Semua Bab TURUN RANJANG: Bab 71 - Bab 80
137 Bab
Tentang Semalam [2]
Ardhi terlihat marah. Matanya memerah dan rahangnya mengeras. Benteng pertahanannya dihancurkan oleh kata-kata Sera yang melukai perasaannya. Itu adalah hal yang wajar. Memangnya siapa yang masih akan tetap bisa biasa saja saat seseorang yang telah menjadi bagian di dalam hidupmu tiba-tiba mengucapkan pernyataan semacam itu? Sera ingin segera lepas dari ikatan yang menyesakkan katanya? Kepala Ardhi langsung disesaki oleh pertanyaan kenapa. Kenapa Sera masih saja merasa sesak di saat dirinya sudah mulai nyaman dan terbiasa berada di sekitar wanita itu? Kenapa hubungan mereka yang Ardhi kira sudah mulai menghangat ternyata hanya sebuah angan semu dan kembali meninggalkan getar dingin saat Sera terlihat mulai muak dan seperti memberikan sinyal akan berpaling darinya? Kenapa Sera tak jua melihat ketulusan yang Ardhi curahkan untuk membuat wanita itu mau tinggal? Kenapa? Kenapa semudah itu bagi Sera mendeklarasikan perpisahan saat Ardhi mati-matian menjaga
Baca selengkapnya
Ditampar Kenyataan [1]
Meski kemarin Ardhi dan Sera menghabiskan hari pertama tahun baru dengan cukup damai–setelah sepakat untuk menghentikan keributan secara paksa atau lebih tepatnya menunda untuk mengobrolkan masalah mereka–nyatanya suasana tidak benar-benar kembali dingin dan tentram. Ada jarak dan kecanggungan yang membatasi interaksi sepasang manusia yang kini duduk saling berhadapan di meja makan.Libur tahun baru telah usai dan Ardhi sudah harus kembali bekerja. Begitu pula Sera yang hari ini ada agenda untuk mengunjungi panti jompo. Sera sudah memutuskan untuk lebih sering berkunjung ke tempat yang membawa kedamaian di dalam hatinya itu. Bertemu dengan kakek nenek yang sudah berusia senja, mendengarkan kisah hidup mereka, tidak pernah gagal membuat perasaan Sera menghangat."Kita bicara nanti malam," ucap Ardhi setelah menghabiskan sarapan. Seperti biasa ia melahap dua tangkup sandwich, lalu ditutup dengan meneguk secangkir kopi.Sera yang duduk di depan Ardhi de
Baca selengkapnya
Ditampar Kenyataan [2]
Ada kepedihan yang begitu nyata membayangi mata Aila. Tanpa kata, Sera mengelus pundak gadis itu dengan lembut. "Intensitas marahnya meningkat hari demi hari. Segala kesalahan kecil yang aku buat, selalu membuat dia berang dan nggak segan mukul. Aku menabahkan hati, Mbak. Aku pikir kemarahan suamiku hanya sementara dan dia hanya sedang khilaf. Meski dipukul berkali-kali, aku masih memaklumi kelakuan dia. Aku nggak cerita ke siapa-siapa karena aku ingin menyimpan aib rumah tanggaku sendirian. Tapi aku nggak kuat lagi, Mbak. Suamiku semakin gila. Dia sering pulang larut dalam keadaan mabuk. Bahkan, kadang nggak pulang ke rumah. "Aku sesekali berusaha nanya apa yang membuat dia begitu. Bukannya menjawab, dia malah mengataiku terlalu ikut campur. Semua yang aku lakukan selalu tampak salah di matanya, tapi aku nggak menyerah, Mbak. Aku ajak dia bicara baik-baik, tapi sama aja, dia nggak pernah lagi menanggapi dengan reaksi yang baik. Rasanya masih sulit dipercaya kalau su
Baca selengkapnya
Kepingan Puzzle [1]
