Yuk, Nikah!의 모든 챕터: 챕터 41 - 챕터 50
88 챕터
Penyesalan Terdalam
Masih tenggelam dalam imajinasi liar yang semakin dirasa semakin membara, akhirnya aku mencoba menyadarkan diri walau sulit.Ciuman yang bisa dikatakan sebagai ciuman maut ini akhirnya aku akhiri dengan paksa setelah bayang-bayang kata dosa berputar di pikiran.‘Astagfirullah! Apa yang aku lakukan barusan?'Kutahan kedua bahu Vivi, dan segera melepas cengkraman kuatnya pada kemeja ini. Ia masih terpejam, mungkin masih terperangkap dalam sensasinya sendiri. Sementara aku hanya menatap diam, masih di depannya, mematung bak orang bodoh yang lose control dengan jantung yang masih berdetak kencang tak berirama.Tak lama sepasang mata Vivi berkedip-kedip pelan dan terbuka. Masih dengan nafas yang terengah dan tampak memburu, gadis di hadapanku ini menatap dengan binar cerah. Sepertinya dia bahagia sekali setelah mencuri ciuman pertamaku. Parah.Segera setelahnya aku tersadar penuh. Memundurkan tubuh, menjauhi Vivi. Debaran jantung masih terasa, tet
더 보기
Salah Tingkah
Usai melaksanakan salat dan memeohon ampun atas dosa yang baru saja kuperbuat, diri ini merebahkan diri di ranjang, berharap bisa terlelap lalu terbangun keesokan harinya tanpa ingat lagi kejadian beberapa belas menit lalu.Sayangnya, untuk bisa terlelap dan tenggelam dalam mimpi malam, bagiku ini begitu sulit. Mataku masih saja terbuka padahal perih sudah dirasa.Bayangan wajah Vivi di langit-langit kamar tergambar begitu jelas, membuat aku sangat frustrasi berat.“Tidur, Gam ... tidur!” Aku sampai bermonolog sendiri saking merasa hampir gila tak bisa menghentikan bayangan sosok Vivi.Bukannya berhenti, yang ada malah semakin menjadi, membuat debar jantungku tak juga mau berhenti berdentum tak karuan. Heran.Kepalaku terasa pening, hidung terasa terbakar. Sepertinya diserang gejala flu. Daripada nanti berkepanjangan dan sakit, aku menelan pil pereda sakit sakit kepala, berharap sakitnya segera hilang.Selang beberapa belas menit
더 보기
Masih Sok Jaim
Waktu berlalu begitu saja. Terbuang sia-sia hanya karena memikirkan bagaimana cara kembali untuk mengambil kendaraan roda dua yang kupunya, sementara di sisi lain aku juga ingin menyelamatkan harga diri. Kalau balik lagi setelah berusaha kabur tadi dari hadapan Vivi, alamat diolok olehnya.“Ck. Coba lihat, udah jam berapa ini?” keluhku saat melihat jam di tangan. Kepalaku celingukan, kemudian berhenti ketika melihat mentari semakin berangsur naik memperlihatkan cahayanya di langit.Oh, shit! Ini sudah terlalu siang. Kembali mengambil motor hanya akan semakin cepat mempersingkat waktu. Sebaiknya aku pergi tanpa si merah.Dengan kesal aku berbalik pergi. Memutuskan mengambil jalan tengah dari pada malu saat bertemu Vivi. Kuputuskan naik angkutan umum saja.Meski begitu, tak dapat kupungkiri kemarahan Pak Wahyu akibat telat datang ke kantor. Ocehan demi ocehan kudengar tanpa boleh sepatah kata pun kupotong. Jika itu terjadi, maka Pak
더 보기
Aku Salah
