Lahat ng Kabanata ng Kala Cinta Menyapa: Kabanata 41 - Kabanata 50
104 Kabanata
41, Sebuah Rasa Baru [17+]
ELLS terbangun mendapati Airlangga sibuk dengan belatinya. Mendengar gerakan Ells, Airlangga menoleh. “Hai …” “Hai … kau tidak tidur?” Ells duduk sambil menggeliat, kainnya benar-benar melorot. Hanya tertahan puncak dadanya saja. Ugh … belahan itu …. Airlangga kembali menunduk, pura-pura sibuk dengan pekerjaannya. Dia bahkan nyaris melukai tangannya ketika tangan itu bekerja di luar kendali otak. Ells bergerak ke arah Airlangga, cukup membungkuk dan sampai. Tapi ketika membungkuk, tentu dadanya terpapar lebih … Oh, Daniella … aku sulit bertahan …. “Apa itu?” Ells sudah duduk di sampingnya. Tak bermaksud memperbaiki kainnya, dan aroma tubuhnya menambah siksaan Airlangga. Pemuda itu benar-benar harus fokus dengan pekerjaannya sebelum belati tajam memisahkan jari dan telapak tangan. “Sebut saja sepatu. Untukmu.” Airlangga menyerahkan sebelah sepatu yang sudah jadi. Sebut saja javanese mocassin. Sebuah sepatu dari kulit kelinci. Menyisak
Magbasa pa
42, Di Pagi yang Sama
PAGI datang memulai hari. Gelisah tadi malam menepi memberi jalan pada kesibukan melanjutkan hidup. Tubuh-tubuh kurang tidur tetap bergerak bersana napas dan aliran darah. Matahari belum sempurna membulat di ujung timur ketika Udayana sudah berjalan ke ladang. Mengabaikan lemah bergumul dengan hati, dia berusaha mengumpulkan semangat demi sesuap nasi. Sampai di ladang, tak dia sisakan waktu untuk melamun. Pekerjaan berbaris menanti menunggu tenaganya bergerak. Sepagi itu, tubuh liatnya sudah berpeluh di bawah matahari pagi. Ada yang harus dia kerjakan lepas mengurus ladang. *** Di pagi yang sama, dalam keadaan yang berbeda langit dan bumi, Robert menggeliat malas. Tidur tak lelapnya terganggu gelisah. Terlalu pagi untuk ukurannya. Bahkan ini bisa disebut masih malam jika malam dia habiskan dengan berpesta. Masih bermalas-malasan, dia termangu bersandar di kepala ranjang. Gelisahnya tadi malam membawa hal lain yang ingin segera dia selesaikan. Namun malas mas
Magbasa pa
43, Di Tepi Hutan yang Lain
DI tengah desa, desa yang lain, Rindang makin gelisah. Sudah beberapa hari dia di sana, tapi lebih sering menyendiri. Ini rumah pamannya, kakak ibunya. Lepas membantu pekerjaan Bibi, dia mencari-cari kesibukan di halaman rumah. Semalam tidurnya tak lelap, kepalanya sedikit pening. Di halaman, dia memilih sudut yang dilindungi tajuk pohon berkayu. Di sudut itu dia melamun sambil membersihkan rumput liar dan merapikan perdu. “Rindang, apa yang kau lakukan di sana, Nak?” Suara bibinya mengganggu lamunannya. “Tidak ada, Bi.” Dia segera berdiri. “Bisa kau mengantar makan siang pamanmu?” “Tentu.” Meski tubuhnya sedikit limbung, langkahnya ringan dengan senyum berjalan ke dalam rumah. Bibinya tersenyum. Sangat senang dengan kehadiran Rindang di rumahnya. “Makanlah dulu sebelum pergi. Bibi lihat kau agak pucat, Nak.” “Baik, Bi.” Tak lama dia sudah berjalan sambil tangannya memeluk wadah makan siang pamannya. Siang yang terik terabaikan untuk mengalihk
Magbasa pa
44, Kau Milikku
