All Chapters of Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut: Chapter 21 - Chapter 30
113 Chapters
21. MENYUSURI MAUT
Bayu perlahan berlari menuju area pertempuran, ia mencoba mengingat tiap jalan yang sempat dilaluinya menuju ruang bawah tanah tadi. Sayup sayup di dengarnya suara pedang beradu, teriakan, dan asap mengepul. Ia menyadari ia semakin dekat dengan tujuannya. Meski rasa gugup berpacu cepat dalam dadanya. Ia terus menyusuri jalan itu, berlindung di setiap tumbuhan, pohon, dinding yang ia temui. Tangannya memegang pedang yang berhasil ia curi dari salah satu pengawal di ruang bawah tanah, meski tidak begitu ringan, namun ia berusaha senyaman mungkin untuk membawanya. Ia tahu suatu saat dalam kondisi seperti ini pedang ini harus dapat ia gunakan. Bayu merasa beruntung pernah menjadi pencopet selama beberapa tahun. Ternyata pengalamannya itu berguna untuk mencuri sebilah pedang prajurit dan menyusup dalam diam meninggalkan ruang persembunyian itu. Tak ada satupun yang memperhatikannya saat itu. Namun kali ini ia harus lebih hati-hati. Apa yang akan dihadapinya mungkin akan l
Read more
22. Panglima Perang Pembawa Tombak
“Paman Sandanu?” Bayu terpekik kaget “Mengapa kau di sini, Bayu? Tempat ini berbahaya!” Sandanu mencoba membantu Bayu berdiri. “Di mana yang lain?” Bayu tak menghirauan pertanyaan cemas dari Sandanu. “Mereka aman! Mereka dilindungi oleh Patih Tarkas! Kau sendiri sedang apa di sini?” “Mencari kalian! Aku ingin tahu keadaan kalian!” Bayu memegangi luka yang masih mengucurkan darah di bahunya. “Kau sudah menemukan jawabannya!” sahut Sandanu cepat, “Sekarang ikut aku, kau harus menyelamatkan diri!” Sandanu lalu berusaha membantu Bayu berjalan. Di tengah perjalanan mereka masih sempat dihadang oleh beberapa prajurit musuh yang tampaknya tidak akan dengan sukarela memberikan mereka jalan. Mau tak mau Bayu kembali dengan sisa-sisa tenaganya mengayunkan pedang memberikan serangan pada prajurit-prajurit haus darah itu. Namun kondisinya yang terluka parah dan kemampuan terbatasnya dalam menggunakan pedang membuat serangan Bayu tak berarti apa-ap
Read more
23. TOMBAK YANG BERAPI
Di lain sisi, Bayu masih meronta-ronta mencoba melepaskan diri dari cekikkan panglima itu. Nafasnya sudah hampir habis, matanya nanar. Sementara panglima itu menyeringai penuh kesenangan menikmati kematian Bayu yang tampaknya sebentar lagi akan datang. Namun Bayu masih belum menyerah, perlahan tangannya yang masih menggenggam pedang panglima itu bergerak, dan dengan spontan menghunjam di mata orang kejam itu. Orang besar itu menjerit, merasakan sakit, ia terhuyung-huyung ke belakang. Dan melepaskan bayu dari cekikkannya. Bayu terjatuh ke tanah. Sejenak ia terduduk lesu sambil terbatuk-batuk. Ia melirik panglima itu yang masih meronta kesakitan sambil menutup sebelah matanya yang masih tertancap pedang. Bayu sadar, bahwa pertarungan ini harus diselesaikan. Ia mencari-cari senjata untuk menghabisi panglima itu. Matanya tertuju pada tombak berapi yang tergeletak di tanah. Apinya masih belum padam, masih sebesar ketika pertama kali menusuk lengan Sandanu. Dengan terseok-
Read more
24. KAU SELALU TAHU, RATUKU
