Apa jadinya jika seorang remaja berusia 17 tahun mencintai pria berusia 26? Dan ia terus mengejarnya, bahkan memaksa untuk menikahinya seusai lulus SMA? Sebut saja namanya Vivi, gadis remaja yang mendadak menyimpan rasa pada pria yang sudah hidup di lingkungannya selama sepuluh tahun, namanya Agam. Vivi terus saja memupuk rasa hingga tak lagi dapat dibendungnya, hingga suatu ketika ia menyatakan cinta. Agam yang selalu menganggapnya bagai saudara pun bingung dan menghindar, terlebih sahabatnya bernama Fadlan telah memiliki rasa untuk Vivi. Sayangnya, perasaan tak dapat dibohongi lagi. Lambat laun pria itu juga memiliki rasa yang sama. Akankah keduanya dapat bersatu? Bagaimana dengan Fadlan? Ini adalah kisah romansa yang menghadirkan kisah rumit antara gadis remaja dan pria dewasa. Membuat dilema seorang Agam antara harus memilih cinta dan persahabatan. Berisi tentang rasa yang sulit terungkap, juga tiga hati yang kian hari kian terkoyak. Bisakah ketiganya melalui semua masalah tanpa adanya permusuhan?
View More'Sulit dipercaya! Aku akan bertunangan dengan Pangeran Dafandra!' Seorang gadis berambut merah dengan aksesori rambut, anting-anting, dan kalung berbentuk kupu-kupu menatap cermin dengan cemas.
Bagi sebagian besar wanita, hari pertunagan adalah hari yang dinanti-nanti sebelum datangnya pernikahan. Sayangnya, hal itu tidak terjadi dengan putri Alisya.
"Tersenyumlah, Putri! Engkau akan menjadi wanita paling bersinar di negeri ini. Pangeran Dafandra pasti akan terpesona melihat kecantikanmu," ucap penata rambut riang seolah mengabaikan fakta sang putri hampir saja mengacaukan hubungan baik dua kerjaan.
Alisya berusah tersenyum seperti arahan penata rambut. Akan tetapi, kedua sudut bibir sang putri terlalu kaku untuk tersenyum menatap segala kekacauan, tuduhan, ancaman dan hinaan yang ditujukan kepadanya.
'Tenangkan dirimu, Alisya! Kamu pasti bisa melalui ini semua!' batin Alisya menenangkan diri.
Setelah selesai berdandan, tibalah saat Alisya berjalan menuju kemeriahan pesta di aula kerajaan. Sayup-sayup terdengar nyanyian dan musik mengalun merdu. Sayangnya, bagi Alisya musik itu lebih terdengar seperti bunyi pisau yang menyayat-nyayat hati.
'Oh Tuhan, aku tidak punya muka untuk bertemu Pangeran Dafandra! Dia bahkan tidak pernah bertegur sapa denganku sebelumnya! Apakah dia sudah gila hingga mau bertunagan denganku?'
Sesampainya di aula kerajaan, semua orang menatap putri berambut merah. Memang benar kecantikan Alisya membius para temu untuk menatapnya lebih lama tanpa berkedip. Meski bigitu, sesaat kemudian bisik-bisik para tamu hilir mudik singgah di telinga sang putri.
"Astaga, Putri Alisya memang sangat cantik! Aku rasa dia telah sadar dengan kecantikannya, sehingga memilih berselingkuh dengan budak ketimbang menyerahkan seluruh hidupnya pada pria cacat seperti Pangeran Mahkota Fasya!" ucap seorang wanita gendut mulai bergosip sambil memandang Alisya yang berjalan membelah kerumunan.
Para tamu di sekitar wanita gendut menyahut dan tersebarlah obrolan-obrolan negatif tentang sang putri di hari pertunangan yang seharusnya penuh hikmat.
'Jika tidak karena ada raja dan ratu di sini, sudah kusumpal mulut kalian semua dengan batu!' batin Alisya geram.
Dahulu saat berusia enam tahun, Alisya telah dijodohkan dengan saudara tiri pangeran Dafandra. Akan tetapi, sebelum Alisya dan pangeran mahkota Fasya menikah, hal yang tidak masuk akal terjadi.
Secara mengejutkan, Alisya menjalin hubungan terlarang dengan seorang budak pelukis. Ayah Alisya yang seorang raja sangat marah dan malu. Sehingga, dia membatalkan secara sepihak pertunagan Alisya dan Pangeran Mahkota Fasya. Selanjutnya sang putri dijatuhi vonis hukuman mati.
