Jodohku Muridku Sendiri

Jodohku Muridku Sendiri

last update최신 업데이트 : 2025-07-06
에:  Tania04연재 중
언어: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
평가가 충분하지 않습니다.
12챕터
578조회수
읽기
서재에 추가

공유:  

보고서
개요
목록
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.

Devan Mahesa Putra—pemuda tampan dari keluarga kaya namun broken home, tumbuh menjadi sosok pemberontak yang sering terlibat tawuran. Hidupnya terasa hampa hingga ia bertemu Sherin, seorang guru muda yang penuh kesabaran dan ketegasan. Mereka tidak langsung bertemu di awal, tetapi perlahan, takdir mempertemukan mereka dalam situasi yang tak terduga. Perbedaan usia, status, dan prinsip hidup menjadi dinding besar di antara mereka. Namun, bisakah dua hati yang terluka menemukan ketenangan dalam satu sama lain? Ketika dunia menentang dan masa lalu terus menghantui, akankah cinta mereka bertahan atau justru berakhir sebelum dimulai? Yuk guys langsung baca aja!!

더 보기

1화

Bab 01

Langit sore di Jakarta tampak mendung, seperti menggambarkan suasana hati Devan Mahesa Putra. Ia duduk di atas kap mobil sport milik ayahnya, yang terparkir di halaman rumah mewahnya. Rokok terselip di antara jarinya, sementara pikirannya kosong.

Rumah ini besar, penuh kemewahan, tapi terasa hampa. Sejak kecil, Devan terbiasa hidup sendiri. Ayahnya, seorang pengusaha sukses, lebih sering berada di luar negeri. Ibunya? Bahkan mungkin lupa bahwa dia punya anak laki-laki.

Tak ada makan malam bersama, tak ada pertanyaan tentang harinya di sekolah, tak ada kepedulian. Yang ada hanya transferan uang, fasilitas mewah, dan aturan tak tertulis: Jangan buat masalah yang bisa merusak nama keluarga.

Ironisnya, justru itu yang paling sering ia lakukan.

Di sekolah, Devan bukan sekadar siswa biasa. Dia pemimpin dalam bayangan, seseorang yang disegani bukan karena prestasi akademik, tapi karena keberaniannya. Tawuran, balapan liar, perkelahian—itu semua sudah seperti rutinitas baginya.

Namun, di balik semua itu, ada kekosongan yang selalu menghantuinya.

Malam itu, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari temannya, Dio.

"Bro, anak SMA Cakra ngajak ketemuan. Kayaknya bakal ada perang kecil. Lu ikut?"

Devan membaca pesan itu tanpa ekspresi. Lalu, tanpa berpikir panjang, ia mengetik balasan.

"Gue datang."

Karena dalam hidupnya yang penuh kehampaan, rasa sakit adalah satu-satunya hal yang bisa ia rasakan dengan nyata.

Devan menutup ponselnya, lalu bangkit dari kap mobil dan berjalan masuk ke dalam rumah. Langkahnya menggema di lantai marmer yang dingin, melewati ruang tamu luas dengan chandelier mahal yang menggantung di langit-langit. Tidak ada suara. Tidak ada siapa-siapa.

Seperti biasa.

Seorang pelayan yang sudah berumur, Bu Mirna, muncul dari dapur dengan ekspresi cemas. “Tuan muda, mau makan malam sekarang?”

Devan melirik meja makan panjang yang selalu kosong. Ia tertawa kecil—bukan karena lucu, tapi karena kebiasaan ini sudah terlalu menyedihkan.

“Gak usah, Bu. Saya pergi.”

Bu Mirna terlihat ingin menahannya, tapi sudah tahu tidak ada gunanya. Devan sudah seperti ini bertahun-tahun. Dia bisa pulang jam berapa pun, dalam keadaan bagaimana pun, dan tetap tidak ada yang peduli.

Di garasi, ia mengambil motornya—Ducati hitam yang dibelikan ayahnya. Satu-satunya cara ayahnya menunjukkan ‘perhatian’ hanyalah dengan membelikan barang mahal. Tapi perhatian yang sesungguhnya? Nol besar.

Malam itu, Devan melaju kencang.

Jakarta di malam hari selalu penuh warna. Lampu-lampu jalanan, gedung tinggi yang bercahaya, dan suara klakson yang riuh. Tapi bagi Devan, semua itu hanya latar belakang tanpa makna.

Setengah jam kemudian, ia tiba di sebuah lapangan kosong dekat flyover—tempat pertemuan yang sudah ditentukan. Puluhan anak muda dari dua sekolah berbeda sudah berkumpul, wajah mereka penuh amarah, tangan mereka menggenggam senjata seadanya—tongkat kayu, batu, hingga rantai motor.

Dio, sahabat Devan sejak SMP, mendekat. “Mereka banyak, tapi kita lebih siap.”

Devan hanya mengangguk. Tawuran ini bukan soal menang atau kalah baginya. Ini hanya cara lain untuk membunuh waktu. Untuk merasa hidup, walau sesaat.

Saat bentrokan dimulai, semuanya menjadi kabur—suara teriakan, suara pukulan, dan napasnya yang berat. Tapi dalam keributan itu, Devan merasakan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan.

Sebuah pertanyaan samar di kepalanya.

Apa yang sebenarnya gue cari?

