Semua Bab Scarred Hearts: Bab 41 - Bab 50
76 Bab
Gugatan Cerai Mas Arya
Niko mengelus topi baseball putih di pangkuannya. Hadiah ulang tahun yang kedelapan dari sang ayah. Dulu, menurutnya topi itu keren sekali sewaktu ia pakai untuk latihan baseball. Niko tersenyum kecil mengingat ia pernah dengan bangga memamerkan topi itu pada teman-temannya. Seketika ia ingat kejadian hari ini. Niko melempar topi itu ke sudut paling bawah lemari yang sengaja ia buka. Remaja itu lanjut mengepaki barang-barangnya. Hanya butuh beberapa menit sampai ia selesai. Niko memutuskan untuk tidak membawa terlalu banyak barang. Ia berpikir hal itu hanya akan membuatnya lebih banyak teringat akan kejadian hari ini daripada kenangan indah. Niko mengedarkan pandangan sekali lagi ke seisi ruangan. Kamar ini ia pakai lebih dari sepuluh tahun. Tempat ini adalah saksi bisu tentang bagaimana Niko tumbuh dan berubah seiring pertambahan umurnya. Ia mungkin tidak akan melihat kamar ini lagi dalam waktu yang lama. Mungkin sela
Baca selengkapnya
Awal Perpisahan
Alyasha menatap nanar surat yang disodorkan sang suami di atas meja. Arion dan Annanda sudah kembali ke kamar masing-masing. Hanya ia dan Mas Arya yang masih duduk berdua di ruang tengah. Mereka tidak mengucapkan apa-apa. Tenggelam dalam pikiran masing-masing. Alyasha mengangkat wajah untuk menatap Mas Arya. "Mas...." Mas Arya menoleh padanya. Ada gurat lelah dan luka di dalam matanya dan Alyasha tidak tahu kenapa. Ia tidak mengerti kenapa Mas Arya masih bisa menunjukkan wajah bersedih di saat ia yang mengajukan gugatan perceraian. "Kita hentikan saja semua ini, Alya," ujarnya pelan. Nadanya terkesan berat dan penuh beban. Seolah-olah ia sudah tidak sanggup untuk melanjutkan permainan rumah tangga yang sedang mereka lakoni. Atau mungkin memang sebenarnya seperti itu. Alyasha sendiri juga merasa lelah. Ia masih mencintai Mas Arya. Perasaannya masih tidak berubah bahkan setelah semua yang Mas Arya lakukan. Alyasha masih tetap mencintainy
Baca selengkapnya
Rumah?
Annanda menatap kosong langit-langit kamarnya. Beberapa hari terakhir ia dan ibu diantar dan dijemput oleh Arion. Suasana di dalam mobil terasa sangat canggung dan menyesakkan sampai-sampai Annanda berpikir akan lebih mendingan jika ia pergi ke sekolah dengan berjalan kaki. Kalau bisa memilih, Annanda lebih suka diantar oleh Mang Tito. Setidaknya supir mereka yang setia tidak akan menyindir dan mencemooh Annanda di setiap kesempatan. Mang Tito selalu tersenyum ketika menyapa Annanda dan selalu mengajak berbincang di sepanjang perjalanan. Gadis yang beranjak remaja itu menutup mata dengan sebelah tangan. Sialnya, ingatan tentang seorang kakak yang dulu sangat menyayanginya malah kembali terputar dalam benaknya. Dulu, Arion sering sekali mengajaknya untuk membeli buku, kemudian, mereka akan mampir ke kedai es boba. Kini, koleksi buku Annanda sudah lama sekali tidak bertambah. Koleksi buku-bukunya yang lama berada di dalam lemari di sudut kamar, terkunci
Baca selengkapnya
Kecelakaan
