All Chapters of Berpisah Untuk Bersatu: Chapter 91 - Chapter 100
113 Chapters
Membangun Surga Bersama
"Mama, ayo kita pulang, Mama?" Langit menarik pergelangan tanganku. "Kita pulang Mama … Usah risau, ada Mas Langit yang menemani Mama. Mas Langit akan selalu ada untuk Mama. Mana yang sakit Mama, mana yang sakit? Sini, biar Mas Langit obati?" Dengan air mata meleleh di wajah yang mulai berubah menjadi merah darah, Langit memperhatikan bekas tamparan Mamak di kedua pipiku. "Memar Mama, berdarah." Diam. Hanya itu yang mampu aku lakukan sekarang. Ah, bukan hanya sekarang sebenarnya. Seperti inilah aku di hadapan Mamak, Bapak dan Limas sedari dulu. Sejak masih kanak-kanak dulu. Diam, diam dan diam. Menahan segala sesak, pedih, sakit, kecewa dan amarah di rongga dada. Tanpa air mata karena ia hanya aku izinkan menetes ketika sendiri, di kamar yang gelap. "Sini Mama, Mas Langit tiup …?" lembut, hati-hati Langit memegang wajahku, meniup semua bekas tamparan Mama. Air matanya kian deras mengalir. "Kita pulang ya Mama, kita sembuhkan luka Mama di ru---""Orang baru datang kok, sudah mau pul
Read more
Kisah Cinta dan Luka-luka
Tok, tok, tok! "Mas Langit?" sedikit ragu tetapi tak mampu mencegah diri untuk tak memanggilnya. Lampu kamar masih terang, itu artinya belum tidur. "Mas Langit?" panggilku lagi dengan perasaan yang semakin tak menentu. Kepada siapa lagi aku berbagi rasa? Laut dan adik-adiknya sudah tidur. Itulah mengapa memberanikan diri untuk menemui Langit di sini. Bukan, bukan berarti takut atau bagaimana. Aku merasa belum saatnya mereka tahu masalah ini, masih terlalu hijau. "Ya, Mama?" syukurlah, tak lama setelah itu, Langit membukakan pintu untukku. "Masuk yuk, Mama?" Aku mengikuti Langit, duduk di tepi tempat tidur. "Maaf lama, Mas Langit baru menyelesaikan sedikit PR tadi, Mama. Tinggal seperempat nomor pagi." Aku mengangguk, mengerti. "Nggak apa, Le." "Ada apa Ma, ada masalah apa?" Langit memperhatikan wajahku. "Apa yang Mama pikirkan?" "Ayah." jujur, to the point aku menjawab. Entah mengapa Langit malah tertawa kecil. Memandangku dengan kulit wajah bersemu merah. "Mama, Mama … Suda
Read more
Tak Ingin Terjatuh Lagi
Trauma ini begitu nyata, kurasa. Meskipun Mas Tyas bersimpuh memohon di kakiku sebanyak seribu kali atau lebih dari itu, mustahil menerimanya. Jiwa raga dan seluruh cinta sudah kucurahkan kepadanya namun apa yang dia berikan kepadaku? Dusta. Bodoh sekali bukan kalau sampai menjatuhkan diri kembali di jurang curam hatinya? Tidak, tidak! Bahkan ketika Mas Tyas mengatasnamakan Ibu pun aku takkan mudah mempercayainya. Lebih tepatnya tetap akan teguh pendirian. Toh, hubunganku dengan Ibu baik-baik saja. Apa masalahnya? Sampai kapan pun Ibu tetap akan menjadi ibuku, takkan ada yang berubah. "Maaf, Mas Tyas …!" lega sekali rasanya karena bisa mengucapkan kalimat penolakan itu dengan tegas. "Saya tidak bisa. Permisi, anak-anak menunggu saya di rumah." Siapa sangka kalau akan sedramatis ini kejadiannya? Bukannya menjauhkan diri dariku atau bagaimana, Mas Tyas justru memeluk kakiku, menciumnya berkali-kali. Memohon supaya aku kembali. Katanya, "Ampuni aku, Yung. Aku sadar, aku yang salah. A
Read more
Berpisah Tanpa Dendam