“KAU kedinginan, Ells?” Tanpa menunggu jawaban, Airlangga menyambar kain yang ada lalu menyelubungi tubuh Ells. Ells memang menggigil, tapi bukan kedinginan. Tubuhnya meremang oleh sentuhan jemari Airlangga. Dan kabut di mata itu mengganggunya sangat. Ells tak tahan dengan keberadaan dinding itu. Bergerak, duduk di pangkuan Airlangga, dia merobek dinding itu. “Ada apa, Angga?” tangannya menangkup wajah mendung Airlangga. “Ada apa?” Sesak. Ells semakin serius menatap Airlangga. Isi kepalanya berputar mencari jawaban, berusaha menebak beban kabut di mata Airlangga. Sangat tidak menyangka pagi pertama setelah bersatu harus menghadapi lelaki berwajah sendu. Airlangga hanya mampu menghela napas. Melonggarkan ikatan yang menyesakkan rongga dada. Berusaha mengosongkan beban. Tapi tak bisa. Dadanya masih terasa penuh. Masih terasa membebat menyesakkan. Ternyata, pernyataan cinta itu membuat dadanya terasa sesak, tidak hanya oleh cinta, tapi juga oleh rasa yang
Magbasa pa
45, Mendekat [2]
SESOSOK tubuh tiba-tiba muncul dari arah hutan dan menabraknya. Sigap, dia menangkap tubuh itu. “Rindang!” “Kakanda?” Dua suara terkejut saling menimpali menyebut nama. “Apa yang kau lakukan di sini, Rindang?” tanya Udayana cepat ketika dia sudah pulih dari keterkejutannya. “Ini sangat jauh dari desa.” “Tapi ini hutan terdekat dari desa pamanku,” sergah Rindang cepat. “Ah, iya. Kau benar.” Udayana menarik napas lega. “Lalu apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya lagi berkembali ke tajuk utama. “Aku mencari tanaman obat untuk Paman. Kaki dan tangannya terluka ketika mengurus ladang dan dia mengabaikannya begitu saja.” “Lalu mana tanaman yang kau dapat? Kau tadi dari arah hutan, artinya kau sudah mencari bukan baru akan mencari.” Pertanyaan penuh selidik dari Udayana menyentak Rindang. Rindang kembali panik, tangannya spontan memegang dadanya, menepuk-nepuk di sana untuk meredakan detak yang tadi sempat menggila. Dia terus begitu sambi
Magbasa pa
46, Atas Nama Cinta
AIRLANGGA masih meragu dalam diamnua. Ells menyadari itu. “Angga, apa yang harus aku lakukan agar kau yakin? Kalau tubuhku pun tidak bisa membuatmu yakin, aku tak ada ide lain.” Dia mendesah lelah. “Aku sudah melamarmu. Tapi kau tidak mau. Aku harus bagaimana lagi?” “Kau memang mau menikah denganku, tapi bagaimana caranya kita menikah?” “Maksudmu?” “Menikah ada tata caranya, Ells. Ada yang menikahkan kita. Jika berdua saja itu bukan menikah. Kawin.” “Oh.” Ells tertawa kecil. “Itu yang membuatmu masih meragu?” “Aku tidak ragu. Aku hanya mencari jalan. Siapa yang bisa menikahkan kita tanpa orang lain tahu. Kita tetap harus bersembunyi, Ells.” Ells ikut memeras otak mencari jalan. Airlangga berpikir, cukup lama untuk Ells menunggu. Lalu— “Ayo, Ells.” Tiba-tiba Airlangga melepaskan pelukan eratnya dan langsung berdiri. “Ke mana?” Tapi Ells tetap berdiri. “Katamu kau akan ikut ke mana pun aku pergi.” Dia memakai kainnya dan memb
Magbasa pa
47, Di Ujung Lidah
LEPAS bertemu tim pencari, Udayana bergegas menjumpai Paman Tirta. Lelaki paruh baya itu baru saja sampai dari ladang. Dia sedang sedikit membersihkan diri dan cangkul di sumur. Melihat Udayana datang masih dengan tubuh berkilau keringat, Tirta langsung waspada. Berita apakah gerangan yang pemuda ini bawa? Dia mempercepat gerakannya sambil mata dan lehernya bergerak acak seakan mencari orang yang bersembunyi. “Ada kabar apa?” tanyanya segera sambil mengeringkan tangan dan duduk di balai-balai di depan rumah. “Mereka mulai mencari di sisi hutan yang benar.” Udayana berbisik. Seperti Tirta, dia pun tidak mau ada telinga lain yang mencuri dengar percakapannya. “Ya, Tuhan…. Lindungi anakku.” Spontan Tirta berdoa. “Apa yang bisa kita lakukan?” “Aku tidak tahu, Paman.” Lelaki muda berkata pada yang tua. “Untuk itulah aku ke sini. Meminta petunjuk pada Paman.” “Pikiranku pun buntu, Nak.” Tirta memijit pangkal hidungnya. “Menurutmu, apa yang kira-kira membuat m