“Tempat ini bukan buat merokok, tapi buat menuntut ilmu,” ujar sebuah suara milik seoramg gadis yang terdengar cukuo keras hingga menggema di sudut-sudut kelas yang sudah tak berpenghuni. Hanya tinggal satu sosok yang ada di dalam sana. Seorang laki-laki bongsor bertubuh cungkring yang tengah mengembuskan asap rokok—membentuk cincin—yang mengudara di sekitarnya itu tersedak. Matanya seketika memicing. Menatap ke arah sumber suara yang mengagetkan dirinya. Tepat di depan pintu yang terbuka lebar, seorang gadis berseragam putih abu-abu berdiri dalam posisi berkacak pinggang. Tubuh mungilnya bermandikan cahaya dari sang surya yang hampir tenggelam di peraduan. Ardhi mengalami momen di mana ia terdiam selama beberapa detik karena terpesona pada gadis berambut hitam lurus itu. “Sarah? Udah selesai ngerjain tugasnya?” tanya laki-laki itu dengan suara serak. Kemudian Ardhi mematikan paksa rokok yang terapit di antara jarinya dengan menginjak ujung puntung ro
Baca selengkapnya
Kepingan Puzzle [2]
Jawaban jujur Ardhi membuat Sarah terdiam selama beberapa saat. Entah apa yang terlintas di pikirannya. Ekspresi di wajah Sarah sungguh tak tertebak. Saat langkah keduanya hampir mencapai parkiran, gadis itu bergumam pelan, “Aneh banget.” “Kok aneh, sih?” Mata Ardhi memicing. Tak terima dikatai aneh. “Kata Beni, waktu naksir sama cewek, semua hal yang aneh jadi kelihatan wajar. Dan menurutku, nggak aneh aku naksir sama kamu setelah lihat muka merah kamu yang kena sinar matahari waktu bacain Pembukaan UUD'45,” jelas Ardhi. Sarah mengenal Beni. Mereka pernah satu kelas waktu masih kelas 10 dulu. Laki-laki itu terkenal sebagai murid super genit yang sering gonta-ganti cewek. Sarah oun tak heran jika Ardhi bisa berteman dekat dengan Beni. Mereka sama-sama dekat dengan banyak cewek di sekolah mereka maupun di luar sekolah. Bagaimana Sarah bisa tahu? Tentu saja karena kecepatan penyebaran gosip di kalangan anak-anak remaja sangatlah cepat. “Jadi, gimana? Kamu udah
Baca selengkapnya
Kepingan Puzzle [3]
Tak pernah Ardhi sangka bahwa hubungannya dengan Sarah akan cukup langgeng. Ardhi yang tak pernah betah berpacaran dengan seorang gadis lebih dari tiga bulan itu memecahkan rekor. Hubungannya dengan Sarah sudah berjalan lebih dari enam bulan. Enam bulan jatuh bangun, penuh tawa, drama, dan tangis. Namun, tak pernah ada kata putus. Pertengkaran-pertengkaran dengan Sarah tak pernah berlangsung lama. Tak pernah mereka ribut atau saling mendiamkan lebih dari satu hari.Ardhi sendiri pun merasa takjub dan terkadang heran sendiri. Tak percaya bahwa dirinya bisa bertahan dengan Sarah hingga sejauh ini. Ardhi sama sekali tak merasa bosan atau jenuh. Padahal, biasanya baru berjalan beberapa minggu saja rasanya sudah ingin buru-buru berganti pacar. Bersama Sarah, Ardhi tak pernah terpikir sampai ke sana. Karena bersama Sarah selalu terasa menyenangkan meski terkadang gadis itu bisa sangat cerewet dan menyebalkan. Mungkin, begitulah para remaja yang dimabuk cinta. Segala hal yang dilaku
Baca selengkapnya
Kepingan Puzzle [4]
Ardhi tahu bahwa apa yang diucapkan oleh Sarah itu benar adanya. Mereka berdua belum sepenuhnya mengenal dunia. Akan ada banyak hal yang terjadi ke depannya. Dan yang tak bisa dikesampingkan adalah kenyataan bahwa perasaan seseorang bisa saja berubah. Namun, entah kenapa Ardhi tak rela kalau suatu hari nanti salah satu dari mereka lebih dulu berkata lelah dan ingin menyerah, lalu pergi menuju hati yang lain. Ardhi yang belum genap berusia 18 tahun itu menginginkan selamanya bersama Sarah. Hanya Sarah. Persetan dengan pernyataan orang-orang tentang kecil kemungkinan seseorang bisa bertahan dengan cinta monyetnya di masa-masa remaja. Sebagian besar hanya bertahan sebentar. Sebagian lagi bisa bertahan cukup lama, namun akhirnya pisah setelah menghabiskan bertahun-tahun bersama. Dan sebagian lagi—dengan persentase terkecil—bisa bertahan hingga menikah, beranak, dan punya anak cucu. Ardhi tidak tahu, ia dan Sarah akan masuk di bagian yang mana. Yang jelas, untuk saat ini Ardhi ha
