Semua Bab Zee 'n Zeino: Bab 71 - Bab 80
101 Bab
71. Jangan Khawatir
“Iya, Bun. Ga tau tuh. Tiba-tiba aja telepon, minta ketemu.” Zee mengawali paginya di hari Senin dengan menelepon Kartika. Semalam gadis itu tak sempat untuk bertukar kabar karena setelah acara di pool side ia melanjutkan pertemuan dengan para pejabat corporate, Tyo dan Catlya, serta seluruh tim manajemen resort untuk membahas jadwal pre-opening training selama seminggu ke depan. Gadis yang telah terlihat rapi dalam seragam pre-opening team itu membahas tentang Mauren yang meneleponnya tiba-tiba dan meminta waktu untuk bertemu. “Ga ada nelpon Bunda lagi sejak berkunjung ke kantor. Amara juga ga ada ditelepon.” “Hmm, kira-kira mau perlu apa, ya? Kalo untuk urusan penjualan rumah sama lahan pabrik, kenapa mesti Zee, Bun?” “Ya sudah. Temui saja tantemu itu. Sekarang ga usah dipikirin. Kamu konsentrasi aja untuk kasih training. Katanya masih grogi.” “Siap, Bun. Mudah-mudahan 2 hari training lancar, terus pulang.” “Yang udah ga saba
Baca selengkapnya
72. Rebutan
Suasana di resort pagi itu mulai kembali sepi. Sejak keberangkatan tim task force yang kembali ke kota masing-masing beberapa menit yang lalu, tak nampak lagi aktivitas yang padat di lobby. Semua karyawan resort sedang berkumpul di ballroom untuk mengikuti sesi pre-opening training yang akan diawali oleh pengenalan brand standard. Zee masih mengulas senyum mengingat bagaimana Sammy dan rekannya yang lain menawarkan diri untuk menjemput, sebelum dia dan rekan yang lain menaiki kendaraan yang akan membawa mereka pulang. “Pas jadwal libur kita nih, Zee. Sekalian kamu juga libur, kan. Kita jalan-jalan. Selama di sini, ga sempat,” bujuk Sammy. “Iya, katanya tak jauh dari sini ada danau bagus banget. Ayolah, Zee,” sela rekannya yang lain. “Makasih, Bang. Tapi aku udah ada yang jemput,” elak Zee. “Ada yang jemput atau ada yang bakal antar?” selidik Sammy. Pasti Sammy ingin meledek Zee dan mengira ada seseorang yang selama ini mendekati gadis
Baca selengkapnya
73. Beban Pikiran
Jingga mewarnai langit senja. Dari balkon kamarnya, Zee menikmati momen tergelincinya sang surya. Hal yang seminggu ini jarang ia lakukan. Baru sekarang ia sadar. Pemandangan senja di resort ini tak kalah indah dibandingkan dengan tempat-tempat yang pernah ia datangi bersama seorang pemuda yang membuatnya jatuh cinta dengan salah satu fenomena alam ini. Tak mau kehilangan karya lukisan alam itu, Zee membidikan kamera telepon genggamnya. Sejenak ia mengamati hasil jepretannya. Lalu ia mengirim gambar langit senja berwarna jingga itu pada Zeino. Tak terasa, hari ini adalah malam terakhirnya berada di resort. Sesi training yang diminta Bu Cokro telah ia lakukan selama 2 hari ini, Senin dan Selasa. Tugasnya selesai. Dan esok ia bisa kembali. Zee sempat berpikir untuk langsung pulang dengan menyewa travel yang malam hari. Sehingga besok, ia bisa menyemangati Zeino sidang skripsi. Namun ia telah terlanjur berjanji dengan mama Zeino. Mereka akan pulang bersama keeso
Baca selengkapnya
74. Menunggu
Awan tipis berarak di langit pagi yang cerah. Udara sejuk pegunungan membelai lembut. Tubuh semampai Zee berdiri tegak dengan sebuah koper yang sejajar dengan kaki jenjangnya. Sebuah tas menyampir di bahu. Gadis itu sengaja memilih menunggu mobil mama Zeino di depan lobby. Berbagai rasa menjalar di hati Zee. Rasa lega karena telah menyelesaikan tugas cross exposure pertamanya. Rindu akan keluarga yang tak bertemu muka secara langsung selama berhari-hari. Ada sedikit resah mengingat tak bisa memenuhi janji untuk menemani Zeino sidang. Terbersit canggung harus bagaimana selama bersama mama Zeino di perjalanan. Belum lagi permintaan Mauren yang mendesak untuk bertemu secepatnya. “Loh, jemputan kamu belum datang?” Lamunan Zee terpotong. Ia menolehkan wajah mencari sumber suara yang terasa dekat. Dan benar saja, berjarak dua langkah darinya telah berdiri seorang laki-laki yang sepuluh hari ini menjadi tetangganya. “Sebentar lagi, Pak. Sudah di jalan.”
