All Chapters of Perfect Secret: Chapter 11 - Chapter 20
45 Chapters
11. Perasaan Aneh
Hari minggu kali ini tidak digunakan Arfan untuk beristirahat seperti biasa. Di pagi hari, Nadia sudah berada di rumahnya untuk membicarakan masalah perusahaan. Sebagai sekretaris, Nadia termasuk orang yang cakap dan tanggap. Tak salah Pak Surya mempekerjakan wanita itu.   Meja makan menjadi tempat mereka bekerja pagi ini. Dengan ditemani sarapan sederhana dan potongan buah, mereka tampak lebih santai dari pada di kantor. Arfan sendiri masih fokus pada Ipad-nya.   "Saya sudah pesan tiket pesawat untuk besok, Pak."   "Untuk Pak Johan?" tanya Arfan memakan mangganya.   "Sudah juga, tapi Pak Johan minta berangkat sore, Pak."   Arfan mengangguk pelan, "Nggak masalah selama dia sudah ada di Bali besok lusa."   "Aman, Pak."   "Oke, kita sarapan dulu," ucap Arfan.   Nadia tersenyum dan menyingkirkan laptop serta map-map yang
Read more
12. Hari Tenang
Suara musik yang terdengar keras di ruang tengah membuat tubuh Kia tak berhenti untuk bergerak. Di tangannya ada sapu yang ia gunakan untuk menyapu ruang tengah. Mbok Sum hanya bisa menggeleng melihat tingkah Kia dari dapur. Untuk pertama kalinya gadis itu kembali bertingkah bebas.   Bukan tanpa alasan Kia menjadi seperti ini. Saat bangun tidur dia mendapat kabar dari Mbok Sum jika Arfan sudah berangkat ke Bali untuk urusan pekerjaan. Tentu Kia sangat senang mendengar itu. Kesenangannya bertambah berkali-kali lipat saat Arfan juga memberikan uang saku yang cukup banyak.   "Nanti malem Mbok Sum nggak usah masak ya?" Kia berjalan memasuki dapur.   "Kenapa, Mbak?"   "Kita pesen makan aja, aku yang traktir." Kia menaik-turunkan alisnya.   "Siap, Mbak! Mbok mau sambel jengkol." Mbok Sum juga ikut bersemangat.   "Oke, habis ini aku mandi terus keluar." &nbs
Read more
13. Kenapa Ya?
Hari ini adalah tepat sepuluh hari Arfan berada di Bali. Urusan pekerjaan yang awalnya hanya berlangsung lima hari harus mundur karena banyaknya urusan yang harus diselesaikan. Arfan yang kebetulan berada di sana memilih untuk turun tangan langsung menyelesaikan semua.   Selama lima hari pula, Arfan terlihat sangat sibuk. Bahkan waktu tidurnya berkurang menjadi empat jam dalam sehari. Kesibukkan itu juga yang membuatnya tidak menghubungi Kia akhir-akhir ini. Kali ini bukan sengaja, tapi dia benar-benar sibuk. Bahkan Mbok Sum sendiri yang berinisiatif memberikan kabar rumah tanpa ia minta.   "Pak, saya sudah pesan kopi." Nadia datang dan duduk di salah satu kursi.   Arfan hanya mengangguk, masih fokus pada kertas di tangannya, "Terima kasih."   "Pak Arfan nggak capek?" tanya Nadia.   Lagi-lagi setelah pulang dari rapat bukannya beristirahat mereka malah kembali berdiskusi. Jam sud
Read more
14. Kabar Buruk
Keadaan bandara terlihat cukup ramai. Kia memilih untuk menunggu di dalam mobil, sedangkan Pak Tomo yang akan menyusul Arfan ke dalam. Kia masih malas untuk bertemu pria itu. Entah kenapa rasa kesal itu begitu nyata, dia tidak tahu kenapa.   Dari jauh, Kia bisa melihat Arfan keluar dari bandara. Dengan berbalut jas berwarna abu-abu, Arfan tampak santai berjalan dengan koper di tangannya. Melihat gaya pria itu, Kia mencibir tidak suka.   "Liat wajahnya, nggak ada rasa bersalah sama sekali," gumamnya.   Kia masih belum sadar jika rasa kesalnya sangat tidak beralasan.   Arfan tidak sendiri kali ini. Di belakangnya ada Pak Tomo dan Nadia. Alis Kia terangkat, Nadia tidak langsung pulang?   Pintu belakang terbuka dan Arfan masuk dengan santainya. Dia melirik Kia dan tersenyum tipis. Tangan kanannya terangkat dan menepuk kepala gadis itu pelan.   "Gimana kabar kamu?