"Maaf, Bu …!" hanya itu yang bisa kuucapkan. Rasanya kerongkongan ini tersumpal oleh sesuatu yang begitu berat dan pekat. Lebih menyakitkan dari pada influenza.Pengecut sekali Mas Tyas, melibatkan Ibu dalam masalah ini. Apa, apa itu namanya kalau bukan pengecut? Berani berbuat tidak berani bertanggung jawab. Tidak berani menghadapi semua masalah ini sendiri. "Ayung … Maafkan Ibu!" "Ya, Bu. Lagi pula, Ibu nggak ada salah sama Ayung. Ayunglah yang seharusnya minta maaf sama Ibu. Maaf, karena nggak bisa memenuhi permintaan Ibu." Aku mendengar Ibu menghela napas panjang. "Ya, Ibu ngerti, Yung. Bukan perkara mudah untuk kamu bisa kembali bersama Tyas. Masih sakit banget pasti."Di sini aku diam. Mencoba mencerna kata-kata Ibu, satu per satu. Memang tak mudah dan masih sangat sakit. Walaupun sebenarnya rasa cinta itu masih ada tetapi tak mau mengulangi kesalahan yang sama. Bagiku, menikah dan hidup bersama Mas Tyas adalah kesalahan yang paling fatal. Mengorbankan segala-galanya dalam di
Read more
Jangan Menuruti Emosi Sesaat
"Karena bagaimanapun, Ayah pernah menjadi orang yang paling penting dalam hidup Mama." aku memilih untuk menjawab dengan jujur dan apa adanya. "Lagi pula, seperti apa pun Ayah adalah ayah kalian. Sampai akhir zaman pun nanti Ayah tetap ayah kalian, kan?" Laut menunduk dalam-dalam, pandangannya lurus terhujam ke lantai ruang keluarga yang wangi bunga lavender. "Satu lagi Mas Laut, kita nggak boleh membalas kejahatan dengan kejahatan, kan? Apa bedanya kita dengan Ayah kalau seperti itu?"Jujur ya jujur, aku merasa munafik saat ini. Bagaimana bisa berkata semanis itu sedangkan dalam hati terasa lebih dari pahit? Oh, benar-benar kemunafikan yang menyiksa!Ugh!Kenapa sih, Mas Tyas harus sejahat itu? "Tapi ini bukan berarti Mama mau balikan lagi sama Ayah kan, Ma?"Pertanyaan Laut sungguh keras menghantam ulu hati. Menyakitkan, menyesakkan. Bukan, bukan karena aku ingin kembali kepada Mas Tyas, tentu saja. Berarti Lautlah yang paling terluka di sini, dengan kandasnya rumah tangga kami.
Read more
Ambil Keputusan Terbaik
Kalau tidak meleset dari target, tiga bulan lagi, rumah baru kami sudah bisa ditempati. Itu artinya aku harus segera menemui pemilik rumah kontrakan. Selain silaturahmi juga memberitahu perihal pemberhentian kontrak. Mungkin ini hal kecil tetapi sangat penting bagiku. Lagi pula, tidak ada salahnya kan, bersikap baik dan menghormati? Toh, semua itu akan kembali kepadaku juga. Ibarat menanam benih bayam, aku juga yang kelak akan memanen."Mas Langit, Mas Laut!" panggilku setengah berseru dari teras. "Tolong ke sini sebentar, Le." Tak sampai satu menit, dua anak shalih penyejuk pandangan itu muncul di hadapanku dengan masing-masing ponsel di tangan. Bukan, mereka bukannya sibuk memandang layar ponsel atau bagaimana. Aku bersyukur walaupun ada beberapa game unduhan di ponsel tetapi mereka masih bisa membagi waktu dengan keluarga dan hal-hal penting lainnya. Sekolah, mengaji, berkeluarga dan bersosial tetapi lucu saja rasanya melihat mereka yang selalu siaga untukku. Lucu sekaligus bangga
Read more
Isteri Siri Mas Tyas
Bagaimana awalnya aku tidak terlalu ingat, samar-samar. Akhirnya anak-anak mau bersalaman dengan Mas Tyas. Bukan hanya itu, mereka juga saling memeluk meskipun hanya sebentar lalu yang kulihat tiba-tiba Ratna datang, sendiri. Secepat kilat dia menyambar tangan Mas Tyas, melewati Ibu mengajaknya pergi, tanpa secuil kecil kata pun terlontar dari mulutnya. Sementara itu Mas Tyas bergeming. Mematung kayu di tempat duduknya, membisu. "Ayo Mas Tyas, kita pergi dari sini!" ajak Ratna dengan kemarahan berkilat-kilat di matanya. "Kamu harus bayar semua perbuatan kamu, Mas. Kamu harus tepat janji kamu. Jangan kamu pikir aku akan diam ya, Mas? Jangan kamu pikir aku bodoh!" Ratna terus memaksa Mas Tyas untuk bangkit, pergi bersamanya. "Mas Tyas … Jadi, ini yang kamu maksud dulu itu, Mas? Katanya aku adalah segala-galanya buat kamu? Aku adalah harta yang paling berharga … Hahahaha … Tapi mana buktinya, Mas? Hemh, jelas aku paling berharga, karena semua hartaku sudah kamu kuras sampai tak bersis
