All Chapters of Membalas Pembunuh Suamiku: Chapter 21 - Chapter 30
43 Chapters
21. Mencari Toni
“Lily sudah memberiku lokasi terkini Toni Kurniawan,” ucap Mei saat sedang sibuk memasak sarapan.Erik baru saja keluar dari kamar. Rambutnya masih basah dan wangi sabun tercium kuat di hidung Mei. Dengan santainya, Erik duduk menghadap kitchen island¸ memperhatikan gerak-gerik wanita yang sudah mengobrak-abrik hatinya.“Di mana?” tanya Erik. Dia mengambil satu gelas jus apel tanpa es yang ada di meja. “Eh, ini memang buat aku, ‘kan?”Mei menoleh sebentar lalu mengangguk. “Ambil aja! Itu memang buat kamu. Aku lebih suka teh hangat,” jawab Mei. “Oh iya, Lily bilang Toni ada di Jakarta Selatan.”“Oke, kita bisa berangkat setelah sarapan,” sahut Erik.Mei mengangguk. Dia mulai memindahkan masakannya ke atas piring. Telur mata sapi setengah matang, sosis bakar, kentang tumbuk, dan buncis, siap dinikmati.“Tumben masak begini? Biasanya nasi,” ujar Erik sambil mencomot kentang tumbuknya. Kepalanya mengangguk tanda menikmati masakan Mei.“Aku tahu kau jarang makan nasi kalau pagi begini. Jad
Read more
Mei 22
Matahari telah terbenam sempurna. Mei sudah meyakinkan dirinya untuk totalitas mencari pembunuh suaminya. Dia bersumpah tidak akan membuat penjahat brengsek itu hidup dengan tenang.Tok! Tok!“Mei, sudah belum? Kenapa lama?” Erik berteriak dari luar kamar Mei.Ketukan itu sontak membuyarkan lamunan Mei. “Iya, sebentar!!” teriak Mei.Mei kembai mematut dirinya di cermin. Dia memakai atasan halter yang bawahnya dipasang karet dengan panjang tepat sampai di pinggang Mei. Baju itu terbuat dari kain sifon hingga memamerkan lekuk tubuh atasnya dengan sangat baik meski baju itu tidak ketat.Untuk bawahan, Mei tetap nyaman dengan celana panjang. Ibu satu anak itu mempercantik tampilannya dengan memakai sepatu setinggi tujuh sentimeter yang cantik meski modelnya sederhana.Mei membuka pintu kamarnya dan Erik mematung begitu saja. Pria itu merasa seakan seluruh kesadarannya tersedot pada satu sosok di depannya.“Erik!!” Mei menjentikkan jarinya di depan wajah pria yang melamun itu.“Eh?” Erik g
Read more
Mei 23
Mei terus diseret oleh dua pengawal itu. Sesekali, dia berpura-pura menoleh ke belakang, memastikan Erik masih mengawasinya. Bagaimana pun juga, Mei rasa dia akan bertemu dengan teman-teman penjaga yang menyeretnya ini ke mana pun dia akan dibawa. Dan Mei akan sangat kesulitan menghadapi beberapa pria besar seperti mereka ini sekaligus.Setelah menaiki dua tangga, Mama Alan itu dibawa masuk ke sebuah ruangan di lantai tiga. Ruangan itu tidak begitu luas. Dindingnya dicat merah. Kursi-kursi dan meja besar dari kayu yang dipelitur diletakkan di tengah. Gordennya yang tebal dan tinggi menggunakan kain berwarna cokelat. Ada juga lukisan-lukisan berukuran besar dipajang di tembok. Secara keseluruhan, ruangan ini cukup suram bagi Mei. Tidak ada kehangatan dalam udaranya.“Duduk!”Bahu Mei ditekan ke bawah, memaksanya untuk duduk. Mei menurut saja. lengannya sudah dilepas. Kemudian dia mendengar suara langkah menjauh disusul dengan pintu yang tertutup.Mei mengedarkan pandangannya. Sendiri.