“Abang jahat,” ucap Vivi pelan, amat pelan. Kalimat yang dia lontarkan barusan terdengar seperti ucapan yang berusaha diredam, tetapi keluar begitu saja. Dan ... entah mengapa hatiku berdenyut nyeri mendengarnya.Aku terpaku di tempat, menatap Vivi dengan hampir tak berkedip. Ucapan yang terkesan merutuk itu sangat membebaniku.“Seharam itu, ya mencintai Abang? Sampe tega bohong pacaran sama Kak Sela?” Dia menembakkan lagi satu pertanyaan yang nyelekit. Kali ini matanya telah berkaca.Aku terkejut, ternyata dugaanku benar tentang dia yang mendengar ucapan Sela tadi. Akh, sial. Terbongkar juga akhirnya kebohonganku. Jadi, benar ternyata pepatah soal bangkai yang disembunyikan lama-lama akan tercium itu ada.Paling malas kalau sudah begini, aku yang sudah ketahuan bohong, tak mampu meminta maaf, pula. Parah banget. Bukannya ngomong dengan berani, aku malah mematung bagai orang terbodoh di muka bumi saat perempuan muda di hadapanku me
더 보기
Diblokir
Hari mulai gelap, tetapi aku masih berjibaku dengan map-map berisi dokumen yang masih belum selesai dikerjakan.Harusnya dua jam lalu aku sudah pulang, tapi lihat saja sendiri seberapa banyak tumpukkan tugas yang wajib selesai hari ini.Berkat adanya keterlambatan salah satu karyawan pagi ini, akhirnya aku harus lembur.Tak apa, jarang-jarang dapat lembur lagi. Mending begini, daripada di kosan, sendirian, tak ad aaktivitas berarti. Yang ada malah dijudesin si Vivi.Hubungan di antara kami sejak hari ia mengetahui kebohonganku pun akhirnya renggang. Benar-benar sudah macam musuh saja. Setiap kali bertatap muka tanpa sengaja, kami menghindar satu sama lain. Dia marah, sementara aku ... malu.“Gam, ini yang terakhir. Selamat lembur, ya. Aku pulang duluan, bye ....”Sela langsung pergi setelah menyimpan map kuning di atas mejaku. Tanpa perasaan bilang bye segala. Mau manas-manasin, apa? Atau mau mengolok?Kulihat jam di tanga
더 보기
Tak Bisa Lagi Mengelak
Perut kenyang, tapi hati tidak tenang. Setelah mengetahui kenyataan bahwa Vivi benar-benar memblokir nomorku, hatiku dirundung nyeri tanpa alasan.Masih berada di balik tembok, aku membuang napas secara kasar, tetapi pelan. Menatap pesan chat yang masih centang satu abu-abu.“Oh, ya? Ha ha ha.”Bahkan terdengar tawanya begitu kencang seolah ia begitu bahagia bercakap dengan seorang laki-laki yang tak kutahu siapa itu. Mungkin Rama. Sebab yang kutahu hanya dia yang dekat dengan Vivi begitu akrab.“Sudahlah. Harusnya aku tahu diri. Sebab Vivi memblokirku jelas ada alasan kuat. Dia membenciku.” Aku bergumam tak berguna. Lantas, segera menggeser tampilan layar ke menu utama. Setelahnya itu ponsel langsung masuk kantong.Daripada terus berdiri di balik tembok sambil nguping, lebih baik aku masuk ke kosan untuk tidur. Ya, ini lebih baik. Bahkan sangat baik.Akan tetapi, nyatanya tak semudah saat lidah berkata. Setelah diam-
더 보기
Menggagalkan Aksi Nembak
Seberapa keras mencoba tancap gas, keduanya tak terlihat lagi. Jadi, bekalku kali ini hanyalah berdasarkan informasi yang kudapat dari Cing Romlah beberapa saat lalu.Begini alasan aku tertinggal.“Aduh, kenapa pula ini motor susah nyala!” Penuh emosi aku pencet starter kuat-kuat. Sayang, motor yang baru saja kubayar pajaknya ini masih belum menyala.Sial!Lagi, aku mengumpat tak sopan. Andai ada bapak atau ibu di sini, sudah pasti habislah aku dipukul sendal oleh mereka.Aduh, maklum saja, aku sedang terburu-buru mau menyusul Vivi. Tak enak hati rasanya, dan aku juga sangat tidak rela. Tidak sedikitpun!“Heh, Gam, mau ke mana rusuh amat?” Suara lantang itu terdengar dari arah teras. Siapa lagi kalau bukan Cing Romlah.“Mau susul Vivi!” sahutku agak kesal. Ya, bayangkan saja kenapa aku sampai kesal begini? Sudah tahu motor susah menyala, malah tanya hal yang kuyakin pasti Encing tahu.Jemariku berhenti menstarter. Gegas pasang standar dua, kemudian menyalakan motor dengan cara manual
더 보기
Jadi, Kita Jadian?