Negeri Danta, dua hari setelah perang....   Ayunda melihat kembali dengan samar adegan ketika perlahan pasukan Adighana bergerak mundur ketika Dirga dengan gagah mengangkat sebuah benda mirip kepala yang tertancap di ujung pedangnya. Penglihatan itu berulang-ulang datang dalam pandangannya, juga teriakan-teriakan prajuritnya. “Ayunda, anakku....” Ia kini mendengar suara ibunya berbisik pelan di antara suara teriakan para prajuritnya di medan perang. Ia melihat kembali adegan kemunduran pasukan Adighana,  ia merasakan kembali ketika darah yang mengucur dari bibirnya terasa hangat. Ia terpejam. “Ayunda, Nak...” Kembali bisikkan ibunya mampu ditangkapnya dari teriakan pasukannya. “Paduka akan baik-baik saja...” Ayunda menangkap suara lain di antara adegan yang terhampar di pandangannya dan dentingan pedang yang beradu. Ia merasa pandangannya kini lebih jelas melihat kemunduran pasukan Ad
Read more
25. PENYELAMAT SI PEMBUNUH
Bayu lalu kembali masuk ke dalam rumah. Ia berkeliling rumah tersebut. Ada beberapa ruangan besar, dapur, tiga pendopo, dan lima kamar di dalam rumah tersebut, hanya satu yang terbuka, yaitu kamar yang ia tempati, sedangkan sisanya terkunci rapat. Lantai rumah tersebut tampaknya terbuat dari bahan yang sama dengan dinding dan langi-langitnya, dari kayu yang kuat dan mahal. Cukup menjelaskan bahwa rumah itu dimiliki oleh seorang bangsawan, Mahapatih tepatnya seperti yang dijelaskan oleh pengawal tadi. Bayu berjalan ke pekarangan belakang rumah itu. Ada beberapa kandang burung yang tampaknya menjadi hewan peliharaan sang Mahapatih, Bayu sendiri tak tahu jenis burung apa yang terdapat di sana, yang jelas ia berpikir bahwa mereka merupakan hewan yang mahal. Selain itu di samping rumah juga ada 3 ekor kuda yang masing-masing berwarna cokelat, kuda-kuda tersebut tampak sehat dengan setumpuk rumput yang ditaroh di kandang mereka sebagai santapan segar. Tak jauh dari situ ad
Read more
26. PANGERAN ADOPSI
Bayu menunduk, ia mengakui dalam hati bahwa apa yang dikatakan oleh Cadudasa itu benar adanya. “Maafkan saya, Gusti..” lagi-lagi hanya itu yang keluar dari mulut remaja itu. “Simpan kata maafmu itu untuk hal-hal yang lebih mendesakmu suatu hari nanti. Tapi tidak saat ini. Karena tak perlu jawaban. Kau punya sesuatu yang lebih layak dari kata maaf. Kau hanya perlu memastikan bahwa tanah itu cukup kuat untuk menahan pijakanmu, dan langkah kakimu mengarah pada jalan yang tepat. Hanya itu” Bayu mencengkeram jari-jari tangannya sendiri. Kalimat yang diucapkan Cadudasa seperti butiran salju yang turun dengan lantang tepat di sanubarinya. Ia terlalu takut dengan apa yang belum pasti dihadapinya, Cadudasa benar. Ia hanya perlu memastikan bahwa ia berada di posisi yang tepat untuk berpijak. “Jangan jadi orang yang suka cemas, Bayu. Itu akan melemahkan pijakanmu. Jangan mencari kekhawatiran. Sikapmu sejauh ini, adalah sikap seorang yang tak memiliki dua tangan,
Read more
27. DI ATAS PUNGGUNG KUDA
Cadudasa semakin tak mengerti dengan sikap Bayu yang tak mau menaiki kuda. Baginya kuda adalah sahabat manusia, anak ingusan saja sudah mampu menaiki kuda. “Apa hewan ini begitu menakutkan bagimu?” Cadudasa mengelus-elus kuda cokelat itu, kuda itu menyambutnya dengan ringkikan manja. “Tidak sama sekali, Gusti. Saya hanya...... hanya merasa nyaman jika berjalan kaki. Mungkin saya perlu olahraga..” Bayu berkilah “Olahraga? Kau tak punya niat segigih itu, jarak istana dengan tempat ini memakan waktu cukup lama, itu juga perjalanan dengan berkuda.” “Ya. Bukankan itu berarti lebih bagus. Saya akan lebih sehat, bukan?” Bayu tersenyum dibuat-buat. “Jika kau pikir bocah seusiamu bisa membodohi orang setua aku. Maka kau akan melihat istana akan dipenuhi para remaja sepertimu..” Bayu perlahan menjauhi kuda itu, dalam raut wajahnya yang dibikin sesantai mungkin ia berusaha mencari alasan yang tepat agar tak dipaksa mengendarai kuda itu. Namun, ta
