All Chapters of Setelah Lima Tahun: Chapter 101 - Chapter 110
158 Chapters
Part 96 Rahasia
 Vi Ananda's POV Dari jendela kaca lantai tujuh Nova Highlands Hotel ini yang kulihat hanya pekatnya malam. Siang tadi kami sampai di Cameron Highlands, tempat liburan yang menampilkan keindahan panorama alam. Kebun teh, sayur, dan buah-buahan. Vila dan penginapan yang menjulang tinggi untuk peristirahatan para wisatawan. Sehabis makan malam dan Salat Isya, aku lelah dan membiarkan tubuhku terlentang di ranjang. Abian juga telah terlelap di box-nya. Sementara Mas Ilham baru keluar dari kamar mandi. "Capek, Sayang?" Dia menutup gorden kamar, melepaskan kaos dan berbaring di sebelahku. "Apa Mas enggak kedinginan melepaskan kaos begitu?" tegurku menahan geram. Pikiranku sudah melayang ke mana-mana. Dia tersenyum sambil menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang menggoda itu. Benar-benar tidak mau rugi Mas Ilham ini. Jangan sampai membuatku istirahat di sepanjang libur
Read more
Part 97
 Melinda's POV Jam sembilan pagi kami sudah menunggu penerbangan pulang ke Indonesia. Dalam boarding pass tertera jadwal penerbangan kami tiga puluh menit lagi. Wajah-wajah lelah tapi sumringah duduk di bangku-bangku besi boarding lounge, ruang tunggu keberangkatan. Mereka bukan rekan-rekan kami. Karena tujuan berbeda maka penerbangan pulang dengan tim liburan pun tidak sama.  Om Broto dan Tante Ros sudah terbang duluan jam tujuh pagi tadi. Pak Alex dan beberapa rekan ikut penerbangan jam sepuluh nanti. Ilham yang mondar-mandir sambil menggendong putranya. Sementara Vi duduk di sebelahku. "Semoga ada kabar gembira setelah liburan kali ini. Kakak tunggu berita kehamilanmu," kataku pada wanita cantik ini. Vi tersenyum sambil memandangku. "Abian masih kecil, Kak. Lagian saya memakai alat kontrasepsi. Enggak mungkin hamil." "Enggak ingin nambah
Read more
Part 98 Butuh Pengakuan
 Petra's POV Exel sangat bahagia saat melihat isi paper bag yang kubawa. Beberapa kaus yang dibelikan Melinda diperhatikan sambil tersenyum. Tadi dalam perjalanan aku juga sempat membelikannya mainan. Dia yang duduk di pangkuanku berdiri lalu berbalik dan memelukku. "Aku kangen, Papa," ucapnya sambil melingkarkan lengan kecilnya di leherku. Kupeluk tubuh kecil itu erat. Bau minyak telon memenuhi penciuman. Wangi dan khas sekali. Winda masih sering membalurkan minyak itu di tubuh Exel sehabis mandi. "Di minum dulu kopinya, Bang." Winda meletakkan secangkir kopi di meja sebelahku. Kebetulan kami duduk di karpet depat TV. Wanita itu berbinar bahagia sejak melihat kedatanganku tadi, meskipun wajahnya agak pucat. Dia berdiri dan pergi. Membiarkan aku bermain dengan Exel, setelah itu terdengar Winda membersihkan tempat tidur dan mengganti seprai. Menyiapkan baju gantiku da
Read more
Part 99
 Petra's POV Bukannya aku meragukan ketulusan Melinda dalam merawat Exel. Dia juga paham bagaimana aku merengkuh Rama, mencintai putra sulungku seperti darah dagingku sendiri. Namun, nyamankah Exel bersama kami. Jauh dari mamanya. Sebab dia akan memulai semuanya setelah dia paham dan cukup tahu bahwa Melinda bukan Mama kandungnya. Sanggupkah dia berpisah dengan Winda? "Bang." "Ya, Sayang." "Rama telah tahu semuanya. Tadi malam dia cerita padaku." Aku terkejut. Kurenggangkan pelukan dan menatap Melinda. "Dia tahu sendiri. Dia sudah dewasa untuk peka terhadap permasalahan orang tuanya." Kukecup kening Melinda, kemudian aku melangkah cepat keluar kamar. Menaiki tangga untuk ke kamar Rama. Kamarnya saja yang ada di lantai dua.  Kudorong pintu perlahan. Remaja kecil yang duduk di bang
Read more
Part 100 Pria Masa Lalu
 Vi Ananda's POVAku menggeliat sebentar di pagi yang dingin. Malas untuk bangun. Kepulangan kami dari liburan sudah berlalu hampir dua Minggu. Mas Ilham hanya istirahat sehari saja kemudian sibuk dengan pekerjaannya.  Dalam waktu lima belas hari ini, sudah berapa kali saja Mas Ilham pergi ke kota untuk meeting. Bertemu supplier, urusan dengan Pak Petra, dan beberapa hal lain. Meski perginya dengan sopir, tetap saja melelahkan. Punya waktu untuk aku dan Abian hanya malam saja. Itu pun dia masuk kamar saat Abian sudah tidur. Kantornya memang dekat, tapi aku tidak akan datang menemuinya kalau jam kerja. Baru kali ini aku melihat secara langsung kesibukannya mengurus kerjaan.  Aku tidak berani menganggunya, meski cuman sekedar curhat tentang kerinduanku pada Syifa. Walaupun diam, aku yakin dia pun merasakan hal yang sama. Sesibuk apapun Mas Ilham tidak pernah mengeluh capek