“Vi! Vivi!” Bahkan teriakan yang menggema itu tak aku gubris sama sekali.Dengan wajah datar, aku mencoba fokus berjalan mengelilingi pagar pembatas untuk mencari jalan keluar. Vivi membisik, malu katanya. Setidaknya aku merubah posisi pangkuan.Ah, aku lupa. Seolah tersadar dari perilaku tak terkontrolku, segera aku berhenti sejenak. Menurunkan Vivi, kemudian berganti dengan genggaman tangan. Kupegang erat-erat takut dia kabur.Sorakan di samping kami terdengar semakin bergejolak. Aneh, orang-orang yang ada di sini begitu bersemangat, tak sayang energi apa? Dari tadi cuit-cuit terus.Kupercepat langkah, rasanya tak tahan dengan gurauan mereka. Jangan tanya lagi bagaimana perasaanku saat ini. Pastinya bahagia, dag dig dug tak karuan. Sumpah, puas sekali setelah berhasil menggagalkan acara nembak barusan.Andaikan di sini tidak sedang ramai. Andai saja hanya ada Vivi dan kami duduk berhadapan di tempat sepi, mungkin detak jantungku yang entah bagaimana kondisinya saat ini pasti terdeng
더 보기
Hubungan Rahasia
Masih tak percaya bahwa aku telah memacari anak ibu kost, berkali-kali kutampar pipi sendiri di kamar mandi, tapat menghadap cermin. “Aduh, sakit! Berarti bukan mimpi? Mati aku!”Bagai orang kurang waras, aku bermonolog sendiri. Demi apa pun, hingga saat sekarang semua seperti sebuah mimpi semata, tetapi lagi-lagi semua pikiran itu dipatahkan oleh kenyataan yang lumayan memberatkan pikiran.Sepulang dari menjemput paksa Vivi dan kami membuat komitmen bersama, yang kulakukan sekarang hanyalah bisa menyesali itu semua sambil mengguyur diri dengan gayung berisi air di kamar mandi.Sebelumnya di kafe, aku dan Vivi telah sepakat akan menjalani kisah cinta yang baru kami jalani dengan rahasia. Bukan apa, aku sungguh belum siap jika Nyak Marni tahu tentang hubungan ini. Juga yang lebih menakutkan untukku sekarang adalah ... Fadlan. Bodoh sekali tadi sore aku begitu lupa akan sosok sahabatku yang juga mencintai Vivi. Saran dari Sela, akhirnya aku lakukan. Aku mengkhianati sahabatku diam-dia
더 보기
Sembunyi-sembunyi
“Agam?! Tega, amat ngerebut Vivi dariku! Padahal sudab kupercayakan dia padamu, kenapa malah dia kamu curi dariku! Dasar teman makan teman!”Fadlan terlihat begitu marah. Ia berlari ke arahku dengan tangan yang telah terkepal kuat “Lan! Lan! Ampun, Lan! Bukan maksudku—” BUAKH!“Alah, persetan! Pengkhianat! Mati aja!”Aku berusaha menutupi wajahku yang kini jadi sasaran bogem mentah Fadlan. Tidak! Jangan pukul lagi! Kumohon!“Fadlan! Fadlan maafkan aku—”Seketika momen menegangkan itu lenyap ketika sepasang mata ini terbelalak lebar.Deg!“Astagfirullah. Ternyata hanya mimpi.”Kuelus dada yang gemuruhnya masih saja terasa. Peluhku bercucuran mulai dari dahi hingga dagu. Ada rasa yang kurang enak setelah mimpi itu hadir dalam tidur.Kehadirannya dalam mimpi apakah sebuah tanda jika kesalahanku memang fatal? Demi apa pun, sekarang aku takut. Takut jika suatu waktu hal ini bisa menghancurkan persahabatan kami.Bangkit dari posisi rebahan. Kulirik jam ternyata sudah hampir subuh. Kali in
더 보기
이전
1
...
34567
...
9
DMCA.com Protection Status