Read more
15. Kampung Halaman
Duduk tenang di salah satu sofa kamar VIP rumah sakit menjadi pilihan Kia saat ini. Baru dua jam yang lalu ia dan Arfan tiba dan mereka langsung bergegas ke rumah sakit. Beruntung ayah Arfan sudah melewati masa kritisnya. Selama perjalanan, Arfan tidak berbicara dan tidak tidur. Namun Kia tahu jika pria itu sedang berdoa karena menggumamkan sesuatu.   Sekarang Kia mulai mengetahui keluarga Arfan. Orang tua pria itu masih lengkap dan tinggal di kampung halaman. Sebagai anak tunggal, Arfan bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Selain sudah berumur, penyakit ayahnya yang membuat Arfan harus lebih giat bekerja. Untung saja pria itu pintar sehingga mendapatkan pekerjaan yang baik dan layak.   Pintu kamar terbuka dan muncul wanita paruh baya yang Kia kenal sebagai Ibu Arfan. Wanita itu masuk dengan kantung plastik di tangannya. Ibu Arfan menghampiri Kia dan tersenyum manis.   "Nak Kia pasti laper ya? Ini Ibuk bel
Read more
16. Kembang Desa
Di ruang tengah, Arfan dan Kia tampak tengah sarapan bersama. Gadis itu sudah mandi dengan rambutnya yang masih basah. Bahkan ia terlalu malas untuk menggosoknya dengan handuk. Arfan dengan sifat perfeksionisnya sedikit risih dengan tingkah Kia. Namun dia tidak mau memulai hari dengan pertengkaran.  "Manis banget," gumam Kia setelah menghabiskan dua jagung rebus. Arfan memelankan kunyahannya saat tangan Kia kembali terulur untuk mengambil jagung ke-tiga. Bahkan Arfan masih memakan satu jagungnya sedari tadi.  "Kamu laper?" tanya Arfan.  Kia mengangguk tanpa bersuara. Dia tersenyum sambil memperlihatkan pipinya yang mengembang karena penuh dengan makanan.  "Makannya pelan-pelan."
Read more
17. Drama Sinetron
Kia duduk di teras rumah Arfan dengan wajah yang kusut. Jam sudah menunjukkan pukul 11 siang, tapi hingga saat ini Kia belum melihat wajah Arfan di manapun. Dia tidak tahu kemana pria itu pergi karena Arfan tidak menggunakan mobil dan meninggalkan ponselnya yang tengah mengisi daya.  Kia memang bangun pukul delapan pagi. Sedikit terlambat tapi bukan berarti Arfan bisa meninggalkannya sendiri seperti ini. Kia hanya tamu di rumah ini dan dia masih takut jika harus ditinggal sendiri.  "Dasar demit, ilang-ilangan mulu." Kia mencibir sambil menggigit jagung rebusnya kesal.  Dia bisa mati kelaparan jika menunggu Arfan. Oleh karena itu Kia mengambil jagung sendiri di kebun dan merebusnya. Sebelum itu dia juga mengecek bahan-bahan yang ada di dapur, yang ia temukan hanya beras dan telur.
Read more
18. Beban Pikiran
Kia melambaikan tangannya pada Gio saat baru keluar dari bandara. Dia tersenyum lebar dan berniat untuk memeluk pria itu, tapi belum sempat itu terjadi Arfan sudah lebih dulu menarik tas ransel yang ia kenakan.  "Mau ngapain?" desisnya tidak suka.  "Lepas kangen lah, lepasin!" Kia berusaha melepaskan tangan Arfan dari tasnya. Sadar jika tidak akan bisa akhirnya Kia melepaskan tasnya dan berlari ke arah Gio. Arfan terkejut melihat itu. Tangannya mengepal saat Kia sudah memeluk Gio, meskipun hanya sebentar tapi ada rasa kesal di hatinya. Kapan Kia sadar jika kontak fisik secara berlebihan bersama lawan jenis itu tidak boleh? Kan cuma pelukan antar sahabat, Fan. Masa nggak boleh? Arfan menggeleng mendengar isi otaknya. Tidak, tentu saja tidak boleh! Kia harus lebih bisa menjaga d
Read more
19. Pergi Selamanya
Malam ini tidak seperti biasanya. Arfan masih terjaga dan tidak bisa menutup mata. Dia selalu mengganti posisi tidurnya agar lebih nyaman tapi rasanya sama, rasa kantuk itu belum tiba. Arfan duduk dan bersandar pada kepala ranjang. Dia mengambil buku dan mulai membaca berharap jika rasa kantuk akan segera menyerangnya.  Baru lima menit, Arfan menutup bukunya kembali. Entah kenapa hatinya menjadi tidak tenang, dia mendadak merasa gelisah. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa dia masih memikirkan Kia dan tidak merelakannya pergi besok? Jika iya, Arfan tidak habis pikir dengan dirinya sendiri. Rasa khawatirnya sangat berlebihan.  Arfan kembali berbaring dan berusaha untuk membuang semua pikiran negatifnya. Dia harus tidur atau besok akan menjadi hari yang buruk karena tubuhnya yang tidak terlalu fit. Sepertinya berhasil karena Arfan mulai memejamkan mata
Read more
20. Sosok Ibu
Setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Meskipun sulit untuk diterima, mau tidak mau hal itu akan terjadi. Kesedihan pasti akan menyelimuti, tapi kehidupan tidak bisa langsung berhenti. Hidup harus tetap berjalan karena masa depan sudah menanti. Kia menghela napas dan meminum teh panasnya pelan. Saat ini dia tengah sendiri di ruang tengah. Setelah pengajian selesai, mendadak semuanya menjadi sepi. Mata Kia mengedar ke segala arah mencoba untuk mengingat kenangan singkat bersama ayah Arfan. Seketika dia menyesal karena hanya bisa datang di saat keadaan sedang tidak baik-baik saja. Arfan berada di luar saat ini bersama para tetangga. Sedangkan Ibu Arfan berada di kamarnya untuk beristirahat. Namun ada Dinda di sana, wanita itu masih berusaha membujuk Ibu Arfan yang tidak mau makan seharian. Wanita itu masih terpukul dengan kepergian suaminya.  Kia menatap pintu kamar Ibu Arfan
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status