Namun, sebelum hukuman itu sempat terjadi, pangeran kedua Kosmimazh mendatangi ayah Alisya untuk untuk menawarkan pernikahan aliansi. Sesutu yang sangat raja harapkan dari memiliki seorang putri.
'Mereka semua tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi! Aku tidak pernah mengkhianati pertunanganku dengan Pangeran Mahkota Fasya! Tapi aku telah dijebak! Mereka ingin menghancurkanku!'
Raut wajah Alisya menjadi semakin gelap. Dia ingat wajah tampan Pangeran Mahkota Fasya. Pria itu memang cacat, separuh tubuhnya lumpuh sejak lahir. Tapi, Alisya telah mengenal Fasya sejak berusia enam tahun dan hubungan mereka tidak pernah buruk.
Bahkan, Alisya belajar keras dari kepala dokter istana sehingga mendapat sertifikat dokter istana di usia tujuh belas tahun. Demi cita-citanya untuk mengobati Pangeran Mahkota Fasya.
'Aku tidak berhianat! Aku tidak pernah berhianat!' tegas batin Alisya menampik segala tuduhan yang ditujukan kepadanya.
Sesampainya di depan raja dan ratu, Alisya memberikan hormat dengan takzim. Selanjutnya, wajah Alisya tertuju pada pria berbadan tegap dengan degan rambut pirang yang bersinar.
Tatapan mata biru pria itu seakan badai salju yang membekukan siapa pun yang menatapnya, tidak terkecuali Alisya. Dia adalah Pangeran Dafandra. Seorang pangeran yang juga dikenal sebagai wakil jenderal besar kerajaan Kosmimazh.
'Lihatlah pria itu! Apakah dia terlihat seperti pria yang tertarik kepadaku? Tatapannya tidak ramah sama sekali!' Alisya menggigit bibirnya sendiri.
Dalam ingatan Alisya, Dafandra memamg bukan pangeran yang ramah. Dia selalu terlihat angkuh dan tidak pernah terlihat bercakap-cakap dengan bangsawan lain pada acara-acara yang diadakan di kerajaan Crysozh.
Lantas, kenapa sekarang Dafandra melamar Alisya? Benarkah hanya karena tujuan politik atau karena ada kepentingan yang lain?
Hati Alisya semakin gelisah, dia mengendarkan mata ke sisi lain aula. Dengan bodohnya dia berharap melihat wajah mantan tunangannya.
"Putri Alisya, jaga sikapmu! Segera beri hormat pada pangeran kedua Kosmimazh!"
Sayangnya, Ratu segera menegur Alisya untuk memberi hormat pada calon suaminya. Dan memang, pria yang Alisya cari tidak tampak kehadirannya.
Setelah Alisya memberi hormat pada Dafandra, pemandu acara mempersilahkan Alisya dan Dafandra saling bertukar cincin.
Pria bermata biru sedingin es kembali mantap Alisya.
'Wajah oval dengan tubuh ramping dan dada yang tidak terlalu besar itu tidak terlalu buruk untuk sebuah pernikahan politik,' batin Dafandra saat menatap Alisya dari jarak dekat.'Sulit dipercaya, wanita yang terlihat polos ini, ternaya menjalin hubungan gelap dengan seorang budak pelukis. Tapi, sejujurnya ini menarik, karena dia selalu merasa tidak bersalah dan dijebak. Kita lihat saja, sejauh mana dia mahir menyimpan kebohongannya!' lanjut Dafandra dengan tatapan puas.
Tangan dengan cincin batu jadeite berwarna hijau pekat di ibu jari kiri meraih tangan Alisya. Sang pangeran memasukan sebuah cincin dengan batu permata merah yang berkilau sebagai tanda ikatan pertunagan di antara mereka.
"Mengapa begitu tegang? Bukankah ini bukan pertama kalinya kamu disentuh seorang pria?" bisik Dafandra seolah mengingatkan fakta, jika tidak karena pertunagan ini, Alisya akan mendapatkan hukuman mati karena skandalnya.
Telinga Alisya memerah. Dia tidak bisa untuk tidak menatap mata biru sang pangeran yang menatapnya tajam.
