang harus diselesaikan. Dan masalah itu adalah tentang Jovanka. Walau tidak tahu harus berkata apa dia nanti, Revan rasa dia perlu bicara dengan Jovanka perihal Savira. Tidak lama, mobilnya sampai di gedung apartemen. Revan turun dari mobilnya setelah ia memarkirkan mobilnya. Segera Revan berjalan menuju unit apartemennya yang ia tempati bersama Jovanka. Setelah di sana, Revan merasa heran akan suasana apartemen yang sepi. Padahal dia sudah menduga akan menemukan Jovanka mengamuk emosi, atau setidaknya menangis sendu. Ini tidak seperti yang dibayangkan. Revan pun memutuskan untuk memeriksa ke kamar istrinya. Lampu di sana tampaknya sudah dimatikan. Revan mulai bertanya-tanya, apakah Jovanka sudah tertidur? Karena tidak ingin hanya berdiri seperti orang bodoh di
Razka berjalan menuju satu ruangan petinggi perusahaan. Tidak sembarangan orang yang diijinkan untuk masuk ke sana. Tapi tidak ada yang berani menghentikan Razka, karena semua orang sudah mengenal siapa pria itu.“Ayah!” Razka langsung berseru ketika dia membuka pintu. Tampak seorang pria paruh baya yang ia kenali duduk di meja kerja berkutat dengan berkas-berkas perusahaan.“Razka.” Ayahnya yang bernama Danial itu menaikkan kaca matanya dan melirik ke arah Razka dengan sorot penuh peringatan. “Biasakan untuk mengetuk pintu sebelum masuk.”Putra sulungnya itu memiliki kebiasaan yang buruk. Tapi anehnya, Razka seperti tidak mau mendengarkan setiap nasehatnya. Putranya itu terlalu keras kepala.“Ayah, ada yang ingin aku bicarakan,” ucap Razka serius.Lihatlah, dia bahkan mengabaikan teguran Danial untuk yang ke sekian kalinya. Memang seseorang yang sudah dewasa akan sulit mengubah karakternya karena sudah terlanjur terbentuk.Danial hanya bisa menghela napas berat melihat sikap Razka.