Semua Bab Berpisah Untuk Bersatu: Bab 101 - Bab 110
113 Bab
Mama dan Mommy Elora
Mereka berdiri di depan pintu dengan sikap sopan, ramah dan hangat yang khas. Letih yang sempat kulihat, tertutup sempurna oleh pancaran bahagia dari sinar mata. Baik Ema maupun Mas Wangi sama-sama memberikan senyum manis, tulus. "Ema, Mas Wangi?" aku lebih dari terpekik, tentu saja. Kupikir mereka bercanda di grup chat tiga malam yang lalu, serius Tetapi kenyataannya, justru memberikan kejutan besar. Super besar. "Kupikir kalian halu, hahahaha … Sorry, sorry. Just kidding!"Mas Wangi ikut tertawa sebentar, sementara Ema langsung menubruk dan memelukku. Saat itulah air matanya tumpah ruah. Aku yakin, rongga dadanya sedang terisi sejuta lautan lengkap dengan gelombang pasang dan badainya. Bergemuruh. "Ema tenang, tenang …!" Mas Wangi mengusap-usap sayang punggungnya. "All be fine, Ema. Do you trust me?""Ya, Ema." hati-hati, aku melepaskan pelukan. "Kamu yang tenang ya, semua baik-baik saja, kok." Ema melekatkan pandangan kepadaku. Tak percaya rasanya kalau dia pernah mengalami ga
Baca selengkapnya
Pengkhianatan Terbesar
"Apa?" terus terang aku tak mampu menahan rasa terkejut. Syok, lebih tepatnya ketika Ajeng dengan ekspresi remuk membeberkan tentang kehamilannya. Bukan, dia bukan hamil dengan suaminya, tentu saja. Tahukah kalian, hasil berhubungan badan dengan siapakah janin yang dikandungnya itu? Ini pahit, sangat pahit tetapi aku harus berani untuk mengakuinya, bukan? Mas Tyas. Ya, dialah yang telah menghamili Ajeng dan itu terjadi justru setelah aku pulang, bukan waktu masih di Germany. Halo, apakah mereka sudah gila? Jelas, menurutku. Jika tidak, mana mungkin bisa melakukan hal yang tak bermoral seperti itu? OK, fine! Antara aku dan Mas Tyas memang sudah tidak ada hubungan apa-apa. Bukan masalahku dia mau berbuat apa pun di dunia ini tetapi Ajeng, dia sahabat dekatku! Tega sekali berkhianat? Hahahaha … Bukan, bukan! Ajeng tidak berkhianat, karena kami sudah berpisah. Itu perbuatan yang sangat mulia, mungkin. Oh, jelas mulia di mata iblis. "Jadi, yang kamu ceritakan beberapa bulan yang lalu
Baca selengkapnya
Istana Baru
"Wow, Mama!" hampir serentak anak-anak mengungkapkan rasa kagum, takjub. Kami baru saja sampai di rumah baru. Rumah idaman."Bagus banget, Mama!" Langit berucap lirih. Dari getaran suaranya aku tahu, dia sangat terharu. "Masya Allah, Alhamdulillah. Terima kasih, Mama." Sungguh, tak mampu berkata-kata. Kerongkongan tersumbat oleh tangis haru, bahagia dan syukur. Masih tak percaya rasanya, rumah yang selama ini terbangun dalam mimpi-mimpi dapat terwujud nyata. Benar ternyata, di balik sesuatu yang buruk, pasti ada sesuatu yang baik. Apa yang buruk di mata manusia, belum tentu buruk di hadapan Allah. Setelah bertubi-tubi mendapatkan rasa sakit, akhirnya keindahan inilah yang kami dapatkan. Anugerah agung yang tak mungkin kami nafikan."Sama-sama, Mas Langit. Ini semua karena kebaikan dan kasih sayang Allah. Mama hanya menjalankan apa yang sudah menjadi skenario-Nya. Terima kasih juga ya Sayang, karena sudah berjuang bersama selama ini?"Langit tersenyum simpul, matanya tergenang air ben
Baca selengkapnya
Merendah Bukan Berarti Rendah
