Reva dan Gina sedang berbincang melalui video call dengan Ratih. Ketiganya membahas hal random apa saja, bahkan sejak tadi Reva tak henti-hentinya berceloteh ria."Ah kau tau, saat di pantai tadi aku melihat bule! Astaga tampan sekali, aku menyukainya!" ungkap Reva girang."Murahan sekali hatimu ini, ada yang tampan sedikit langsung suka!" ejek Gina, gadis itu berada di belakang Reva sedang mewarnai kukunya."Ck yang cintanya bertepuk sebelah tangan diam saja!" ucap Reva tak terima yang membuat Gina menyenggol gadis itu hingga jatuh dari kasur."Aw, ah dasar!" Ratih di seberang hanya tertawa kecil memperhatikan keduanya seolah seperti biasa, sembari gadis itu membaca lembaran kertas sejak tadi."Oh ya Ratih, bagaimana di sekolah? Kau baik-baik saja kan?" tanya Gina cemas.Tablet Gina diletakkan di atas meja yang membuat jarak tangkapan video menjadi lebih lebar, Reva masih di bawah malas naik hanya terlihat kepalanya saja."Ya baik, bagaimana dengan kalian? Apakah liburannya menyenan
Begitu hening malam ini, selepas Ratih berbincang dengan teman-temannya ia membaca satu-persatu informasi yang telah dikumpulkannya. Masih banyak yang janggal, Ratih kesulitan mengorek lebih dalam lagi. "Hm kalung yang indah ...," kagumnya pelan memandangi kalung berbandul hati itu. Kilatan cahaya yang memantul dari bandul itu begitu indah, Ratih pun mendekati ke cermin dan memakainya. Kalung emas putih dengan bandul berbentuk hati itu tampak pas di lehernya yang jenjang dan cerah. "Um cantik," pujinya. Kembali duduk dan mulai mengisi data formulir beasiswa itu, akan ia manfaatkan kesempatan ini. Otaknya berpikir keras bila suatu hari ia melanggar harus membayar denda, ia harus kaya setidaknya memiliki tabungan lebih dari 1 Miliar. Ratih mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang. "Apa tawaranmu masih berlaku?" tanyanya setelah panggilan terhubung. "Tentu masih, kau menerimanya?" tanya seorang lelaki di seberang sana dengan nada senang. "Ya, ku terima." Setelahnya sese
Setelah olahraga lanjut fisika, tubuh yang lelah harus dipaksa berpikir keras memahami berbagai materi ini. Teman-teman kelasnya sudah pada tepar, bahkan masih ada yang mengenakan kaos olahraga. Kipas kelas di nyalakan maksimal membuat bau keringat berhamburan."Woi, siapa yang ga mandi!" jerit Gibran."Baunya gila!" sahut Safar, pemuda itu sudah memakai seragam Pramuka nya. Safar mendekat ke salah satu murid yang dekat kipas angin, murid itu begitu berisi lemak masih mengenakan kaosnya. Beberapa temannya masih ada yang tengah sibuk menyalin jawaban untuk PR fisika ini, tak begitu memperhatikan sekitar. Ada pula yang tengah pijit di belakang sana."Oh ternyata! Ini orangnya!" seru Safar menuduh. Safar mendekat dan mencoba mengendus-endus area sekitar nya."Ganti gak!" Safar memaksa murid itu berdiri yang akhirnya si murid itu menyerah."Iya iya!" jawab murid itu pasrah.Setelah murid itu pergi perlahan bau tak
Suasana rumah Gina begitu kelam dan mencekam, padahal hari masih siang dengan terik matahari yang menyengat di luar sana. Ratih bersama Gina tengah duduk di kursi tamu menghadap sang ayah, Herdian. Reva masih tidur di kamar Gina, gadis itu kelelahan di perjalanan pulang."Sepertinya Saya belum terlalu mengenali diri mu," ucap Herdian. Pria itu duduk dengan kaki yang di silangkan bagai penguasa. "Yah, ini teman ku. Satu kelas, Ratih namanya." Gina bergegas menjelaskan sebelum ayahnya bertanya macam-macam.Herdian mengangguk perlahan, tangannya menyentuh area dagu seolah berpikir. Ratih yang di samping Gina masih diam, gadis itu waspada sembari matanya mencuri-curi pandang ke area sekitar."Ratih ya, hmm." "Perkenalkan, Saya adalah ayah Gina." Dapat Ratih lihat Herdian seolah-olah sedang berusaha menjadi manusia ramah dengan senyum palsunya. Ratih mengulas senyum kecil tanpa membalas ucapan Herdian. Ia tahan supaya tidak mengamuk saat itu juga, ingin sekali ia robek mulut sok manis p