Magbasa pa
48, Rute yang Panjang
BERBARING di kasur, mereka terengah setelah sebuah percintaan maraton. “Aku suka di rumah ini, Angga. Ada kasurnya. Rumah pohon yang kedua hanya kulit saja. Rumah pohon yang pertama malah tidak ada apa pun.” Terbahak, Airlangga menjawab. “Untuk apa kasur jika kau tidur di atasku seperti ini.” Ells memang masih berada di atas tubuh telentang Airlangga, asyik bermain dengan dada keras Airlangga. Jawaban yang dibalas dengan cubitan, yang dibalas lagi dengan kekehan. “Tanganmu nakal, Sayang. Tangan nakal harus dihukum.” “Apa hukuman untuk tangan nakal?” Tangan Ells bergerak makin jauh dan makin menggoda, membuat Airlangga mendesah gelisah. “Nanti kupikirkan.” Dia tidak bisa berpikir di saat bibir Ells ikut bergabung bersama jemari nakalnya. “Seandainya kau tidak membuatkanku sepatu, aku akan memaksamu untuk mengambil sepatuku,” ujar Ells sambil terus menggoda Airlangga. “Ambil saja. Rumah pohon itu di barat sana. Dekat dari sini.” Airlangga s
Magbasa pa
49, Jejak Palsu
FAJAR belum sempurna menjadi pagi ketika Udayana bergegas ke hutan. Ia bahkan membawa obor untuk membantunya melihat kondisi. Hatinya berdetak ketika mengetahui rute para pencari ternyata mengikuti rute Airlangga mengelabui mereka. Dengan jantung berdebar keras, dia bersandar di batang pohon meredakan rasa panik dan khawatir. Haruskah dia menemui Airlangga secepatnya? Dan kapan itu secepatnya? Sekarang? Bagaimana caranya mengirim berita pada Airlangga? Dia terus memaki dalam hati atas kelihaian tim pencari. Dengan bibir bersungut-sungut sambil memaki, dia terus berpikir mencari lokasi di mana bisa dia memulai membuat jejak palsu ke luar hutan. Dari sisi sini? Terlalu mencurigakan. Mereka akan berpikir, si penculik pasti membaca jejak tim pencari, sangat aneh jika si penculik tetap pergi dari sisi sini. Dari sisi lain? Apa mereka akan menemukan jejak palsu itu? Bagaimana cara mengarahkan mereka ke sana? Satu per satu lapisan pengecoh jejak berhasil mere
Magbasa pa
50, Malam Suram
MALAM itu mereka menikmati makan malam ransum yang Arilangga siapkan sebagai cadangan. Waktu sore hari yang biasa dia sisihkan untuk mencari makan habis terpakai kegilaan mereka bergumul berdua. Makanan itu dia siapkan untuk kondisi darurat yang genting. Jika dia terjebak tak bisa berburu. Dia tidak menyangka, makanan yang dia siapkan itu terpakai karena alasan seabsurd itu. “Kenapa kau tersenyum-senyum seperti itu, Angga?” “Tidak. Aku suka melihat kau makan lahap.” Dia berusaha mengelak. “Aku pun heran. Sejak di hutan makanku banyak dan lahap.” “Mungkin karena di sini kau selalu aktif bergerak. Berbanding terbalik jika kau di rumah. Apa yang kau kerjakan di rumah?” Ells terkekeh. “Tidak ada.” “Apa kau tidak bosan hidup seperti itu?” Airlangga bertanya serius. “Rumah sebesar itu, penghuninya hanya kalian berdua. Untung ada pelayan-pelayan itu. Jika tidak, alangkah sepinya. Dan kau pun tidak akan bisa mengurus rumah itu.” “Aku sering berpesta.
Magbasa pa
PREV
1
...
34567
...
11
DMCA.com Protection Status