Read more
Mei 24
Toni menyesap martini dalam gelasnya. Dia tengah berdiri di depan jendela. Matanya menatap keluar tapi tatapannya kosong. Sesekali, da akan menggoyang gelasnya sebelum meminumnya lagi hingga gelasnya kembali kosong. Kalimat yang diucapkan wanita itu terus terngiang di kepalanya. Otaknya mencoba mengingat peristiwa dua tahun yang lalu.Toni menyerah. Otaknya buntu. Dia pun akhirnya duduk dan membuka laci mejanya, mengambil sebuah buku jurnal agenda yang selalu menemaninya tiga tahun ini. Tangannya bergerak membuka jurnalnya, membolak-balik kertas di dalamnya, mencari petunjuk dua tahun yang lalu. Namun dia tidak menemukan apa pun. Hanya ada catatan transaksi obat dan minuman ilegal yang biasa dia lakukan di beberapa kota di Jawa, termasuk Surabaya.Toni mendengus. Ditutupnya jurnal itu dengan kasar. Dia mendadak kesal dengan dirinya sendiri. Untuk apa dia bersusah-susah membuka jurnal dan membacanya lembar demi lembar?? Untuk wanita yang dia bahkan tidak tahu namanya?? Gila!! Toni tida
Read more
Mei 25
Mei sudah mulai mengantuk. Beberapa kali dia tampak menutupi mulutnya saat menguap.“Tidurlah kalau mengantuk! Aku akan berjaga.” Erik mengelus rambut Mei dengan lembut.Mereka berdua masih berada di dalam mobil di seberang club milik Toni. Seperti rencana sebelumnya, mereka akan mengintai pria dingin dan dominan tersebut lalu mengikuti ke mana dia akan pergi dengan harapan mereka akan menemukan sesuatu.Mei menggeleng. “Aku akan membeli kopi saja.”“Mei, jangan dipaksakan! Kalau kamu terlalu capek, kamu akan sakit. Dan kau tidak akan bisa membalas pembunuh suamimu.” Erik mencoba memberi saran.Mei menghela nafasnya. Dia emmang sudah sangat mengantuk. Bukan kerana dia lemah, tapi karena ini memang sudah pukul satu pagi. Dia sudah meminum dua gelas kopi. Wajar saja Erik mencegahnya untuk membeli satu gelas lagi.“Kalau begitu aku ke toilet sekalian membeli air putih di mini market itu.” Mei menunjuk satu mini market yang kemarin dia datangi.Erik pun mengangguk.Tangan Mei segera membu
Read more
Mei 26
Seperti memiliki alarm dalam tubuhnya, Toni terbangun tepat pukul lima pagi. Matahari masih malu-malu mengintip di ujung timur.Matanya mengerjap perlahan, berusaha mengumpulkan seluruh kesadarannya. Saat matanya menangkap sosok wanita berambut panjang terlelap di sampingnya, barulah seluruh kesadarannya terkumpul. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis. Tangannya terulur merapikan rambut Mery yang menutupi pipinya. Saat wajah ayunya terlihat jelas, Toni mendekatkan wajahnya dan mengecup pipi mulus itu. Matanya memandang lekat-lekat wanita yang masih tertidur itu. Ingin rasanya Toni berlama-lama memeluk dan menikmati halus kulit Mary, tapi masih ada yang harus dia lakukan pagi ini.Dengan berat hati, Toni pun beranjak. Tubuhnya dibiarkan polos saat dia melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Lima belas menit kemudian, pria pendiam itu sudah memakai kaos dan sweatpants. Keluar dari kamar, kakinya melangkah menuju dapur.Suasana club pagi ini sangat sepi. Hanya ada beberapa saj
Read more
Mei 27
Mary baru membuka matanya saat matahari sudah menampakkan sinarnya dengan terang. Bulu matanya yang lentik bergerak menghalau sinar mentari yang mencoba masuk ke matanya. Setelah bisa menyesuaikan diri, mata wanita itu pun terbuka sempurna.Mary merasa sedikit aneh karena tidak menemukan Toni di dekatnya. Biasanya pria itu akan menunggunya bangun sambil duduk di sofa dengan air hangat dan teh dan tangannya sibuk membuka ponsel.Kemana dia?Mary sangat ingin tahu, tapi sekarang dia lebih membutuhkan kamar mandi. Jadi dia akan melakukan ritual paginya juga membersihkan seluruh tubuhnya karena semalam berkeringat sangat banyak. Selesai mandi, Mary membuka lemari, mengambil satu baju yang selalu disiapkan Toni untuknya. Pilihan Mary jatuh pada dress simpel tanpa lengan yang anggun dengan panjang selutut. Mary menatap cermin di depannya. Dia tampak cantik dan anggun, sesuatu yang sangat disukai Toni. Dengan senyum terulas di bibirnya, Mary keluar dari kamar. Hanya ada dua kemungkinan keber