Read more
Masa Depan Yang Suci
"Kamu nggak masuk dulu, Yung?" Ibu memandang tulus, penuh kasih sayang. "Mau, Ibu buatkan teh lemon kayu manis? Kamu pasti kedinginan, kan?" Itu benar tetapi bukan berarti aku akan masuk, minum teh seperti yang dimaksud Ibu tadi. Anak-anak di rumah sendirian, tak seorang pun aku ajak mengantarkan Ibu pulang. Mereka sudah terlalu lelah hari ini, dengan semua peristiwa yang terjadi. Insiden kedatangan Ratna, Ibu yang nyaris pingsan di kamar mandi karena tiba-tiba asmanya kambuh, Lova yang jari kelingkingnya tercepit pintu sampai lecet dan akhirnya bengkak … Semuanya, termasuk Dik Bekti, adik bungsu Mas Tyas yang tinggal di Bali menelepon aku dan marah-marah tidak jelas. Jadi, intinya, Dik Bekti berpikir akulah yang sudah menjemput Ibu ke rumah, bukan sebaliknya. Marahnya, karena Ibu baru saja sembuh, baru pulang dari rumah sakit. OK, fine. Tidak terlalu penting memang tetapi jelas anak-anak dengar dia mengamuk di telepon dan tidak terima. Rumit memang jika berhadapan dengan orang yan
Read more
Hantu Mas Tyas
Dug, dug, dug!Sekeras itulah bunyi detak jantungku, menciptakan banjir keringat dingin di sekujur tubuh. Waktu itu, sembilan belas tahun yang lalu, aku baru saja melakukan tes kehamilan di kamar mandi. Sudah dua minggu terlambat datang bulan dan ternyata hasilnya positif. Dua garis merah muncul dengan jelas dari dalam test pack. "Aku hamil?" aku terpekik, ternganga. Sungguh tak tahu harus sedih atau bahagia. Menikah dengan Mas Tyas adalah sebuah paksaan yang tak mampu aku hindari barang satu inci pun. "Aku hamil? Ya Allah …!"Tanpa ragu lagi ditambah perasaan yang tak semakin tak menentu, aku segera memberi tahu Mas Tyas. Bayi ini darah dagingnya, kepada siapa lagi aku harus meminta pertanggungjawaban? Kepada siapa lagi harus meminta perlindungan? Ah! Mungkin seperti inilah efek dari pernikahan paksa yang telah menimpaku? Bahkan di saat mendapatkan kado terindah dari Tuhan pun malah bingung harus bagaimana. Bingung, takut bukannya bersyukur lalu menari-nari indah seperti isteri-i
Read more
Slide Menyakitkan
Benar, Langit sudah menunggu di teras sewaktu aku sampai di rumah. Terlihat lelah, letih tetapi berusaha untuk tersenyum optimis begitu aku turun dari mobil dan mendekat. "Alhamdulillah, Mama sudah pulang. Mama beneran nggak apa-apa kan, Ma?""Mama nggak apa-apa kok, Mas Langit. Yuk, masuk, yuk? Dingin banget di luar." ajakku sambil mendahului masuk ke ruang tamu.Tanpa berkata-kata, Langit mengikuti. Menutup pintu, menguncinya. "Tadi Baby Elora sempat rewel lho, Mama. Nyariin Mama." terang Langit polos setelah kami duduk berhadapan. "Mas Langit gendong sebentar tadi, sambil Mas Langit kasih tahu kalau Mama pergi nganter Uti pulang sebentar. Mas Langit ayun-ayun kan, Mama eh Alhamdulillah, tidur lagi. Hehehehe … Semakin ke sini, Baby Elora semakin lucu ya, Mama? Gemes deh, pingin cubit pipi tembemnya. Hehehehe …!""Iya, Baby Elora memang lucu banget. Mama saja suka gemes, apalagi Mas Langit?" Tawa kami pecah begitu saja. Beruntung, tak seorang pun terusik dan terjaga oleh karena
Read more
PREV
1
...
789101112
DMCA.com Protection Status