Read more
28. ISTANA ADIGHANA
Cadudasa membawa Bayu memasuki gerbang istana. Seumur-umur baru kali ini Bayu memasuki gerbang istana yang sesungguhnya. Ketika di negeri Danta, ia tak pernah melihat istana secara langsung. Ia hanya berada di komplek rumah para pejabat istana. Cukup mewah, tapi yang ia lihat kali ini ratusan kali lebih mewah. Istana itu besar sekali, dengan pondasi yang sangat kuat. Dijaga oleh ratusan prajurit dengan persenjataan lengkap. Para prajurit yang gagah berpakaian seragam berwarna kuning menyala dengan ikat kepala berwarna serupa menambah gagah kerajaan Adighana. Tepat di titik tengah halaman depan istana, berkibar sebuah bendera berukuran sedang bergambar singa dengan warna merah keemasan, yang tampaknya menjadi simbol negeri adidaya ini. Begitu tiba di pintu istana, mereka disambut oleh dua pengawal berbadan tegap yang langsung memberi hormat dan lantas mengantar mereka ke ruang utama istana. Ruang utama istana ternyata tak berada di bangunan depan, melainkan harus mema
Read more
29. PERANG BELUM BERAKHIR
Ayunda sengaja mengumpulkan beberapa orang kepercayaannya untuk membicarakan beberapa hal bukan di balairung istana, melainkan di pekarangan belakang istananya yang luas. Tempat itu memang dikhususkan hanya untuk Ratu dan para keluarganya bersantai. Hari itu ia berada di sana bersama kedua orang tuanya, Patih Tarkas, Dirga, Gama, dan Tadana. Dengan disaksikan beberapa gelas minuman mewah kerajaan, Sang Ratu yang jelita itu meminta agar diceritakan apa yang terjadi sebenarnya dengan perang beberapa waktu lalu. “Kita tahu, itu bukanlah perang terbesar yang pernah kita lalui, tapi lawan kita adalah Adighana, salah satu kerajaan yang paling besar yang pernah ada di dunia di balik kabut. Dan kita memenangkannya. Setidaknya kita berhasil memukul mundur mereka.” “Tapi bagaimana caranya?” Ayunda masih tak mengerti. Ia memandang pada Patih Tarkas. “Dirga berhasil memenggal leher Pemimpin mereka, Panglima perang mereka. dari kabar yang aku dengar, namanya adala
Read more
30. PENYUSUP MALAM
Malam itu sesosok berjubah hitam dengan penutup kepala dan cadar tampak mengendap-endap di atap istana kerajaan Danta. Sebilah pedang tampak tergantung di pinggang kirinya. Ia berjalan dengan cekatan dan hati-hati sehingga tak sedikitpun bunyi deretakkan atap terinjak muncul dari sana. Ia sedikit menunduk ketika dua orang pengawal melintas di bawahnya sedang berpatroli. Pengawal tersebut tampanya tak memperhatikan ke atap, sehingga ia terus berjalan menjalankan patrolinya. Sosok bercadar itu kembali melanjutkan aksinya, dengan sigap ia melompat ke tembok tinggi yang berjarak sekitar tiga meter dari tempatnya berdiri. Sosok ini mendarat di sana dengan keseimbangan tubuh yang mengagumkan. Sejenak ia merunduk, mengawasi penjaga tembok yang ternyata gerbang istana itu. Ada empat penjaga yang sedang bertugas di sana. Ia tak mungkin turun, hal itu tentu akan membuat para penjaga tertarik. Ia lalu memutar otak, dilihatnya sebatang pohon rimbun sekitar beberapa meter dari pos penjag
Read more
PREV
123456
...
12
DMCA.com Protection Status