Baca selengkapnya
Kepingan Puzzle [5]
Ujian praktik selesai di hari Kamis dengan mulus. Sekolah mengumumkan bahwa hari Jumat dan Sabtu siswa dan siswi kelas 12 mendapatkan jatah libur. Hari Senin, mereka sudah haru kembali berurusan dengan jadwal yang lebih padat sekaligus les, masih berlanjut belajar tiada henti di rumah masing-masing. Maka, sepulang dari sekolah di hari Kamis−yang masih cukup pagi−sepasang kekasih yang sedang kasmaran itu menyusun rencana liburan mereka. Rencananya, Ardhi, Sarah, dan rombongannya−teman-teman dekat Ardhi yang berjumlah empat orang dan pacarnya masing-masing, dan juga termasuk cewek-cewek grupies-nya Ardhi yang berjumlah lima orang, akan berangkat ke Bandung di Jumat sore dengan menggunakan empat mobil yang masing-masing disetiri oleh supir pribadi keluarga Ardhi. “Aku masih nggak nyangka dibolehin pergi ayahku,” ujar Sarah dengan senyum melekat di wajah. Gadis itu tak berhenti tersenyum sejak berangkat ke sekolah pagi tadi. Senyumnya semakin lebar saat Sarah ber
Baca selengkapnya
Kepingan Puzzle [6]
Ardhi sama sekali tak bisa tenang. Setelah pulang dari tempat tongkrongannya bersama Dru dan teman-temannya yang lain, Ardhi sempat mampir ke rumah Sarah. Namun, ia disambut oleh rumah yang kosong. Menurut tetangga sebelah yang sore itu sedang menyapu halaman, satu keluarga itu sedang keluar. Katanya mau makan malam bersama di luar. Pada akhirnya, Ardhi pulang ke rumah dengan asumsi-asumsi yang memenuhi kepala hingga mau pecah. Mengesalkan sekali rasanya saat ia benar-benar tak bisa berpikir dengan benar karena sibuk memikirkan nasib hubungannya dengan Sarah yang sedang tak baik-baik saja. Sekali lagi, Ardhi masih tidak tahu apa yang membuat Sarah menjauh. Ardhi tak bisa tidur hingga subuh. Benar-benar sial! Berurusan dengan cinta sangat tidak mengenakkan karena bawaannya resah dan gelisah. Begitu rutuk Ardhi semalaman, Keesokan harinya saat jam istirahat pertama, Ardhi tak buang-buang waktu dan langsung menghampiri Sarah yang saat itu baru
Baca selengkapnya
Kepingan Puzzle [7]
Lagi-lagi, Sarah membuat Ardhi dilanda amarah. Ia pikir kemarin-kemarin Sarah memang hanya sedang lelah dan melampiaskannya pada Ardhi. Namun, ternyata masih berlarut hingga hari ini. Entah apa yang sebenarnya telah terjadi. Rahang Ardhi mengeras. Ia menggeram. “Jangan mulai lagi, Sarah. Kamu bilang kemarin nggak akan lagi minta putus.” “Aku serius, Ardhi.” “Kamu pikir aku enggak?! Aku capek denger kamu minta putus terus!” sembur Ardhi dengan ketus. “Makanya itu biar kamu nggak capek, kita putus aja,” sahut Sarah dengan berani. “Nggak gitu cara mainnya, Sarah. Astaga, kamu tuh kenapa, sih?!” Ardhi menggeram kesal dan menatap Sarah dengan tajam. Ia jengkel setengah mati. Namun, kemarahan yang sudah sampai di ubun-ubun itu masih belum diluapkan. “Kasih tahu aku dengan sejujur-jujurnya, kamu kenapa? Kalau misal ada cowok lain yang kamu suka, aku akan mundur teratur dan ngalah, karena aku nggak mau bersaing memperebutkan cewek yang hatinya terbagi
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
678910
...
14
DMCA.com Protection Status