Read more
Mei 28
Mary berkendara menuju apartemen yang jarang dia tempati. Apartemen yang hanya dia gunakan saat ingin bermain-main dengan Gunawan.Dalam hati, Mary sudah tidak sabar ingin segera beremu Gunawan. Pria kepercayan Toni itu memang tidak semenarik bosnya, tapi Gunawan punya aura maskulin yang berbeda. Dan Mary ternyata menyukainya. Tidak peduli semalam dia sudah bermain dengan Toni, Mary masih saja mempunyai tenaga untuk Gunawan.Dua puluh menit kemudian, wanita itu sudah berdiri di depan apartemennya. Jarinya yang letik mengeluarkan kartu dari tasnya, menempelkannya di pintu hingga suara ‘Bip’ terdengar. Lalu terbukalah pintu unitnya.Aroma masakan yang wangi menyambut kedatangannya. Perutnya yang sudah terisi sandwich buatan Toni mendadak berteriak ingin kembali diisi. Dengan tidak sabar, Mary berjalan mendekati dapur. Di sana, dia melihat seorang pria berusia pertengahan tiga puluh hanya dengan celana pendek dan dada terbuka sedang sibuk bermain-main dengan pisau dan bahan makanan. Otot
Read more
Mei 29
“Di mana Gunawan?” Toni bertanya pada salah satu pengawal yang berjaga di cafenya. Dia sedang berjalan menuruni tangga. Ada jadwal pertemuan dengan pengurus cafenya di Batam siang ini.“Tuan Gunawan sedang keluar, Tuan,” jawabnya sambil menunduk.“Keluar? Sejak kapan?” Toni menghentikan langkahnya. Dia tampak terkejut dengan jawaban yang dia terima.“Begitu cafe tutup, Tuan.”Toni mengernyitkan keningnya. “Jam empat pagi?? Ke mana dia?” tanya Toni lirih pada dirinya sendiri.“Katakan padanya untuk menelepeonku segera, setidaknya aku menunggu kabar darinya nanti malam. Aku juga berharap tugasnya sudah selesai.” Toni memberi perintah pada penjaga yang dia tidak tahu namanya itu.“Baik, Tuan.”Toni kembali melanjutkan langkahnya. Dia menarik tangannya, melihat jam yang melingkar di sana. Pukul sepuluh. Masih ada satu setengah jam lagi sebelum janji temunya. Sepertinya dia akan mampir sebentar di butik Mary. Sudah lama dia tidak ke sana.Di dalam mobil, pikiran Toni masih saja dibayangi w
Read more
Mei 30
Toni sudah selesai dengan pertemuannya. Bisnisnya yang di Batam bisa dipastikan akan segera berdiri dan berkembang. Pemilik lahan itu juga berbaik hati memberikan nama seorang arsitek yang cukup terkenal di sana. Dia bahkan berani menjain kualitas bangunan dan keindahannya. Toni pun sepakat. Kini dia hanya perlu mengurus perijinannya saja dan bisnis siap beroperasi.Kini, pria pendiam itu sudah berada di bandara, bersiap ke Surabaya. Bandara Soetta memang tidak pernah sepi. Ribua orang berlalu lalang di depan Toni, tapi pria itu benar-benar tidak menggubrisnya. Mata dan pikirannya fokus pada ponsel di tangannya. Dia membaca dan mempelajari laporan cafenya untuk kemarin dan laporan dari Gunawan sudah dia terima meski belum lengkap. Dia juga mengintip beberapa pilihan dekorasi yang akan dia tunjukkan pada arsitek di Batam.Suara pengumuman bagi penumpang ke Surabaya terdengar. Toni segera bersiap setelah mengabari anak buahnya yang ada di Surabaya untuk menjemputnya di bandara satu jam
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status