Read more
Part 101
 Melinda's POV Warna jingga di langit sebelah barat mulai pudar warnanya. Gelap malam kian membayang. Ingin sekali punya teman bicara, tapi balasan pesan dari Vi belum kuterima. Begitu susahnya signal di sana. Kalau tidak repot mengambil rapotnya anak-anak, aku ingin sekali datang menemui Vi, menginap di sana barang semalam saja. Rama mendekatiku yang berdiri di teras samping rumah. "Ma," pangginya sambil menyentuh tanganku. "Kakak, ada apa?" tanyaku. "Besok, setelah pulang ngambil raport. Rama ingin jalan-jalan sama Mama. Berdua saja." Dahiku mengernyit heran mendengar permintaannya. Baru kali ini Rama ingin hanya jalan berdua denganku. Biasanya selalu ramai-ramai dengan adiknya.  "Bisa, 'kan, Ma?" Akhirnya aku mengangguk. "Bisa, Kak." "Aku yakin Mama adalah ibu yang hebat. Mama
Read more
Part 102 Di Persimpangan
 Melinda's POV Dokter Herlina, SpOG. Tulisan dengan huruf warna keemasan itu menempel di pintu ruang praktek dokter kandungan. Dia dokter langgananku sejak aku hamil Vita. Dokter Herlina ini juga teman SMA-ku dulu. Di bangku besi ruang tunggu ini masih ada beberapa orang yang antri periksa. Dua di antaranya sedang hamil besar. Masih dua nomer lagi baru tiba giliranku.  Bang Petra sibuk menerima panggilan telepon dari kantor dan tim kerja. Sepertinya dari Ilham, mereka ada janji bertemu. "Kalau Abang repot, Abang tinggal kembali ke kantor saja. Nanti aku kabari hasilnya," saranku setelah dia selesai menelepon. "Tidak perlu. Setelah ngaterin kamu pulang, baru Abang kembali ke kantor." "Apa Pak Ilham ke mari?" "Pak Ilham tidak ke sini. Dia mengurus keperluan di kota kabupaten." "Oh." 
Read more
Part 103
Melinda's POV Saat sedang tiduran di kamar aku mendengar Vita dan Rama pulang sekolah hampir bebarengan. Aku lega mendengar suara anak lelakiku yang ceria bicara sama adiknya. Berarti Arvan tidak menemuinya. Biasanya kalau ada apa-apa dia langsung menemuiku dan bertanya. Kuraba perut yang masih rata. Hamil? Rasanya masih tidak percaya aku mengandung lagi. Meskipun tiga kali lancar saat melahirkan, tapi memang tidak ada niat mau tambah anak. Mengingat hubunganku dengan Bang Petra yang rumit lima tahun terakhir ini. Tanggungan Bang Petra makin berat sekarang. Dia harus menanggung lima anak dan dua istri. Aku tersenyum getir.  'Semoga kamu kuat, Bang. Dan aku juga sanggup hidup begini demi anak-anak.' Aku mengambil ponsel yang berdering di dalam hand bag di atas nakas. Ada beberapa pesan masuk. Salah satunya dari Vi. Dia membalas pesanku. Akhirnya aku mengabarkan kehamilan ini
Read more
Part 104 Cemburu
 Vi Ananda's POV Setelah turun dari mobil yang di kemudikan Didit, aku berjalan tergesa menuju ruang IGD. Didit dan Sekar yang menggendong Abian berjalan menyusul di belakangku. Sampai di depan pintu kaca, seorang perawat laki-laki menahanku. "Maaf, Ibu ingin menjenguk siapa?" Dia bertanya. "Saya istrinya Pak Ilham yang kemarin pagi kecelakaan tunggal." "Oh, beliau ada di ruang perawatan. Mari saya antar." Aku mengikuti perawat menyusuri lorong rumah sakit. Didit dan Sekar ikut melangkah cepat mengikuti di belakang. Pintu kamar perawatan di dorong oleh perawat tadi. Mas Ilham duduk kursi sebelah brankar, tempat berbaring Nino, sopirnya. Aku menubruknya, sampai dia menjauhkan tangan kanannya yang terbalut perban dariku. Melihatnya bisa duduk dan bercanda dengan sopirnya aku merasa lega. "Mas, enggak apa-apa?" tanyaku.&
Read more
Part 105
 Petra's POV Setelah Exel tidur aku keluar kamar perawatan untuk menelepon Melinda. Untuk memberitahunya kalau malam ini aku tidak bisa pulang. Sebab kemarin malam waktu aku tinggal pulang, Exel menangis mencariku saat terbangun tengah malam.  Diagnosis dokter, Exel terkena typus. Dua kali panggilanku di abaikan. Pesan yang kukirim juga belum ada balasan. Marahkah dia? Dari teras rumah sakit aku menatap malam yang kelam. Rintik hujan turun perlahan. Hawa dingin menyapa tubuhku yang hanya terbalut t-shirt warna hitam. Satu deringan mengalihkan perhatian. Ada balasan dari Melinda. Hanya kata 'iya' sebagai balasan pesan panjang yang kukirimkan. "Nak Petra," suara ibunya Winda memanggilku. Sudah tiga hari ini beliau mengunjungi putri dan cucunya.  Beliau mengajakku duduk dan bicara di bangku besi tidak jauh dari depan k
Read more
PREV
1
...
910111213
...
16
DMCA.com Protection Status