Semakin hari tingkah Revan semakin meresahkan. Dia menjadi lebih sering mendekati Jovanka dan mengakrabkan diri. Pria itu bahkan tidak canggung lagi saat harus memanggil Jovanka dengan sebutan sayang.Jujur saja, Jovanka sama sekali tidak terpengaruh dengan perubahan Revan. Ia justru merasa risih. Sikap pria itu sebelumnya bagi Jovanka jauh lebih nyaman baginya.“Pagi, sayang.” Jovanka menghindar saat Revan hendak mencium pipinya.Walau tidak mendapatkan apa yang dia inginkan, Revan tetap tersenyum cerah.“Hari ini sepertinya aku akan pulang terlambat,” ucap Revan memberitahu istrinya. Dia tidak ingin membuat Jovanka khawatir saat ia tidak pulang tepat waktu nanti, walau sebenarnya perempuan itu seperti tidak peduli.“Sekalian saja tidak usah pulang,” ketus Jovanka.Dia berkata seperti itu karena dia sungguh tidak peduli. Tapi Revan sepertinya menanggapinya berbeda.“Kamu akan merindukanku jika aku tidak ada.” Revan mengulurkan tangannya dan mengacak puncak kepala istrinya itu pelan.
“Apakah dia perempuan yang kamu maksud itu?” Danial bertanya pada Razka saat mereka berjalan menuju lift. Danial tidak perlu khawatir karena mereka menggunakan lift khusus yang hanya boleh digunakan oleh petinggi perusahaan. Bahkan Revan saja tidak diperkenankan menggunakan lift itu meski dia merupakan menantu Danial. “Ya.” Razka mengangguk membenarkan. “Dia cukup cantik.” “Adikku jauh lebih cantik,” tukas Razka melayangkan tatapan tidak terima pada ayahnya itu. “Sebenarnya, anakmu itu Jovanka atau perempuan itu?” “Aku hanya mengomentarinya sedikit,” balas Danial terkesan acuh. Lagipula, dia tidak asal bicara. Perempuan bernama Savira itu memang memiliki wajah yang cantik. Danial rasa, wajar saja jika Revan memiliki ketertarikan padanya. Tapi, Danial tetap merasa heran, karena jika dibandingkan, putrinya jauh lebih segalanya dari perempuan itu. “Apa mereka benar-benar berselingkuh?” gumam Danial. “Ayah belum menyelidikinya sama sekali?” Razka berdecak tidak percaya. Dia kecewa de
Jovanka terkejut saat ada seseorang yang tiba-tiba memeluknya dari belakang. Untung saja mangkok berisi mie yang tengah dipegangnya saat ini tidak terjatuh. Helaan napas kasar keluar dari mulutnya. Meski tanpa menoleh, Jovanka tahu siapa orang yang tengah memeluknya saat ini. Terlebih, aroma parfum yang tercium sangat tidak asing baginya.“Revan!” tegur Jovanka.Dia memang sempat mendengar suara seseorang membuka pintu. Jovanka juga sudah menduga jika Revan yang datang sepulang dia dari kantor. Tapi, Jovanka sama sekali tidak ada niatan untuk menyambut kepulangan suaminya itu. Dia memilih melanjutkan kegiatannya yang tengah memasak mie untuk dirinya sendiri.“Kenapa tidak menyambutku?” tanya Revan tanpa melepaskan pelukannya. Akhir-akhir ini dia merasa senang bermanja-manja dengan Jovanka. Walau istrinya itu selalu menolak dirinya, Revan mencoba tidak peduli. “Aku ingin kamu berdiri di depan pintu setiap aku pulang kerja untuk menyambutku.”“Aku tidak mau,” tolak Jovanka tanpa pikir p
Savira harus memikirkan cara untuk membuat Revan mau dengan segera menikahinya. Karena jika terus mengulur waktu seperti ini, Savira khawatir hubungannya dengan Revan juga akan hancur secara perlahan.Savira menyadari semuanya. Revan yang mulai berubah dan sudah sedikit menerima pernikahan yang awalnya hanya sebuah keterpaksaan. Ia yang awalnya hanya mau menatap Savira, kini bahkan sudi menatap istrinya sendiri.Jovanka bukan ancaman yang bisa dianggap remeh. Perempuan itu memiliki segalanya. Dia cantik, cerdas, dan berasal dari keluarga berada. Berbeda jauh dengan Savira yang hanya mengandalkan paras serta tubuhnya untuk menjerat banyak pria. Savira juga tidak memiliki orang tua, keluarganya hancur saat ia masih remaja. Savira meninggalkan keluarganya dan bekerja sejak ia masih muda.Karena parasnya, Savira berhasil mengencani banyak laki-laki sejak masa sekolah. Dia membuat banyak orang mau menghamburkan uang demi dirinya. Tapi terkadang, hubungan itu hancur saat mereka mengetahui j
Revan masuk ke dalam kamar Jovanka. Ruangan itu terlihat sangat redup. Jovanka mungkin tidak menyukai kamar yang terlalu terang saat ia tengah tertidur. Kebiasaan ini tidak jauh berbeda dengan Revan. Hanya saja dia terbiasa menyalakan lampu tidurnya, sedangkan Jovanka membiarkan seluruh ruang kamarnya dimakan gelap. Untungnya dia masih bisa berjalan menuju ranjang istrinya itu. Dia melihat Jovanka yang berbaring memunggunginya.Ini pertama kalinya Revan masuk ke kamar perempuan itu. Jovanka selalu waspada padanya, karena itu dia selalu mengunci kamarnya sebelum tidur. Tapi kali ini dia membuat Revan bisa menyelinap dengan mudah. Sepertinya Jovanka lupa untuk mengunci pintu kamarnya seperti biasa.Revan tidak memiliki maksud apapun masuk ke kamar Jovanka seperti ini, dia hanya ingin melihat wajah terlelap istrinya. Setiap ada kesempatan, mereka tidak pernah bicara dengan baik. Jovanka seolah membuat benteng di tengah-tengah mereka.Rasanya Revan ingin membuat Jovanka seperti dulu lagi.
Jovanka memutuskan untuk menemui Razka hari ini. Dia membutuhkan seseorang yang bisa membuat suasana hatinya membaik. Setelah hari yang ia lalui dengan Revan, perasaan Jovanka semakin kacau. Jika Jovanka bertemu dengan kakaknya, mungkin dia bisa merasa lebih baik.“Jovanka?”Jovanka berhenti dan menoleh pada seseorang yang baru saja menyerukan namanya. Dia melihat seseorang yang terlihat tak asing.Jovanka terdiam sesaat, berusaha mengingat siapa orang itu.“Kamu lupa padaku?” Orang itu sepertinya menyadari raut wajah kebingungan Jovanka. “Astaga, padahal aku selalu mengingat tentangmu.”“Aku tidak asing dengan wajahmu, tapi aku tidak ingat siapa namamu. Maaf.” Jovanka berkata dengan jujur.Orang itu tertawa, tidak merasa tersinggung sama sekali.“Kamu perempuan yang unik.” Dia memuji sikap Jovanka yang terus terang. Jarang sekali ada yang memiliki sikap seperti perempuan di depannya ini. Tapi, ia menyukainya. “Aku Farell.”Jovanka mengingatnya sekarang. Pria itu adalah orang yang sud
“Apakah dia suami adikmu?” tanya Farel pada Razka.Razka mengangguk dengan enggan. Walau dia tidak mau menggakui Revan, kenyataannya pria itu tetaplah suami adiknya.“Tidak akan lama.”Farel termenung sesaat, “Apa mereka akan bercerai?”“Ya. Doakan saja semoga aku berhasil membongkar kebusukan bajingan itu,” desis Razka menahan emosi.Sejak dulu, Razka tidak pernah menyukai Revan. Sejak masa dimana Jovanka masih menjadi gadis bodoh yang mengejar-ngejar pria itu. Revan bisa-bisanya membuat Jovanka mengemis seperti itu. Bukannya bersyukur pria jelek sepertinya bisa dicintai oleh adik Razka yang cantik, dia malah memilih mengabaikan Jovanka dan menyakitinya.Razka tidak pernah menyetujui hubungan mereka. Tapi, dia tidak bisa melawan keputusan ayahnya. Razka juga kesal dengan sang ayah yang bisa-bisanya mempercayakan Jovanka pada pria brengsek seperti Revan. Bukannya bahagia, Jovanka justru terlihat memendam beban batin yang cukup berat.“Kenapa?” Farel menyadari ekspresi Razka yang tidak
Savira semakin tidak sabar. Setiap hari waktunya hanya terbuang untuk menunggu Revan memenuhi janjinya. Tapi, dia masih belum mengatakan apapun. Revan bungkam, dan tidak membicarakan perihal pernikahan yang sudah dia janjikan.“Revan, kita harus bicara.”Savira tidak akan melepaskan Revan, sekalipun pria itu terasa mempermainkannya. Savira akan terus mengejar Revan hingga keinginannya bisa terwujudkan.“Aku sedang sibuk, Savira,” jawab Revan tanpa menoleh ke arah Savira. Pekerjaannya sedang banyak saat ini.“Sampai kapan kamu mau menghindar?” tanya Savira dengan nada yang meninggi.Revan menghela napas kasar. Jika dibiarkan pun Savira pasti akan menimbulkan keributan. Disaat pekerjaan Revan tengah sangat banyak saat ini, dia tidak punya pilihan lain selain menghadapi Savira lebih dulu, sebelum kekasihnya itu membuat kacau pekerjaannya.“Apa lagi?”“Kamu masih bertanya?” Savira mendengus tidak percaya. “Sudah berapa lama ini, Revan? Aku lelah menunggu.”Revan berjanji tidak akan lama.