Setelah Dafandra selesai memasukan cincin, Alisya meraih tangan sang pangeran untuk memasukkan cincin red beryl yang dikelilingi ukiran dedaunan di jari manis pangeran berambut pirang.
'Dia menghinaku! Dia tidak benar-benar mencintaiku! Mengapa dia melamarku jika begitu jijik kepadaku?'
Air mata Alisya menggenang di pelupuk mata. Dia tidak yakin akan menahannya lebih lama di hadapan banyak orang. Lagi pula, bagi seorang putri yang tidak dicintai, perasannya tidaklah penting bagi raja atau pun ratu.
"Mengapa kamu melamarku?" hanya itu kalimat singkat yang mampu Alisya utarakan ketika mereka begitu dekat. Tanpa sadar air mata Alisya meleleh juga di hadapan Dafandra dan semua orang.
"Karena tidak ada lagi lelaki yang menginginkanmu," jawab pangeran kedua Kosmimazh dengan nada merendahkan sambil menghapus air mata Alisya dan menatap dengan tatapan yang sulit dimengerti.
Gemuruh tepuk tangan tamu undangan mengejutkan Alisya. Dia tidak pernah menyangka akan menangis di hari pertunagan. Bukan karena tangis bahagia atau terharu, tetapi karena merasa dihina oleh calon suaminya sendiri.
“Agam! Agam!”Mata ini terbuka lebar kala bapak memanggil dengan hebohnya. Aduh, padahal aku sedang enak-enaknya tidur siang di kursi teras yang memanjang, sambil merasakan desiran angin sepoi-sepoi. Malah terganggu.“Apa, sih, Pak? Teriak-teriak gitu.” Aku terpaksa bangun meski mata masih terasa lengket.Bapak muncul di ambang pintu. Dan kami akhirnya bertemu mata.“Owalah, di sini toh kamu. Dicariin juga!” ucap bapak menggerutu. Lantas mendekatiku. Di tangannya tersampir baju batik berwarna dasar abu-abu.Bapak mendorongku agar bisa sedikit bergeser. Lalu, ia duduk tepat di sampingku. Sementara diri ini masih saja mengucek mata, mengusir kantuk yang mendera.“Ada apa, Pak? Lagi enak-enaknya tidur malah gangguin. Enggak seru,” ujarku protes.“Sera seru, sera seru! Ini, batiknya udah jadi. Coba dulu, siapa tahu kurang pas, jadi bisa cepet-cepet diperbaiki lagi. Ini malah enak-enakan tidur. Udah tahu kita lagi sibuk buat acara lamaran besok. Mepet ini, Gam.”Bapak kalau sudah menghadap
Langit sudah mulai menguning, menampakkan warna-warna cantiknya di atas sana. Aku terdiam berdiri menghadap jendela.Dalam diamku, telintas gambaran Agam. Kenangan bersamanya saat dulu tinggal bersama di kosan nyak Marni kembali terkorek.Mata ini terpejam kala canda tawanya terngiang-ngiang di telinga.Ada suatu rasa bahagia sekaligus sedih merayapi dinding hati tanpa alasan. Dia pergi begitu harusnya aku senang, kan? Lantas, mengapa malah rasanya semakin menyiksa.“Apa salahku, Gam? Sampai kamu sudah tak ada pun, kamu tetap memberi luka lagi dan lagi,” teriakku menggila.Sial!Kepergiannya malah membuat sebagian dari diriku saling menyalahkan. Seperti akulah orang yang telah membuatnya angkat kaki dari tempat itu. Aku orangnya!“Aaargh! Kenapa, sih nggak ngilang aja sekalian! Mat—” Ucapanku menggantung di udara kala menyadari jika hampir saja diri ini mengucap doa buruk.Astagfirullah. Kulemparkan diri pada kasur besar ini, menutup wajah, merasakan sesal karena bisa-bisanya aku meny
