Rania berjuang keras untuk sukses di perusahaan yang baru. Ia menghadapi tantangan ketika ketahuan bahwa sebetulnya proses diterimanya dia bekerja adalah karena faktor kecurangan yang dilakukan perusahaan headhunter karena ia adalah penderita kleptomania. Itu hanya secuil dari masalah yang perlu dihadapi karena masih ada konflik, skandal, penipuan, bisnis kotor, konflik keluarga, termasuk permintaan sang ibunda yang merindukan momongan. Ketika masalah dan drama sudah sebagian selesai, tiba-tiba ia jadi tertarik pada Verdi. Gayung bersambut dan pria itu juga memiliki perasaan yang sama. Masalahnya, umur keduanya terpaut teramat jauh karena Verdi itu dua kali lipat usianya. Beranikah ia melanjutkan hubungan ke level pernikahan dimana survey menunjukkan bahwa probabilitas keberhasilan pernikahan beda umur terpaut jauh hanya berada di kisaran angka 5%? Seberapa jauh ia berani mempertaruhkan masa depan dengan alasan cinta semata?
View More“Damned!”
Rutukan satu patah kata itu keluar dari mulut Rania di balik kemudi kendaraan yang dikendarai. Kejengkelannya beralasan. Sangat beralasan. Sudah hampir seperempat jam kendaraan yang dikemudikannya berputar-putar di areal parkir gedung perkantoran. Toh, tetap tidak ada tempat baginya untuk memarkir kendaraan. Ia tidak mau mencoba mencari di basement karena pada umumnya di areal parkir bawah gedung sudah dalam keadaan tersewa oleh para tenant, perusahaan perkantoran penyewa ruangan-ruangan gedung.
Ini adalah hari pertama Rania bekerja di perusahaan yang terletak di salah satu kompleks gedung perkantoran. Mestinya ia datang tepat waktu. Tapi, uh! Hari pertama ini ternyata harus ia lalui dengan kejengkelan yang mudah-mudahan bukan pertanda jelek akan timbulnya kejengkelan-kejengkelan berikut di hari yang sama. Ia tak mau kalau keterlambatan bisa jadi penyebab kinerjanya dinilai buruk.
Rania melirik penunjuk waktu digital di dashboard kendaraan. Alisnya seketika menaik. Sebuah ekspresinya yang jamak ia lakukan saat dalam kondisi panik. Ia disadarkan bahwa dirinya sudah terlambat sepuluh menit dari saat jam kantor dimulai.
Pelataran parkir di sebuah gedung perkantoran nampak penuh. Kendati areal parkir telah memiliki ukuran seribuan meter persegi, bahkan di beberapa bagian telah mengalami perluasan, kapasitas yang ada ketap masih belum cukup untuk menampung seluruh mobil karyawan di areal perkantoran yang terdiri dari gedung kembar tiga itu. Berbagai jenis dan merek mobil berjejer rapi nyaris di setiap sudut dan hanya menyisakan sedikit celah selebar ukuran pintu kendaraan.
Acara mencari lokasi parkir semacam ini benar-benar menyebalkan Rania.
“Please help, God!” desisnya nyaris tanpa suara. “Masa’ sih hari pertama udah telat kayak begini. Oh please, please, please…. Tolong kasih kesemp…”
Doanya terhenti seketika. Hatinya melonjak girang ketika melihat sebuah areal kosong sepuluh meter dari posisinya. Areal parkir yang sempurna. Ia jadi sangat bersemangat. Rania dengan cepat mengarahkan moncong kendaraan ke lokasi itu.
Saat pedal gas ditekan, sedan hatchback biru yang ia kemudi melaju cepat. Begitu cepat sehingga sebuah sedan hitam metalik yang bermaksud keluar dari parkir tidak sempat Rania lihat. Rania hanya terlambat sedetik saat secara spontan menekan pedal rem. Namun tak urung kendaraannya masih sempat melaju hingga beberapa meter.
Krkkk!!
Hati Rania tercekat saat suara benturan kecil terdengar.
Rania segera membuka pintu. Rambutnya yang ikal panjang dan dicat pirang berkibar indah tertiup angin. Biasanya ia membanggakan potongan rambutnya. Tapi sekarang, semua itu ia abaikan karena ada hal yang perlu dibenahi. Hatinya makin tercekat lagi melihat kaca depan sebelah kiri kini dalam keadaan pecah berantakan. Seorang pria, si pengemudi mobil sedan hitam, melalui jendela yang terbuka seperempat, menampakkan sebagian wajah dan berucap sesuatu.
“Apa?“
“I said sorry.“
“Sorry?“
“Iya,” katanya singkat.