Baca selengkapnya
75. Masih Menunggu
Menunggu memang suatu yang menguras emosi bagi sebagian orang. Ada yang dilanda kebosanan hingga tak mau menunggu. Apalagi jika menunggu sesuatu yang tak pasti. Dan hari ini sepertinya banyak orang yang sedang menunggu. Zeino yang telah menyelesaikan sidangnya, belum keluar dari gedung fakultas. Ia masih menunggu Dito yang selanjutnya mempertaruhkan masa akhir perjuangan menuntut ilmu di perguruan tinggi. Selain itu ia juga menanti kabar dari seorang gadis yang saat ini sedang berada ratusan kilometer di wilayah utara. Sampai hari menjelang siang, gadis itu belum juga menelpon atau mengirim pesan kapan akan sampai. Raut wajah Zeino saat ini lebih terlihat tenang. Sidang yang mendebarkan telah dilalui dengan baik. Nilai sempurna sudah di tangan. Ia menunggu momen yang tepat untuk berbagi berita bahagia itu dengan keluarga dan Zee tentunya. Lulu dan kedua anggota gengnya yang lain yang berada di koridor fakultas pun belum ia kabari. Beberapa rekannya yang mengi
Baca selengkapnya
76. Kejadian Tak Terduga
Gadis dalam balutan sweater rajut itu telah mendapatkan kembali bungkusan tisu basahnya yang sempat terjatuh. Bungkusan plastik berwarna hijau itu tergenggam kuat di tangan kirinya. Sementara tangan kanan gadis itu memegang ujung secarik kertas petak kecil yang bertuliskan beberapa rangkain kata dan sebuah logo yang cukup mencolok yang diulurkan padanya. Langkahnya masih tersendat di samping rumah makan. Zee dengan sosok pemuda yang menabraknya itu sempat saling meyakinkan diri satu sama lain untuk beberapa saat. Namun tak selesai mereka mengurai pertemuan tak sengaja itu, deru bus dan bunyi klason yang nyaring membuat pemuda itu harus segera pergi. “Ini kartu namaku. Kita lanjutkan ceritanya setelah sampai ya, Zee. Keep contact,” ujarnya dengan sorot mata yang berbinar. Pemuda itu berlari kecil menuju bus. Sebelum ia menapakan kaki ke tangga di pintu kendaraan besar itu, ia memalingkan kepala dan melempar senyum pada gadis yang masih terpaku di tempat berdir
Baca selengkapnya
77. Aksi Mauren
Apa upah yang pantas untuk sebuah pekerjaan yang bernama menunggu? Aktivitas menunggu itu tentu tak membutuhkan kekuatan pisik dan mengeluarkan enegi yang banyak. Hanya duduk, diam tak akan membakar kalori. Tapi apakah benar begitu? Pikiran yang melayang tak tentu arah selama diam terpaku ternyata juga membutuhkan energi. Apalagi jika disertai dengan proses berpikir akan hal-hal yang menganggu. Kerja yang menggunakan otak termasuk penguras energi sebesar 20 hingga 25 persen menurut sebuah artikel. Bagi seorang pemuda yang baru saja memenangkan pertarungan terakhirnya di jenjang universitas, tak muluk yang ia inginkan setelah menunggu lama kehadiran pujaan hatinya. Bisa menatap senyum semringah di wajah yang saat ini berbalut riasan tipis cukup sebagai awal penawar rindunya. Zee yang telah sampai kembali di kota tempat tinggalnya, tak langsung diantar Utari ke rumah. Wanita itu menuruti permintaan Zeino. Ia ingin Utari membawa Zee ke rumah mereka. Lalu pemuda
Baca selengkapnya
78. Resah dan Rindu
Angin sore yang berhembus meniup helaian rambut seorang gadis yang duduk di sebuah halte. Tangannya menggenggam tali tas selempang yang melintang di dada. Pandangannya tertunduk menatap ujung flat shoesnya. Ia tak menghiraukan sekeliling, hingga sebuah mobil berhenti tepat di depannya. Gadis yang telah membuka sweater rajutnya itu, sontak berdiri. Tergesa ia meraih gagang pintu mobil, sehingga pemuda yang berada di belakang kemudi mengurungkan niatnya untuk turun. Zeino sempat heran mendengar pacarnya itu minta dijemput di halte yang tak jauh dari rumah nenek Ruwina. “Bagaimana kabar nenek?” tanya Zeino ketika mereka telah menyatu dengan lalu lintas yang mulai padat. “Baik, Kak.  Nenek sehat. Tadi nenek titip salam.” Zee melempar senyum seiring wajahnya yang menoleh menatap Zeino yang sibuk dengan kemudi. “Em, Tante Mauren juga nanyain Kak Zeino tadi,” sambung Zee sesat kemudian. “Tante Mauren?” ulang Zeino dengan bola mata bergerak ke kiri. Hany
Baca selengkapnya
79. Merelakan?
Kehilangan itu rasanya sakit, bukan? Tak ada satu orang pun yang mau merasakannnya. Jika bisa memilih, tentu tak ada yang mau untuk kehilangan. Tapi, apa sebenarnya kehilangan itu? Rasa hilang ada karena ada rasa memiliki sebelumnya. Kita merasa punya sesuatu, lalu ketika hal tersebut tak ada di genggaman, maka rasa hilang itu hadir. Lalu, apakah bisa disimpulkan, jika tak mau kehilangan, maka jangan merasa memiliki. Lalu jika kehilangan tak terelakan, bagaimana cara menghilang rasa sakitnya? Merelakan, kata orang bijak. Semudah itukah solusinya? Memang mudah mengucapkan, tapi tentu penuh tantangan untuk menyelaraskan lidah, pikiran dan hati. Seperti yang dirasakan Zee saat ini. Gadis yang telah kembali ke kamarnya, sedang berbaring di ranjang. Erat pelukannya pada boneka anjing yang selama sepuluh hari ini ia tinggalkan. Seerat pelukannya pada tubuh pemuda jangkung yang sejam lalu mengantarnya pulang, selepas makan malam di café. Seakan ia tak ingin kehilangan. 
Baca selengkapnya
80. Biyan? Siapa?
Mentari telah lama mengantar rembulan ke peraduan. Sinarnya yang mulai terik merayap di sela-sela kaca jendela yang masih tertutup helaian gorden yang sedikit menganga. Hangatnya belum menaklukan suhu kamar berpendingin yang masih menyala. Hawa sejuk menyeruak ketika daun pintu kayu di kamar itu terkuak. Kartika yang telah rapi dengan seragam kerjanya, mendapati anak gadisnya masih bergelung di dalam selimut. Niatnya untuk membangunkan urung terlaksana. Tangannya hanya mematikan pendingin ruangan dan menyibak kain gorden di jendela. Mendorong jendela dengan 2 lembar kaca itu agar terbuka. Lalu ia merogoh saku rok kerjanya dan mengeluarkan secarik kertas kecil persegi. Kertas itu kemudian ia letakan di atas meja rias. Melihat Zee yang masih lelap, tak terganggu dengan kehadirannya, Kartika memutuskan untuk beranjak. Ia tak membangunkan gadis itu. Kartika tahu jika hari ini Zee sedang libur bekerja. Mendengar cerita tentang jadwalnya yang setiap hari sibuk hingga tenga
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
67891011
DMCA.com Protection Status