Arion mengisap rokok cannabis-nya dalam-dalam dan menahan asap itu selama mungkin di paru-paru sampai dadanya terasa sakit. Ia mendongak, mengembuskan napas pelan-pelan dan memerhatikan gulungan asap yang keluar dari bibirnya. Sebentar lagi ia harus menjemput ibu dan adiknya. Arion butuh menenangkan diri sebelum bertemu dengan dua orang yang paling ia benci. Hanya dengan merokok ia bisa mendapat ketenangan ituuc. Ia tahu cannabis akan membuatnya ketergantungan. Merusak tubuh dan pikirannya. Tapi, memangnya apa yang masih belum rusak dari dirinya? Tidak ada bedanya jika ia memakai narkoba atau tidak. Ia memang sudah rusak. Apa boleh buat. Arion beranjak, dan merasa dunia ikut berputar. Ia berpegangan pada punggung sofa, menggelengkan kepala untuk menjernihkan pikiran. Ketika sudah bisa mengendalikan diri, Arion mengendarai mobilnya keluar dari rumah. *** Annanda menunggu lama sekali di depan sekolah hing
Baca selengkapnya
Kekalutan Aryadi
Kota Berlin hari itu membeku. Suhu dingin bulan Nopember membuat Aryadi harus mengenakan berlapis-lapis pakaian ketika keluar dari hotel tempatnya menginap untuk menuju ke tempat meeting. Hanya tinggal selangkah lagi dengan sejumlah penandatanganan berkas-berkas, maka ia bisa mulai pembangunan cabang perusahaannya di sini. Ini salah satu langkah besar untuk perkembangan bisnisnya. Aryadi baru melepaskan mantel dan hendak menaruhnya di ruang yang disediakan ketika ia ponselnya berdering. Ada panggilan masuk dari salah satu anak buah kepercayaannya. Aryadi memutuskan untuk mengangkat telepon itu karena ia tahu bawahannya tidak akan menghubungi jika tidak ada masalah mendesak. "Ya, Arman?" tanya Aryadi tanpa basa-basi. "Pak Arya." Suara gugup Arman terdengar tidak seperti biasa. Pria itu selalu berbicara dengan tegas dan to the point, yang merupakan salah satu hal yang disukai Aryadi dari cara kerjanya. Aryadi mengerutkan kening mendengarkan kata
Baca selengkapnya
Kehilangan
Aryadi merasa mati rasa. Rasanya, jika ada yang menikamnya dengan pisau saat ini, ia tidak akan bisa merasakan apa-apa. Sejujurnya, ia akan lebih memilih seseorang untuk menikamnya, daripada merasa hampa seperti ini. Aryadi tidak tahu bagaimana ia bisa melalui hari itu dengan tenang dan menyelesaikan prosesi pemakaman Alyasha tanpa banyak masalah. Ia seolah-olah bukan dirinya ketika berinteraksi dengan orang-orang yang melayat. Aryadi tidak banyak menunjukkan ekspresi di depan mereka. Ia merasa hari itu berlalu dengan agak kabur. Ia tidak ingat sebagian besar jalannya prosesi pemakaman itu. Namun, ia jelas ingat wajah Alyasha. Wajah sang istri terlihat damai seolah-olah ia tengah tertidur. Hanya saja, Alyasha tidak pernah terlihat sepucat itu. Luka lecet dan lebam mewarnai wajahnya. Luka-luka yang tidak akan bisa sembuh lagi. Aryadi mendudukkan diri di tepi ranjang di kamar utama. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan seper
Baca selengkapnya
Hadiah untuk Annanda
Annanda duduk bersandar di atas kasur pasien yang tidak terasa nyaman. Sekarang, setelah ia bisa berpikir dengan sedikit lebih jernih, ia berusaha mengumpulkan dan merunut kepingan-kepingan ingatannya tentang kecelakaan yang telah ia alami. Rasanya ajaib sekali ia bisa selamat padahal ia sempat terpental ke luar mobil. Sepertinya Arion juga tidak mengalami luka yang serius, mengingat kemarin ia sempat keluyuran ke kamar Annanda. Bicara soal Arion, bukankah kemarin ia menjanjikan sesuatu? Baru saja dipikirkan, pintu ruang rawat Annanda mengayun terbuka dan sosok Arion muncul dari baliknya. Ada perban yang melingkar di kepalanya. Pipi kirinya lecet. Selain itu, Annanda tidak bisa melihat luka lainnya. Arion mengenakan kemeja putih yang disetrika sampai licin dan celana terusan abu-abu. Ia mengerutkan kening. Bukankah pakaiannya sedikit terlalu formal untuk seorang pasien? Annanda saja masih mengenakan baju hijau tua khas pasien rumah sakit. "Bag