Hari demi hari berlalu begitu saja, tetapi segunduk nyeri di hati ini tak kunjung mereda. Mengingat kembali pengkhianatan sahabatku Agam, ingin sekali aku menyayat diri dengan pisau tajam.Sayangnya aku tak cukup berani untuk melakukan itu.Jika disuruh untuk jujur, aku tak sepenuhnya menyalahkan Agam. Aku juga salah karena telah jatuh cinta dengan mudahnya pada anak nyak Marni tanpa pernah berpikir sekalipun kalau akan ada saat-saat di mana rasa sayang bak saudara itu akan berubah menjadi rasa sayang antara laki-laki dan perempuan.Ya, aku yang terlalu bodoh.Aku tahu Agam tak pernah menginginkan semua terjadi. Aku yakin dia mencoba menolak rasa yang perlahan hadir di hatinya. Akan tetapi, sepertinya aku terlalu lama pergi, sehingga dia tak lagi sanggup menahan rasa yang telah berakar kuat tanpa ia sadari sendiri.“Sial, memang!” umpatku sengaja. Kini, aku sedang menatap tembok bercat putih bersih di kamar. Kacau.Sekelebat bayangan Vivi yang menolakku mentah-mentah beberapa waktu la
Pagi menyapa dengan dinginnya. Ketika mentari masih bersembunyi di balik awan, keluargaku sudah mengintrogasi diri ini. Menanyakan alasan kepulanganku yang super mendadak ini. Untungnya mereka percaya saat mulutku berkata pulang demi ingin memulihan diri. Mereka malah mendukung seratus persen.Yah, meski bukan pemulihan diri asli, tapi pmulihan hati lebih tepatnya.***Aku masih berjibaku di halaman belakang. Sedang mencabut singkong yang ditanam bapak. Ceritanya mau makan sup singkong buatan ibu.Hampir sepuluh tahun tinggal di kota, aku sampai lupa bagaimana caranya mencabut singkong yang baik dan benar. Dua kali terjungkal rasanya telah menjadi hal wajar ketika gagal mencabutnya, kan?Setelah banyak menghabiskan tenaga, akhirnya singkong yang kumau didapat juga. Lihatlah, tubuh ini basah oleh keringat. Ibu sampai geleng-geleng sambil tertawa melihat diri ini yang merosot ke lantai usai menyerahkan singkong-singkong itu ke tangannya.Ah, yang benar saja. Cabut satu pohon singkong be
Baru saja kulihat langit gelap gulita mengelilingi diriku, mengapa dalam sekejap mata mentari naik membakar kepala?Anehnya ini bukan di bus atau jalanan kota.Gunung! Aku berada di puncak gunung.Apakah ini mimpi? Tapi, terpaan angin menggelisir di atas kulit terasa nyata. Dingin.“Abang jahat.”Deg!Aku terperanjat mendengar suara Vivi yang terdengar begitu serak. Ketika mata ini memindai seluruh tempat yang terjangkau, tampak sosoknya di kejauhan sana, menatap dengan mata yang banjir air mata.“Vivi?” Aku berlari ke arahnya.“Abang jahat.” Lagi-lagi rutukkan itu yang terdengar.“Vivi! Tunggu!” Dia berbalik, pergi meninggalkanku di sini. Di tengah rimbunan pohon yang meninggi dengan sendirinya.Aku menoleh ke kiri dan kanan. Kaget dengan situasi aneh ini. Apa-apaan semua?! Aku mundur terlampau takut.“Mas, Mas,” seru suara laki-laki mengalihkan perhatian.Seketika pemandangan menyeramkan itu lenyap, berganti dengan pemandangan dalam bus yang penumpangnya sudah turun. Tak jauh dariku
Malam semakin larut, jalanan sudah mulai macet. Lampu-lampu menguning sebagai penerangan jalan di dekatku mencetak dua buah bayangan di bawah kaki.Aku dan Vivi.Di antara kebisingan kota kini. Kami berdua hanyut dalam kesedihan yang teramat dalam.Kubenarkan anak-anak rambutnya yang telah basah menempel di pipi. Dengan mati-matian diri ini menahan air mata yang sudah menumpuk di ujung mata. Merasakan kembali betapa pedihnya perpisahan.Dan baru aku tahu jika perpisahan karena terhalang restu ini lebih menyakitkan daripada berpisah karena dikhianati seperti yang dilakukan Gina dulu.“Bang, jangan tinggalin Vivi. Abang udah janji, plis,” rengeknya begitu erat merangkul tanganku.Berkali-kali kucoba lepas, ia kembali merangkulnya tak peduli nyak Marni sudah begitu murka. Vivi seakan tak melihat keberadaannya. Dia hanya fokus padaku. Mencegah agar diri ini tak pergi.Sementara aku hanya diam mematung. Tak kurespon ucapan juga rengekan itu. “Ayo pergi aja. Kita nikah. Abang janji, kan ma
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments