Lahat ng Kabanata ng MENGAPA CINTA MENYAPA: Kabanata 11 - Kabanata 20
137 Kabanata
Laptop
            Pintu teater XXI studio 1 yang akan dimasuki Nurul dan Ditya masih akan dibuka sebentar lagi. Sambil menikmati potongan chocolate bar terakhir yang tadi dibeli di supermarket dalam mall yang sama, Ditya sibuk menguping pembicaraan kekasihnya yang tengah asyik mengobrol dengan seseorang yang ia tahu pastilah Rania.            “Iya, iya, he’eh……. Iya, iyaaa……. Iiiiyaaa, oke, oke, iyaaaa…..”             Ditya baru menyadari bahwa dalam beberapa menit terakhir sepertinya hanya kata ‘iya’ atau ‘he’eh’ atau ‘oke’ itu saja yang keluar dari mulut Nurul. Bagi Ditya yang sudah tiga tahun mengencani gadis berkerudung namun cenderung ‘jil-boob’ di sebelahnya ini, ia mengerti bahwa itu ma
Magbasa pa
Taruhan Pizza
Suara Verdi kembali terdengar. Walau tidak terdengar ketus seperti biasa dan terucap perlahan tapi Rania masih merasa bahwa pria itu lagi-lagi mengusik dirinya."So what? Lagipula aku nggak telat karena boss besar belum dateng." Jawaban Verdi terlontar tak kalah perlahannya. "Aturan main di sini beda. Biarpun boss besar belum dateng tapi kalo jamnya udah lewat kamu tetap dianggap telat. Ada yang nyatet lho, dan itu..." "Kalau memang aku telat, itu bermasalah buatmu?" akibat merasa mulai terintimidasi, Rania kini benar-benar tak bisa membendung kekesalannya. Ia sudah nekad kalau pun harus diomeli ia siap. "Nggak, Ran. Nggak. Itu bermasalah buat di-ri-mu. Sebentar lagi akan ada orang yang nyinyir dengan keterlambatanmu dan itu bisa mempengaruhi penilaian atas kamu. Ingat, kamu tuh masih di probation period." "Aku memang masih di masa percobaan dan rawan dipecat kalau prestasiku
Magbasa pa
Audit
Tak lama, Sanjay Rajha memasuki ruangan rapat. Suasana ramai makin mereda saat melihat kehadiran sang GM. Rapat pun langsung dimulai. Sebuah rapat yang agenda utamanya adalah pembahasan kemungkinan tambahan investasi untuk perluasan kapasitas pabrik, mega order dari Thailand, dikuti dengan presentasi singkat beberapa manajer tentang situasi terkini. Dalam rapat yang baru pertama Rania ikuti ini, ia lebih banyak mendengar dan memperhatikan pendapat dan argumen rekan-rekannya sesama manajer. Pada kesempatan itu secara sekilas ia dapat melihat kualitas rekan-rekannya sesama manajer. Pemikirannya bahwa setiap manajer, terlebih yang bekerja di sebuah perusahaan multi nasional asing, harus super profesional dan canggih nampaknya terpatahkan. Rania tidak percaya akan apa yang ia lihat dan dengar selama berlangsungnya rapat satu setengah jam ini. Rapat yang seharusnya mengambil keputusan strategis untuk kepentingan perusahaan, menurut Rania malah tanpa disadari menjadi
Magbasa pa
Senyum Pria Kebapakan
“Jadi keluhan kalian pada umumnya yang berkaitan dengan kesejahteraan karyawan?”Bagai dikomando, Poltak bersama semua rekan satu departemen yang posisi duduknya mengitari Rania, mengiyakan. “Kalian musti ngomong baik-baik dengan Pak Edwin dan juga Personalia. Sudah?” Rania menyuap spagheti yang membelit garpunya.Kali ini giliran si pendiam, Fira, yang berbicara. “Percuma, bu. Enggak Pak Edwin atau Manajer Personalia, semua cuma mau ngambil keputusan yang mengamankan posisinya sendiri. Pak Edwin nggak pernah jadi jembatan yang menyalurkan aspirasi karyawan ke pihak manajemen. Sebaliknya keputusan dari top management semuanya diakomodir biarpun peraturan nggak aspiratif. Rasa-rasanya karyawan dari semua departemen sudah pernah mengeluhkan berbagai hal. Boro-boro ditindaklanjuti, kalo sampai keluhan kami dijawab saja, baik lewat email atau bicara langsung, itu sudah bagus.”
Magbasa pa
Shall We Begin?