Ia kemudian keluar dari mobil dan melihat kondisi bagian depan mobilnya. Ia juga melihat kaca depan mobil Rania. Sedan hitam yang ia kemudikan nampaknya hanya tergores sedikit di ujung kanan depan karena memang fisik kendaraan yang lebih tinggi dari yang Rania kendarai.
“Anda tidak apa-apa?”
Rania meradang. Walau pertanyaan orang itu terkesan tulus, ia jelas tidak suka dengan pengalaman tidak enak ini.
“Kaca mobil saya pecah, saya terlambat tiba di kantor, energi saya terbuang percuma karena kejadian ini dan saya semakin kesulitan untuk parkir. Pantaskah kalau anda lantas mengatakan apakah saya tidak apa-apa?” Rania berkacak pinggang menghadap orang itu. Akibat menghadap sinar matahari ia tak bisa melihat jelas wajah pria itu. Yang ia tahu pria itu berbadan besar dan mungkin sangat pantas menjadi binaragawan atau pelatih gym.
“Nyebelin!”
Pria itu tidak menjawab. Ekspresinya berubah. Menunjukkan sikap tidak nyaman.
“Sori,” katanya lagi.
Rania melipat tangan di dada. Kekesalan masih menggumpal dalam batinnya. “Sori, sori. Eh, Anda tidak bisa mengemudikan kendaraan dengan lebih hati-hati?”
“Tentu bisa. Sekali lagi saya minta maaf.”
Rania menggeleng cepat. “Memang mudah mengatakan sori, maaf, atau apa pun istilah anda.”
“Saya tidak sengaja. Saya…”
“Cara Anda mengemudi parah betul sih? Anda itu perlu tahu kalau saya …”
Si pria tiba-tiba memotong. “Jadi berapa biaya perbaikan yang harus saya tanggung?”
Rania meradang.
“Ini bukan soal biaya perbaikan. Saya bisa ganti biaya perbaikan sendiri. Saya hanya minta supaya Anda …” Rania terdiam. Untuk sesaat ia bingung hendak melanjutkan bagaimana.
Pria tadi juga nampak menunggu ucapan lanjutannya.
“Saya minta untuk anda mengemudikan kendaraan lebih hati-hati.” Rania akhirnya memiliki bahan untuk melanjutkan pembicaraannya. “Anda ada di areal parkir. Anda kan bisa mengemudikan kendaraan secara perlahan-lahan.”
Pria itu mendengus. Suaranya terdengar dingin dan nyaris tanpa ekspresi.
“Saya harus mengemudikan kendaraan perlahan-lahan?”
“Ya!” Rania mengangguk mantap.
“Di areal parkir seperti ini?”
“Ya!”
“Untuk menghindari kejadian serempetan seperti ini?”
“Ya!”
“Sungguh itu yang anda mau?”
“Ya!”
“Sayang, aku sekarang ngerti. Kamu sebetulnya tadi itu sedang dijebak oleh Renty. Dia dengan rekannya adalah orang yang nyusupin barang haram itu ke dalam tas kopermu.” Rania tak bisa berkata apa-apa. Mulutnya ternganga lebar dengan mata membelalak sembari menggeleng-geleng kepala. Mama Lidya tak kurang terkagetnya. “Saat dia sendirian, dia ngelakuin aksinya. Seperti yang kamu cerita saat dini hari itulah dia mem-finalisasi rencananya. Mungkin saat itulah dia dikirimi paket narkoba dari temannya yaitu ganja dan segala macam obat haram itu. Mungkin juga Renty adalah penggunanya. Tidak tertutup kemungkinan ke arah itu. Saat pagi harinya ketika kamu nggak di kamar, dia sisipkan itu di bagian tas koper. Mungkin dengan membuat robekan kecil di koper kamu yang memang hanya berbahan kain. Sayangnya, rencana itu gagal. Ada Tuhan yang jagain kamu. Kamu dibuat mengalami peristiwa buruk yang bikin tas koper kamu robek dan barang haram yang disisip di dalamnya terjatuh. Paket itu lantas kamu bua
“We gonna make it?”“Absolutely, Mister.” Rania mencondongkan wajahnya ke samping wajah Verdi. “Dan udah terbukti kamu masih tetap joss.”Verdi terbahak lagi. Apalagi kini Rania menatap dengan gerak alis dan tatapan laiknya seorang wanita yang nakal hendak mengajak bercinta. Benar-benar sudah tak ada lagi duka di wajah itu seperti ketika ia baru saja tiba.*Kebahagiaan kedua Rania alami ketika ia dan Verdi tiba di kendaraan mereka. Rupanya ada Mama di sana yang menunggui. Dan yang membuat Rania terkaget adalah bahwa Mama di sana dengan seorang bayi lucu dalam pelukannya.Cerita kemudian mengalir satu demi satu baik dari Mama maupun dari Verdi. Tentu saja porsi terbesar cerita ada pada Mama yang secara runut menceritakan keajaiban yang ia alami. Mungilnya sang bocah membuat Rania jatuh cinta seketika. Permintaan Mama untuk ia merawat bersama-sama diterima de