Terkejut, canggung, tak percaya dan entah bagaimana lagi mimik wajahnya, Limas turun dari mobil pick up. Dari senyumnya yang tipis dan miring aku tahu, dia tak terima dengan kenyataan ini. Maksudku, kenyataan bahwa kakak semata wayangnya yang bodoh dan lemah ini bisa membangun rumah baru. Rumah yang lebih baik dari rumah yang pernah aku miliki sebelumnya. "Oh, ini rumah kalian?" tanya Limas dengan nada merendahkan. Didukung dengan gesture tubuh, sempurnalah sudah penghinaannya. "Bagus, biar nggak kelamaan di rumah kontrakan. Memalukan." Ha, apa? Memalukan, katanya? Oh, jadi, semua orang di luar sana yang hidup di rumah kontrakan itu memalukan? Picik sekali pemikirannya? Apa karena selama ini belum pernah mengalami yang namanya tinggal di rumah kontrakan? Apa karena selama ini tahunya hidup enak saja, mendapatkan fasilitas penuh dan serba ada dari orangtua? Oh, jelas dia harus mengalami sendiri, bagaimana rasanya tinggal di rumah kontrakan? Bagaimana rasanya menabung sedikit demi s
Baca selengkapnya
Hambar
"Ibu …!"Walau sudah berpisah dengan Mas Tyas, aku tak pernah berubah. Sama seperti dulu waktu masih menjadi anak menantu, menyambut dengan sopan lalu bersalaman. Tidak hanya mengecup punggung tangan, aku juga mencium kedua pipinya. "Alhamdulillah, Ayunng senang Ibu bisa datang." ungkapku jujur dan apa adanya ketika Ibu merengkuh tubuh ini ke dalam pelukannya. "Ibu sehat kan, Bu?""Sehat Yung, Alhamdulillah." lembut, Ibu melepaskanku dari pelukannya. "Ibu juga senang bisa datang ke sini. Selamat ya Yung, sudah punya rumah baru? Ibu doakan semoga diberkahi Allah semuanya.""Aamiin. Makasih banyak, Bu." Ibu menyimpulkan senyum tulus. Mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang tamu yang sejak sore tadi sudah berubah menjadi taman bunga. Hehe. Anak-anak yang memilih tema dekornya. Beberapa ikat balon warni menghiasi sudut-sudut ruangan. Ada juga yang tergantung di langit-langit berplafon putih melati. Konsepnya memang sederhana tetapi terlihat manis dan hangat. Indah."Sama-sama, Ayung."
Baca selengkapnya
Drama Tangisan Mas Tyas
Mas Tyas juga datang? Wah, ini baru bencana! Sejujur-jujurnya kukatakan, tak ingin ada dia malam ini dan selanjutnya. Jangan ada Mas Tyas lagi, karena dia hanyalah selembar masa lalu. Masa lalu yang sangat menyakitkan! "Iya, Mas Bumi?"Bumi mengangguk. "Iya, Mama. Kayaknya, kalau aku nggak salah lihat, Ayah bawa buket bunga mawar putih, Ma." Ha, apa? Ck, Mas Tyas pasti sudah terjangkit skizofrenia. Tak bisa lagi membedakan antara khayalan dan kenyataan. Jelas-jelas kami sudah bukan siapa-siapa lagi, kan? "Mama mau temui Ayah?" pertanyaan polos sekaligus tulus dari Bumi mendobrak kesadaranku. "Mau apa nggak, Ma?"Terlambat. Semuanya sudah terlambat. Aku tak sempat lagi menghindar karena Mas Tyas sudah masuk ke ruang keluarga ini, bersama Ibu. Itu terlalu lancang bagiku tetapi sayang, tak bisa berbuat apa-apa lagi. Hanya bisa berdiri hampa."Selamat ya, Yung?" suara Mas Tyas terdengar gemetar. Entah karena efek dingin dari air conditioner atau karena efek lain salam dirinya. "Maaf,
Baca selengkapnya
Berdarah Lagi
"Waduh, waduh yang punya rumah baru sampai cuek bebek sama keluarganya!" seloroh Mamak sambil mengulurkan tangan, menyalamiku. "Tapi kayaknya kami nggak bisa nginep, Yung. Adikmu lagi sibuk banget, banyak kerjaan. Besok malah Mamak nggak ada yang nganterin pulang."Aku merasa, otakku sudah berhenti berputar saat ini, sehingga hanya bisa diam tercenung. Oh, pasti aku terlihat sangat bodoh, sekarang. Bodoh dan lemah, tak punya harga diri. "Lah, kan, Mama bisa nganterin Mbah Mamak pulang?" pertanyaan sekaligus pernyataan Laut memulihkan separuh kekuatanku yang tadi hilang entah ke mana. Separuh lagi, berasal dari Bumi, Langit dan Lova yang tiba-tiba mengerubungi kami. Senyum tulus, sorot mata teduh mereka menyemai rasa tenteram dalam hati. "Sekalian jalan-jalan. Iya kan, Mama?"Reflek, aku mengangguk. Menyuguhkan senyum tulus. Biarlah Mamak atau siapa pun bersikap semau mereka tetapi aku tak boleh goyah. Maksudku, meskipun harus mengorbankan diri sendiri, jangan sampai balas menyakiti.
Baca selengkapnya
Memilih Sembuh
Sebenarnya apa salahku? Pada Mamak, Bapak dan Limas, maksudku sehingga mereka begitu membenciku. Karena menikah darurat dengan Mas Tyas? Karena gagal menjadi Sarjana? Karena akhirnya berpisah dengan Mas Tyas yang berarti kegagalan paling besar bagi mereka? Seharusnya mereka tahu tanpa disalahkan, dibenci dan dihakimi pun aku sudah remuk bubuk. Lumat oleh penyesalan dan perasaan bersalah yang begitu besar, tak tergambarkan. Jelas mereka tidak melihat itu, kan? Jelas, jelas! "Kalau aku jadi kamu ya Mbak, sesakit apa pun nggak akan pernah pisah. Ya ampun, itu kan nyakitin banget buat anak-anak, Mbak. Kasihan juga kan, status mereka jadi anak-anak broken home? Lagian, kenapa dulu kalian pacaran sampai ngawur gitu, coba? Sudah buat malu orangtua eh ujung-ujungnya pisah! Heran deh Mbak, sama kamu!" itu yang dikatakan Limas melalui saluran telepon yang super buruk saat tahu aku sudah berpisah dengan Mas Tyas. Seakan-akan dia yang bertanggung jawab atas hidupku selama ini saja! "Ya,
Baca selengkapnya
Atas Nama Empati
Apakah ini yang disebut dengan penghalang kebahagiaan? Aku tidak tahu! Setelah menyadari apa yang telah terjadi, aku memilih untuk menyebutnya dengan challenge. Tantangan kemanusiaan. Bagaimana tidak? Kami sudah sampai di samping pintu mobil ketika tiba-tiba air ketuban Ajeng pecah. Byok …! Seperti itulah bunyinya, menciptakan panik. Anehnya, aku hanya bisa tertegun hingga beberapa detik lamanya saat cairan seperti putih telur itu membasahi punggung kaki Ajeng."Yung, aku nggak tahan lagi, Yung!" rintih Ajeng sambil merapatkan rahang. "Bayinya sudah mau lahir, Yung!""Ha, apa?" reflek, aku merespon dan tidak menyesal sedikit pun walau mungkin terkesan bodoh. "Jangan bercanda deh Jeng, sudah mau lahir gimana?"Terengah-engah, Ajeng berusaha memberikan penjelasan. "Serius, Yung. Hah, hah, haaahhh …!" Ajeng mencengkeram pintu mobil, mendobrak kesadaranku."Oke, oke!" kataku berusaha meredam panik. "Oke, tahan sebentar. Tahan sebentar ya, Jeng?" Gemetar, aku merogoh ke dalam saku gami
Baca selengkapnya
Ziarah Cinta Pertama
"Yuk, turun, anak-anak!" kataku sambil menepikan mobil di perempatan jalan kecil menuju makam Bapak. "Kita parkir di sini saja ya, takutnya Mama nggak bisa atret nanti?"Tanpa berkata-kata, anak-anak mengikuti ajakanku. Langit yang duduk si sebelahku, segera turun sambil menggendong Lova. "Bunganya sudah aku bawa turun, Ma!" lapor Bumi setengah berteriak. "Eh, Mas Laut, tolong bawa air mineralnya!'Kudengar, dengan penuh semangat Laut menyahut, "Siap, Bos!"Entah bagaimana, aku tertawa lirih. Menertawai diri sendiri, Mungkin? Why? Karena belum sempat membahagiakan Bapak semasa hidup. Bahkan, ketika Bapak meninggal dunia pun aku masih dalam keadaan susah. Bukan susah secara ekonomi, tetapi kritisnya hubungan dengan Mas Tyas. Kami sudah benar-benar tenggang, waktu itu, sudah pisah ranjang. Seperti itulah, keadaannya sampai-sampai Mamak dan Limas menghakimi. Bapak terkena serangan jantung karena stressed memikirkan aku. Padahal aku sama sekali tidak memberi tahu Bapak perihal rumah tan
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
789101112
DMCA.com Protection Status