Baca selengkapnya
Mati Rasa
"Jadi ini yang kalian maksud untuk 'tutup mulut'?" Annanda menatap ayah dan kakaknya yang duduk di sofa dengan pandangan tak percaya. "Aku yang membunuh ibu?" "Kamu yang membunuh ibumu," sahut Aryadi. "Ayah!" "Dengar, Annanda!" Ayahnya menggebrak meja hingga suara debuman menggaung di dinding-dinding ruang tengah. "Kamu yang mengemudi. Kamu yang menabrakkan mobil itu. Kamu yang menyebabkan ini. Saat ini, ingatanmu sedang kacau sehingga kamu tidak merasa pernah melakukan itu. Tetapi kamu lah yang melakukannya. Paham?" "Tetapi..." Kinanda merasa suaranya bergetar. "Bukan aku yang melakukan itu. Kakak yang mengemudi! Aku duduk di kursi penumpang bersama ibu! Aku..." "Ingatanmu rusak karena kecelakaan itu, mengerti?" tekan ayahnya. "Ayah menjebakku." Gadis itu menatap nanar kedua orang di depannya. "Kalian berdua menjebakku." "Tidak ada yang menjebak siapa-siapa disini," ucap ayahnya datar. "Siapkan barang-barangmu. Akan ad
Baca selengkapnya
Tangan yang Berlumur Darah
Arion mengetuk pintu kamar Annanda, berniat memanggilnya untuk makan malam. Ia memang membenci gadis kecil itu. Namun, bahkan untuk ukuran Arion pun, situasi ini membuat ia merasa telah tidak adil padanya. Membenci Annanda adalah satu hal, melimpahkan semua kesalahannya pada Annanda adalah hal layang sama sekali berbeda. Meski begitu, Arion tidak punya pilihan lain selain melakukan sesuai dengan apa yang ayahnya inginkan. Setidaknya, ia berniat untuk bersikap sedikit baik pada Annanda untuk mengurangi rasa bersalahnya. Namun, anak itu tidak juga menyahut ataupun membukakan pintu tidak peduli seberapa lama Arion. Ia mengerutkan kening. Apa Annanda sudah tidur? Bagaimana kalau di kabur? Arion memutar pintu kamar pelan. Ia ingin memastikan agar sang adik tidak kabur atau semua akan berantakan. Yang menyambutnya adalah gelap. Kamar itu hanya diterangi oleh cahaya bulan purnama yang jatuh lewat jendela yang tirainya diikat. Kamar Annanda ti
Baca selengkapnya
Cinta yang Seperti Hujan
Suara percakapan memenuhi ruang tunggu bandara internasional tempat Arion menanti penerbangan yang akan membawanya ke Dublin. Sebuah kota yang berada di belahan bumi bagian lain. "Terima kasih, Mang," ujar Arion sembari tersenyum pada pria yang rambutnya telah memutih. Mang Tito membalas senyumannya. Wajah keriput supir pribadi keluarganya itu bertambah kerut, namun, matanya memancarkan keramahan dan kearifan yang tidak berubah. "Sama-sama, Den," ucap Mang Tito pelan. Ada setitik kesedihan mewarnai ekspresinya. "Hanya ini yang bisa saya lakukan untuk Den Arion." "Mang Tito ini bicara apa," Arion tertawa kecil. "Mang Tito sudah sangat berjasa pada keluarga saya meskipun keluarga saya seperti itu." Senyum Arion berubah mengejek. "Rasanya, malah lebih setia Mang Tito di rumah itu ketimbang orang-orang lainnya." "Den Arion jangan bicara begitu," tegur Mang Tito lembut. "Nyonya udah nggak ada. Sekarang Bapak cuma punya Mas Arion sama Non An
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
345678
DMCA.com Protection Status