Gaun coklat muda berenda itu tampak semakin cantik di tubuh ramping Ratih. Kulit Ratih yang cerah terlihat lebih bercahaya berkat sapuan pelembab kulit yang Gina pakaikan ke tubuhnya. Rambut hitam bergelombang nan menawan tampak seperti badai di tengah laut malam, begitu menggelora di mata. "Foto dulu!" jerit Reva, tak henti-hentinya gadis itu mengekor kesana-kemari membujuk Ratih berfoto.Ratih mendengus malas, "tidak mau! Jangan memaksaku!" kesalnya."Sekali saja, ya ya ya! Ayolah, tidak ku publikasikan di sosial media kok!" bujuk Reva dengan wajah yang mencoba imut. Reva sudah membuka kamera ponselnya dan mengarahkannya ke Ratih. Gina masih di depan cermin bertaut diri, gadis itu lelah setelah mendandani Ratih karena baru pertama kali."Hei cepatlah ganti bajumu! Sudah hampir jam setengah 8!" suruh Gina ke Reva, yang membuat Reva memanyunkan bibirnya."Iya iya! Kalau begitu, selfie sendiri! Plis, aku hanya ingin mengenang masa-masa ini!" Karena Reva yang bersikeras membujuk akhi
Ratih termenung di depan kaca toilet, matanya memerah dengan suhu tubuh yang kian memanas. Ia hela napasnya sejenak, hingga merasa lebih baik dan terkontrol. Perbincangannya dengan seseorang barusan membuatnya begitu kepikiran. "Sepertinya aku terlalu menunda-nunda, huh." Setelah merapikan penampilannya barulah ia keluar dari sana dan kembali menghampiri Safar yang sudah menunggunya. Ia lihat di meja sudah ada pesanannya tersedia, Safar tersenyum manis menyambut Ratih datang."Kau baik-baik saja?" tanya Safar setelah Ratih duduk."Um, ya. Aku baik, maaf membuatmu menunggu lama.""Ah tidak sama sekali," sahut Safar menggigit bibirnya menahan ucapannya. "Ah iya, aku ingin membicarakan sesuatu," ucap Safar pelan dengan tatapan mata yang dalam."Iya? Membicarakan apa?" tanya Ratih.Safar terlihat gugup dan ragu, ia menahan napasnya sebelum berkata."Apakah kau membutuhkan pasangan?" tanya Safar memberanikan diri.Dalam hatinya Safar berteriak, seharusnya bukan itu yang ia ucapkan. Benar
Sejak kejadian memilukan yang menimpa sang ibu, Ratih menjadi gadis pendiam dan dingin. Cahaya hidupnya meredup, hanya menanggapi segala hal dengan singkat. Sungguh menyayat hati bila diingat, wanita cantik berlumuran darah tanpa busana tak bernyawa tergeletak begitu saja di kebun karet. Siapapun yang melihatnya akan ikut merasakan deritanya, lecet di seluruh badan, lebam dibeberapa bagian, dan paling pilu bagian kemaluannya robek seperti disayat benda tajam."Bu, Ratih bersumpah ..., para keparat itu akan kubuat sekarat," Lirih Ratih didepan makam sang ibu, tangannya mencengkram erat tanah basah, air matanya luruh tanpa aba.Orang-orang sudah pulang setelah pemakaman diselesaikan, tinggal Ratih yang seolah tak ingin beranjak meninggalkan. Langit mendung seperti ikut merasakan kemalangan, tak lama gerimis turun bagai tangisan.Ratih mendekat ke nisan dan menciumnya dalam, memaksakan senyum untuk sang ibu yang sudah di alam baka. "Ratih akan sering berkunjung ke sini, ibu yang tenang
"Tuhan akan melaknat para keparat itu, aku takkan membiarkan mereka bertaubat!" Ratih kembali menjalani hari-harinya dengan sisa tenaga yang ia punya, rasanya aneh jika rumah begitu sepi tanpa siapapun selain dirinya. Malam yang begitu sunyi dan senyap, hanya suara televisi yang memenuhi ruangan.Melongok ke dapur memandang sendu, biasanya malam sebelum hari berganti Ratih memasak bersama ibunya dan membuat beberapa makanan untuk dijual dikemudian hari. Kini ia sendirian duduk di ruang tengah dengan televisi yang menyala menontonnya. Ratih terbangun dengan pegal di sekujur tubuhnya, posisinya sungguh tak karuan, kakinya di atas dengan badannya menyamping kebawah. Selimutnya teronggok tak berdaya dilantai dengan bantal kecil disebelahnya."Sial, ini sungguh pegal," gerutu Ratih memegangi pinggangnya. Televisi masih menyala belum dimatikan, untungnya tidak meledak karena terlalu lama dinyalakan. Mencari remote control dan menekan tombol power off, Ratih melihat ke ponselnya sudah men