Seluruh yang makan siang sudah kembali ke kantor. Memanfaatkan waktu sepuluhan menit sebelum kembali ke kantor, Rania mengajak Vonny untuk berbicara di smoking area.  Ini dilakukan karena Rania merasa aneh dengan sikap Verdi. Ia tak perduli sebenarnya dan mulai terbiasa dengan sikap abainya. Tapi percakapan dengan Vonny di siang itu yang diisi dengan keduanya merokok, mengubah pandangannya.   "Jadi ceritanya sudah baikan nih?" tanya Vonny dengan suara perlahan sambil memainkan rokok mild di jemarinya. "Baikan dengan siapa?"   Vonny mengulum senyum sambil mengerling ke posisi dimana Verdi tadi berada. Begitu menyadari maksudnya, muka Rania memerah. "No way! Aku betul-betul nggak suka dengan orang ini." "Lantas, kenapa bisa makan bareng doooong?" tanyanya sembari mengepul asap rokok ke udara yang diikuti Rania melakukan yang sama. “Lagian, pake acara plirak-plirik segala.“   Ka
Magbasa pa
Hasil Audit Yang Menjengkelkan
Permintaan Verdi untuk segera memulai pekerjaan langsung disanggupi dan proses audit pun segera dimulai. Verdi memang sangat piawai. Tak berlebihan jabatan Lead Auditor ia sandang. Sesaat setelah ia membaca Prosedur Operasi Standard, ia lalu mengajukan pertanyaan berdasarkan berkas itu. Pertanyaannya begitu rinci dan sangat dalam. Dengan kepandaian Verdi menginvestigasi dan merinci tak urung Rania terjebak dengan jawaban yang dikeluarkannya. Ada cukup banyak pertanyaan mengenai pelaksanaan prosedur yang dapat dijawab secara benar berikut penunjukan bukti-bukti berupa surat atau dokumen. Tapi satu-dua diantaranya memang begitu sulit dijawab sehingga membuat Rania tak urung harus mengakui bahwa terjadi kesalahan prosedural dalam departemennya. "Gila, kamu teliti banget.""Aku bukan cuma Internal Auditor. Aku juga memimpin. Lead Auditor, remember?"Rania menyibak rambut. "Cieeeee. Ya, ya, ya. Dan aku juga keinget
Magbasa pa
Hidup Penuh Kepalsuan
Urusan di Polsek selesai. Verdi sudah di dalam kendaraan yang dalam perjalanan pulang dengan didampingi seorang pemuda. Mewarisi genetik dari sang ayah secara nyaris sempurna Terry, nama pemuda itu, seolah-olah adalah wujud Verdi dalam bentuh pemuda 20 tahun. Keduanya tidak berbicara sepatah pun sampai kemudian Verdi memecah keheningan.   “Sampai kapan kamu terus bikin ulah yang bikin pusing Papa seperti ini?” Tidak ada tanggapan. Terry melempar pandangan ke luar, tanpa minat untuk menjawab pertanyaan itu.   “Entah,” jawabnya. Tanggapannya yang dilontarkan lima menit kemudian menunjukkan keengganan yang kuat padanya untuk berbincang. “Jadi kamu gak ada keinginan berubah?” Pertanyaan tajam dan menusuk itu ditanggapi dengan senyum sinis. “Emang perlu berubah?”   “Sialan. Ya tentu aja harus! Kita hidup dalam masyarakat dengan norma dan etika yang harus dipenuhi.” “Papa ngomongin soal etika? N
Magbasa pa
Galau
Hendi hanya melihat saja ketika keduabelah pihak sama-sama berargumentasi tanpa ada tanda-tanda seorang pun mengalah. Ia juga belakangan mencoba mengingatkan bahwa sekarang saatnya jam istirahat. Namun sayang peringatannya dianggap angin lalu.   Bahkan ketika ia mengingatkan untuk kali ketiga, malah Verdi dan Rania secara berbarengan menoleh ke arahnya dan bertanya dengan berteriak:   "Apa??!!"   Disemprot seperti itu, Hendi terdiam dengan kedua tangan mengembang. Seolah berkata bahwa ia tak jadi menyampaikan sesuatu.   *               Kegalauan melanda Rania. Ibunya datang mendadak di rumah kontrakannya. Sempat cipika-cipiki yang kemudian dilanjutkan dengan aneka obrolan yang menghangatkan suasana, sejam kemudian sikap keduanya jadi berubah dingin. Kaku.           &nb
Magbasa pa
Egois
Rania menggeleng. Ia jelas tidak suka dengan pertemuan dengan Verdi yang sebentar lagi bakal terjadi. Kemarin mereka berbaikan, tapi sore harinya bertengkar lagi. Hhhh…. Ia letih. Mereka sudah terlalu sering bertengkar. Sudah  seminggu ini ia berada di perusahaan itu. Artinya selama itu pula ia mengenal Verdi. Namun kualitas hubungan mereka tidak berubah. “Jadi aku harus tunggu dia?” Rania menatap dengan tak bersemangat.“Nggak perlu menunggu. Itu dia,” penyelia, anak buah Hendi  menunjuk ke suatu arah di belakang punggung Rania. Rania menoleh. Diantara tumpukan produk jadi dalam rak-rak penyimpanan, Verdi nampak berjalan mendekati tempat mereka. Sama halnya dengan mereka bertiga, Verdi sudah mengenakan pakaian, sepatu, dan helm proyek sebagai standar keselamatan dalam pabrik. Rania merasa dirinya seolah gila karena melihat Verdi dengan penampilan begitu saja membuat pria itu jadi menarik.
Magbasa pa
Gara-gara Kamu
Berlembar-lembar kertas tisyu yang ada di sana diambil Renty dari kotaknya untuk kemudian digunakan demi melap bekas minuman yang tadi tumpah di tangan dan bajunya.“Pagi-pagi begini kamu sudah teriak-teriak hanya karena kecipratan air minum. Kamu  kenapa?” Ditanya demikian, Renty justeru berang. “Elo nggak berasa ini gara-gara elo?”Rania terperanjat. Karena dirinya? Kenapa bisa jadi begitu?“Semua pekerjaan gue berantakan,” lanjut Renty. “Mr. Rajha komplain berat. Gue jadi keliatan bego.” Parjo meninggalkan ruangan sedangkan Rania duduk mendengarkan tuduhan Renty.“Ini soal apa sih sebetulnya?” Renty membalik badan dan menatap tajam ke arah Rania.“Ini soal email elo yang judulnya Shipping Companies. Email yang seminggu lalu dikirim ke gue tapi di-CC ke seluruh kantor di Asia Pasific tentang penen
Magbasa pa
PREV
123456
...
14
DMCA.com Protection Status