All Chapters of Setelah Lima Tahun: Chapter 131 - Chapter 140
158 Chapters
Part 126 Kemarahan Seorang Kakak
 Melinda's POV "Ada apa, Lin?" tanya Arvan yang menghampiriku, saat aku kebingungan di pos satpam rumah sakit. "Aku harus pulang, Van. Puspa sakit. Tapi aku nggak tahu mesti naik apa. Bus di sini hanya sejam sekali lewat. Kata Pak Satpam, lima belas menit yang lalu bus baru lewat. Ini masih nunggu taksi online yang dihubungi Pak Satpam, bisa apa nggak?" "Bang Petra mana?" Aku tidak menjawab. Aku sibuk membalas pesan dari Rama yang bilang kalau Puspa menangis terus mencariku.  Kegelisahan makin bertambah ketika Bang Petra belum kelihatan menyusulku. Kemarahan makin memuncak dalam dada. "Kapan kamu pulang, Van?" "Aku juga mau pulang ini. Ayo, kalau mau bareng." Tanpa menunggu Bang Petra muncul, aku segera mengikuti Arvan menuju mobilnya.  'Bodoh amat. Aku tidak peduli sekarang
Read more
Part 127
 Melinda's POV Aku memandang layar USG di hadapan. Kurang lebih tiga bulan lagi dia akan lahir ke dunia. Dokter Herlina masih menggerakkan tranduser. Kemudian melakukan pemeriksaan Leopold, dia meraba bagian perutku dengan kedua telapak tangan. "Bayimu sehat, kepalanya sudah turun sampai rongga tulang panggul tapi masih di perut. Bulan depan mungkin kepala sudah masuk panggul. Kamu mesti hati-hati. Udah tahu hamil besar gini masih juga mondar-mandir ngurus hal yang nggak jelas. Untungnya kamu nggak apa-apa. Kakimu bengkak karena kamu banyak duduk dan kurang gerak." Aku mendengar omelan Dokter Herlina sambil membenahi baju hamilku. Sebelumnya tadi aku memang cerita kalau habis melakukan perjalanan jauh. "Heran, deh, sama suamimu. Udah cere masih saja segitunya memerhatikan mereka. Iyalah karena anak memang sakit. Tapi ... sudahlah, aku bingung mau ngomong apa." "Ini k
Read more
Part 128 Pasya
 Melinda's POV Setengah jam setelah sampai di klinik, aku melahirkan seorang bayi laki-laki tampan dengan berat 3,3 kg, panjang 50 cm. Kulitnya putih kemerahan, dia mirip Puspa versi cowok.  Mata Bang Petra memerah, menahan tangis sambil menggendong bayi kami. Wajahnya di dekatkan ke wajah putra kami, tapi dia belum berani menciumnya. Setiap kelahiran anak-anak dia adalah orang yang paling penuh drama. Bahagia, terharu, dan seperti ada sesuatu perasaan yang sulit terlukiskan. Mungkin seperti hening pagi yang bisa di rasakan, tapi tidak bisa di raba. Dua orang suster datang hendak memindahkanku ke kamar perawatan. Bang Petra memberikan bayi kami kepada ibu, yang memang datang setelah dikabari aku hendak melahirkan. Namun beliau tadi langsung menuju rumah sakit. Bang Petra mengangkatku untuk dipindahkan ke brankar dorong. Dua perawat membantu mengemas barang dan kami bersama-sama kelu
Read more
Part 129
 Melinda's POV One year later .... Burung Camar melayang-layang di atas buih pantai. Suaranya beradu dengan debur ombak yang menghantam karang. Anak-anak berlarian mengejar ombak dan bermain pasir pantai. Pasya yang berjalannya masih tertatih terkekeh riang sambil melihat Abian, Puspa, dan Vita yang berkejar-kejaran. Hari ini aku mengajak anak-anak berkunjung ke resort yang telah jadi lima puluh persen. Ilham memang bisa di andalkan loyalitas dan kualitas kerjanya. Om Broto tidak salah memilihnya menangani proyek ini. Aku duduk di pasir pantai bersama Vi dan Sekar yang sedang hamil empat bulan. Kami duduk menghadap ke arah matahari terbenam. Embusan angin pantai kami nikmati sambil memandang semburat jingga di langit barat. "Syifa kan liburan sekolah ini. Kenapa nggak dijemput saja di ajak liburan ke sini?" tanyaku pada Vi yang duduk tepat di sam
Read more
Part 130
 Vi Ananda's POV"Sayang, kemeja abu-abu Mas mana, ya?" tanya Mas Ilham berdiri di depan lemari pakaian. Pandangannya menyapu isi lemari. "Belum kusetrika, Mas. Pakai yang lain saja, ya," jawabku sambil mendekatinya setelah meletakkan mangkuk nasi, karena aku sedang menyuapi sarapan Abian. Aku mengambilkan kemeja warna hitam di gantungan lemari satunya. Dan membantunya mengancingkan kemeja. Hari ini dia ada jadwal rapat sama Pak Petra dan bosnya. Mungkin sebentar lagi rombongan mereka sampai di proyek. Mas Ilham mengangkat daguku hendak mencium bibir. Namun aku mengelak. "Jangan, nanti Abian ngelihat," tolakku. Dia tersenyum. "Awas, ya, nanti!"  Mas Ilham melepaskan tangannya yang memegang pinggang. Mengecup kening lantas mendekati anaknya yang sedang bermain. Kami sudah pindah ke kamar yang lebih luas setelah bangunan sudah banyak ya