Hanya ada bahagia tak terperi. Saat Surabaya sudah makin tenggelam dalam malam bahagia seolah bertumpukan satu per satu menimpa hidup Rania. Dimulai dari ketika ia disambut oleh senyum Verdi di pintu keluar bandara.Ah, beda dengan hampir tiga tahun lalu di pelataran parkir perkantoran di Jakarta ketika cinta menggebu membuat Verdi berani memeluk dirinya berlama-lama di tengah keramaian, situasi itu tak terjadi lagi saat ini. Namun tentu saja itu bukan masalah besar bagi Rania. Cinta Verdi atas dirinya tak perlu diragukan lagi karena toh tak semua orang wajib mewujudkan dan melampiaskan rasa itu dengan cara ekspresif.Verdi memeluk. Sebentar. Namun sangat hangat. Dan betapa Rania merindukan pelukan pria terhebat yang ia bisa miliki itu. Pengalaman mengerikan yang dirancang seorang perempuan jahat bernama Renty gagal terwujud. Dan ia yakin itu terjadi karena doanya yang tulus yang menyertai perjalanan.“Kenapa nangi
Penjelasan itu terasa cukup bagi Rania. Ia mengambil tasnya kembali dan memutuskan tidak perlu bertanya lagi. Jam dinding di salah satu sisi ruangan menunjukkan waktu bahwa ia harus sesegera mungkin menuju ruang tunggu pesawat. Para petugas X-Ray tadi menunjukan sikap hormat ketika Rania bergegas pergi.Sepuluh menit kemudian ketika pesawat yang ditumpangi sudah take off, Rania masih terus memikirkan pengalaman aneh yang terjadi. Ketika ia melihat seorang anak kecil pada bangku di depannya membuka bungkus kemasan biskuit berwarna biru tua, seketika ia teringat sesuatu. Ia teringat pada bungkus berukuran sama dan warna yang sama yang ia buang di tempat sampah bandara. Bungkusan yang menurut pengemudi taksi daring yang ia naiki terjatuh dari koper akibat ada bagian koper yang robek karena terbentur bagasi mobil. Bulu kuduk Rania meremang.Tidak perlu menjadi seorang jenius dengan sederet gelar untuk mengetahui apa yang terjadi. Ia nyaris
Urusan check in sudah selesai. Dengan alasan bahwa koper yang dibawa Rania adalah koper kecil yang akan dibawa masuk dalam bagasi kabin pesawat, Rania melangkah ke arah ruang tunggu pesawat. Namun saat melewati security-check, ia kaget karena detektor X-Ray berbunyi. Ia melihat sekitar. Tak ada penumpang pesawat lain. Artinya detektor berbunyi saat melakukan scanning atas koper miliknya.‘Maaf, ibu boleh minggir sebentar?”Ajakan seorang ibu petugas bandara tadi membuat Rania sedikit gugup. Para penumpang lain mulai berdatangan ketika Rania menurut.“Maaf, boleh kopornya dibuka?”Rania merutuk dalam hati atas gangguan kecil yang dialami. Namun ia menenangkan diri sendiri karena menurutnya ini bukan pengalaman pertama ia diminta seperti itu. Itu sebabnya dengan tersenyum ia mengikuti permintaan petugas itu dan membuka koper setelah mengisikan nomor kode koper.Dibantu seorang pe
“O gitu? Kamu puasa Senin – Kamis?”“Begitulah?”“Buat apa? Buat supaya sukses bisnis?”“Bukan.”“Buat dapet jodoh?”“Gak lah.”“Terus? Tujuannya apa?”“Buat ngurusin badan.”Wajah innocent alias tak berdosa yang ditunjukan oleh James sukses membuat Terry tertawa. Walau tawa kecil bagi James ini langkah bagus. Hati Terry yang gembira merupakan pintu masuk untuk diskusi yang sebentar lagi dilakukan akan berjalan kondusif dan hangat. Ia masuk ke dalam gerai, mengambil kopi, biskuit, kue, serta menyelesaikan pembayaran dan menemui Terry kembali di tempatnya semula.“Nih, silahkan nikmati,” katanya sembari mulai meletakkan roti dalam bungkusan plastik beserta kopi dalam kemasan botol plastik mungil ke depan Terry.Saat belum lagi menaruh semua, mendadak dari kanton
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments