Semua Bab Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!: Bab 81 - Bab 90

Alya menatap ke luar jendela kereta yang membawanya meninggalkan hiruk-pikuk ibu kota. Perjalanan ini terasa berat, bukan hanya karena koper yang ia bawa, tetapi karena hatinya yang remuk dan perasaan yang kacau. Ciuman Dani barusan terus berulang dalam pikirannya, membuat dadanya terasa sesak. "Aku bukan Larissa, Mas...," bisik Alya pelan, seolah berbicara pada bayangan Dani yang tak pernah bisa ia lepaskan dari benaknya. Namun, dalam hati kecilnya, ia tahu bahwa Dani tidak sepenuhnya bersalah. Lelaki itu hanya terjebak dalam masa lalu yang belum selesai.Di sisi lain, Dani masih berdiri di tempat yang sama, memandangi rel kereta yang kosong. Tangannya yang terluka mulai bergetar dan darah yang mengering, tetapi bukan rasa sakit fisik yang menggerogotinya. Kata-kata Alya sebelum pergi terus terngiang di telinganya, menusuk jauh ke dalam hatinya. "Kenapa aku nggak bisa melepas masa lalu ini?" gumam Dani lirih, sembari menundukkan kepala. Bayangan Larissa yang selalu menghantui pik

Nadya dan Firman tiba di apartemen Alya sekitar pukul sepuluh pagi. Begitu masuk, pandangan Nadya tertuju pada Dani yang berdiri di dekat jendela, melihat ke luar dengan tatapan kosong."Gimana, Mas? Udah ada berita terbaru dari orang-orang kamu terkait keberadaan Alya?" tanya wanita berjilbab pasmina biru itu dengan hati-hati. Dia berdiri di samping Dani, ikut bersimpati.Dani menggeleng, tak berkedip seolah tenggelam dalam pemikirannya sendiri. Hanpir enam jam berlalu sejak ia menyadari ketiadaan Alya. Dia masih tidak tahu harus mencarinya ke mana. "Kamu udah liat rekaman CCTV apartemen?"Kali ini Dani mengangguk, menunjuk laptop yang teronggok di atas meja dalam mode stand by. Firman sudah duduk di sana, tampak mengamati sesuatu.Nadya segera mendekat, bertanya, "Apa yang kamu lihat, Mas?"Alih-alih menjawab, Firman langsung menggeser monitor yang sedang menampilkan rekaman CCTV. Terlihat gadis rambut panjang yang menggendong ransel memasuki lift jam 8 malam. Meski wajahnya menund

Alya melangkah ragu di belakang Dimas, memasuki pelataran restoran yang ramai oleh pelanggan. Aroma gudeg yang manis gurih bercampur dengan wangi ayam opor dan sambal krecek memenuhi udara, menggoda perutnya yang sudah berteriak kelaparan."Iku sopo? Pacare Mas Dimas?" bisik salah satu pramusaji yang Alya lewati.Gadis itu merasa sedikit canggung karena penampilannya terbilang kacau—blouse kusut, celana jeans basah, dan yang paling parah, ia berjalan tanpa alas kaki.Dimas menoleh, menyadari langkah Alya melambat. "Ayo, langsung masuk ke dapur aja. Ketemu Ibu," ucapnya dengan suara ringan seolah membawa masuk Alya ke rumahnya sendiri."Dim, tapi aku—""Udah, nggak usah denger komentar mereka."Alya menelan ludah, ingin pergi saja dari sana. Namun, genggaman tangan Dimas terlalu erat, tidak bisa dilepaskan.Mereka melewati meja-meja kayu yang dipenuhi pelanggan. Beberapa dari mereka menoleh sekilas, satu-dua tersenyum, membuat Alya semakin tak kerasan. Yang bisa ia lakukan hanya meneb

"Maaf, Bu, apa Alya semalam atau pagi ini ke sini?" Dani berdiri di ambang pintu panti asuhan, suaranya terdengar tenang, tetapi jari-jari tangannya yang mengepal di sisi tubuhnya menceritakan kegelisahan yang tak bisa ia sembunyikan. "Alya?!" Bu Ratri menatapnya dengan mata penuh tanya. “Ada apa? Kamu bertengkar dengan dia?” Dani menggeleng, meski gerakannya terasa berat. “Bukan begitu, Bu. Cuma ada sedikit kesalahpahaman di antara kami. Dia pergi tanpa pamit, meninggalkan dompet dan ponselnya.” Bu Ratri menghela napas panjang, seakan beban yang sempat menghimpitnya sedikit terangkat. “Syukurlah,” gumamnya. Dani menatapnya dengan kening berkerut. Kenapa Bu Ratri bersyukur?Bu Ratri tersenyum samar, lalu berjalan menuju ruang tamu kecil panti. Dani mengikutinya, menyadari betapa tempat ini tak banyak berubah sejak terakhir kali ia datang. Aroma kayu tua dan buku-buku lama masih memenuhi udara, membawa serta kenangan yang dulu terasa hangat, tapi kini, ada sesuatu yang koso

WARNING! 🔞 ADULT CONTENT! "Mas, aku liat gadis yang mirip Alya!" seru Nadya sambil mengetuk pintu kamar mandi, mengganggu sang suami yang sedang mandi. Tadinya Nadya hanya ingin berdiri di beranda lantai dua, melihat gemintang di angkasa. Dia justru melihat sepasang sejoli sedang makan bersama di kejauhan. Gadis yang ia yakini sebagai Alya. Dari balik suara gemericik air shower, Firman tidak langsung menjawab. Dia sedang sibuk membilas shampo di kepala. "Mas Firman! Aku liat Alya!" ulang Nadya dengan suara yang lebih keras. Sengaja mengetuk pintu di depannya dengan ketukan yang lebih kuat. "Apa, Na?" sahut Firman balik bertanya, mencoba memusatkan pendengarannya di bawah guyuran air. "Ada Alya!" Detik berikutnya, suara aliran air terhenti dan pintu kamar mandi terbuka sedikit. Firman melongok keluar, membiarkan tetesan air mengalir dari ujung rambut basahnya. "Kamu ngomong apa tadi? Nggak jelas suaranya." Nadya menelan ludah menatap perut kotak-kotak di depannya. Namun, dia