Read more
Part 131
 Arvan's POV Jam enam pagi aku sudah stand by di depan sekolahnya Rama. Aku dan Ibu hanya menunggu di dalam mobil. Tiga puluh menit kemudian sebuah mobil sedan berhenti di depan sekolahnya Rama. Pertama aku tidak begitu memedulikan. Ketika seorang anak laki-laki keluar dari mobil, aku segera memberitahu ibu. "Itu Rama, Bu." "I-itu, yang berdiri di samping sedan?" tanya Ibu sambil menunjuk mobil yang terparkir tidak jauh dari mobilku. "Iya." "Subhanallah, sudah remaja dia, Van. Itu anakmu?" Aku mengangguk. "Biasanya naik bus sekolah, Bu. Mungkin itu papanya yang mengantar. Tapi biasa pakai Fortuner, bukan mobil sedan." Baru saja selesai bicara, pintu kemudi terbuka. Keluarlah seorang wanita memakai gamis bunga-bunga dan hijab warna putih. Dia Melinda. Wanita itu mengejar dan memanggil Rama sambil menunjukkan botol air yang ter
Read more
Part 132 Perkelahian
 Arvan's POV Aku kehilangan jejak Anggun. Padahal aku yakin dia melewati jalan ini tiap kali pulang dari kantor. Mestinya dia bisa terkejar, tapi tidak kutemukan sosoknya. Apa dia lewat jalan lain? Kalau kuhubungi ponselnya pasti dia akan makin gugup di perjalanan. Akhirnya aku memutuskan untuk langsung menuju ke rumahnya. Aku pernah ke sana ketika takziah dulu. Suasana rumah Anggun cukup ramai. Bapak-bapak duduk di halaman depan. Di kursi yang menyebar di bawah pohon rindang depan rumah. Kaum perempuan duduk di teras rumah dan beberapa orang mondar-mandir untuk mempersiapkan pemakaman. Setelah beberapa saat mengamati aku segera turun dari mobil. Aku tetap santai meski menjadi pusat perhatian. Seorang laki-laki setengah baya mempersilakan aku duduk di kursi teras. Sekilas aku melihat Anggun sudah bersimpuh sambil di rangkul oleh seorang wanita muda. 
Read more
Part 133
 Arvan's POV Dan terjadi juga apa yang aku takutkan. Rama, dia adalah separuh jiwaku yang terpisah. Aku kehilangan sebelum mendapatkan pengakuan. "Bang, kenapa diam saja. Kenapa nggak dilawan," tanya pelayan kafe. "Nggak apa-apa. Memang saya yang salah," jawabku. Aku kembali duduk di kursi yang sudah kembali disusun oleh pelayan kafe. Bibirku pecah mengalihkan darah. "Pak Arvan, kenapa dengan Bapak ini?" Anggun yang tiba-tiba muncul mendekati dengan panik. "Nggak apa-apa." "Kok nggak apa-apa. Bibir Bapak berdarah gitu, lho!" Dia menunjuk bibirku. "Abang ini tadi di hajar oleh seorang laki-laki tinggi besar, Mbak. Tapi dia nggak mau membalasnya." Seorang pelayan menjelaskan pada Anggun. "Aku memang yang salah. Jadi sudahlah, nggak apa-apa." Aku mengambil tisu dan mengelap bibir.
Read more
Part 134 Terkuaknya Rahasia
 Vi Ananda's POV Jarum jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Aku masih duduk bersandar pada kepala ranjang sambil melihat-lihat foto anak-anak di galeri ponsel. Tadi sudah banyak artikel yang kubaca, sampai bosan menunggu. Abian juga tidak terdengar menangis. Dia pasti kelelahan setelah main seharian dan tidak mau tidur siang pula. Capek. Akhirnya aku menarik selimut dan memutuskan untuk tidur. Baru juga memejam, pintu kamar perlahan terbuka. Mas Ilham tersenyum. "Mau tidur, ya?" tanya Mas Ilham sambil melepaskan jaketnya. Aku bangun dan kembali duduk. Mas Ilham mendekat, memberikan ciuman di keningku. Kemudian dia masuk kamar mandi. Saat dia sibuk membersihkan diri, aku bergegas membuka lemari. Mencari lingerie ditumpukkan baju. Belum sempat ketemu, lengan kokoh itu telah melingkar di pinggang. Embusan napasnya di tengkuk menimbulkan denyar seperti biasanya saa
Read more
Part 135
 Melinda's POV Aku segera membersihkan diri dan ganti baju. Kemudian kami melaksanakan Salat Isya berjamaah. Dalam doaku andai rahasia ini terbongkar, aku ingin semua tetap baik-baik saja seperti sebelumnya. Aku tidak ingin Rama berubah. "Sayang, mau cerita apa?" Bang Petra menepuk ruang di sebelahnya, setelah aku selesai melipat mukena. Kami sama-sama bersandar di kepala ranjang. Aku mulai cerita tentang kemarin. Pertemuan Bang Dodi dan Arvan. Kecurigaan Bang Dodi, pengakuan Arvan, perkelahian mereka, dan ancaman Bang Dodi pada Arvan. Lagi-lagi air mataku tak bisa kubendung. Aku terisak. Andai Bang Petra tanya kenapa aku menangis, aku tidak tahu jawabannya. Bagiku semua sangat pedih. Dia merangkul pundakku. Menenangkan dengan tidak berkata apa-apa. Setelah mulai tenang. Bang Petra baru bicara. "Apapun yang terjadi kita hadapi sama-sama." "Ya."
Read more
PREV
1
...
111213141516
DMCA.com Protection Status