Langit sore di Jakarta tampak mendung, seperti menggambarkan suasana hati Devan Mahesa Putra. Ia duduk di atas kap mobil sport milik ayahnya, yang terparkir di halaman rumah mewahnya. Rokok terselip di antara jarinya, sementara pikirannya kosong. Rumah ini besar, penuh kemewahan, tapi terasa hampa. Sejak kecil, Devan terbiasa hidup sendiri. Ayahnya, seorang pengusaha sukses, lebih sering berada di luar negeri. Ibunya? Bahkan mungkin lupa bahwa dia punya anak laki-laki. Tak ada makan malam bersama, tak ada pertanyaan tentang harinya di sekolah, tak ada kepedulian. Yang ada hanya transferan uang, fasilitas mewah, dan aturan tak tertulis: Jangan buat masalah yang bisa merusak nama keluarga. Ironisnya, justru itu yang paling sering ia lakukan. Di sekolah, Devan bukan sekadar siswa biasa. Dia pemimpin dalam bayangan, seseorang yang disegani bukan karena prestasi akademik, tapi karena keberaniannya. Tawuran, balapan liar, perkelahian—itu semua sudah seperti rutinitas baginya. Namun, di
Last Updated : 2025-03-19 Read more