Tapi sebelum ia sempat menemukan jawabannya, sebuah pukulan mendarat di pelipisnya, membuat dunia di sekitarnya berputar.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Devan tidak pulang ke rumah.

Devan tersentak saat merasakan darah hangat mengalir dari pelipisnya. Dunia terasa berputar, tetapi ia tetap berdiri. Lawannya, seorang siswa dari SMA Cakra, melangkah mundur dengan napas tersengal.

“Masih bisa berdiri, hah?” ejeknya.

Devan mengangkat tangan, menyeka darah yang mengalir dari pelipisnya, lalu menatap tajam ke arah pemuda itu. Ia bisa merasakan amarah membara di dadanya, tetapi bukan kepada orang di hadapannya.

Amarah itu lebih dalam. Lebih gelap.

Tanpa pikir panjang, ia maju dan melepaskan pukulan telak ke wajah lawannya, membuatnya jatuh terhuyung. Namun sebelum perkelahian bisa berlanjut, suara sirene meraung dari kejauhan.

“Polisi!” seseorang berteriak.

Seperti refleks, semua orang berhamburan. Dio menarik lengan Devan dengan kasar. “Ayo, cabut!”

Namun Devan tidak langsung bergerak. Matanya menatap ke arah lampu-lampu mobil polisi yang semakin dekat, lalu ke sekelilingnya—anak-anak sekolah yang berlari menyelamatkan diri, beberapa yang terluka parah, dan yang lainnya ketakutan.

Sama seperti dulu. Sama seperti setiap kali tawuran terjadi.

Ia tahu skenarionya: polisi menangkap beberapa orang, kepala sekolah akan murka, dan nama-nama mereka akan masuk daftar hitam. Tapi tidak ada yang benar-benar berubah. Semua hanya berulang seperti lingkaran tanpa akhir.

“DEVAN!” Dio berteriak lebih keras.

Akhirnya, Devan melangkah mundur, berbalik, lalu berlari bersama Dio. Nafasnya berat, jantungnya berdegup cepat, tetapi bukan karena ketakutan. Ia bahkan tidak peduli jika tertangkap.

Mereka berlari menembus gang-gang sempit hingga akhirnya keluar di sebuah jalan kecil. Dio membungkuk, mencoba mengatur napasnya.

“Gila, hampir aja tadi,” katanya sambil tertawa kecil.

Devan hanya diam, menatap langit malam yang gelap. Jakarta masih ramai, tetapi di dalam dirinya, hanya ada sunyi.

Dan untuk pertama kalinya, ia tidak ingin pulang.

Dini Hari, Sebuah Kafe 24 Jam

Devan duduk di sudut kafe, sebuah jaket hitam menutupi seragamnya yang berantakan. Kopi hitam di depannya sudah mulai dingin, tetapi ia belum menyentuhnya.

Ia tidak ingin pulang ke rumah besar yang kosong. Tidak ingin menghadapi keheningan yang selalu menyambutnya.

Dio sudah pergi satu jam yang lalu, setelah mengeluh capek dan butuh tidur. Tapi Devan masih di sini, memandangi pantulan dirinya di kaca jendela.

Wajahnya tampan, seperti yang selalu dikatakan orang-orang. Tapi apa gunanya ketampanan jika hidupnya seperti ini?

Saat itu, seorang pelayan datang dan menaruh sebotol air mineral di mejanya. “Mas, ada darah di pelipisnya. Mau saya ambilin tisu?”

Devan menoleh, sedikit terkejut. Pelayan itu bukan siapa-siapa, hanya gadis biasa dengan seragam kafe yang tampak kebesaran. Tapi ada sesuatu dalam suaranya—nada tulus, bukan kepura-puraan.

“Santai aja, ini cuma luka kecil,” jawabnya santai.

Pelayan itu mengangguk, lalu pergi.

Devan menghela napas panjang. Sudah lama sekali sejak ada orang yang benar-benar peduli, walau hanya sekadar menawarkan tisu.

Dan di saat itu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa sedikit lebih hidup.

Devan masih duduk di sudut kafe, tatapannya kosong. Kopi hitam yang tadi dipesannya kini sudah benar-benar dingin. Dia tidak ingin pulang.

Namun, sesadar apa pun ia menolak kenyataan, rumah itu tetap tempatnya kembali. Meski hampa, meski dingin.

Dengan enggan, ia bangkit, memasukkan beberapa lembar uang ke atas meja, lalu berjalan keluar. Malam sudah semakin larut, udara dingin menusuk kulit. Saat ia meraih motornya yang diparkir di pinggir jalan, ponselnya bergetar.

Nomor tidak dikenal.

Biasanya, Devan tidak peduli dengan panggilan seperti ini, tetapi entah kenapa, malam ini terasa berbeda. Ia mengangkat telepon itu.

“Halo?”

Tidak ada suara di seberang sana, hanya tarikan napas yang pelan. Devan mengernyit.

“Siapa?” tanyanya lagi, sedikit kesal.

Dan kemudian, suara itu terdengar—lembut, penuh kehati-hatian. Suara seorang perempuan.

“Jangan pulang malam ini.”

Devan membeku. “Apa?”

“Jangan pulang, Devan.”

Klik.

Telepon terputus.

Devan menatap layar ponselnya dengan alis berkerut. Jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Siapa perempuan itu?

Dan yang lebih penting…

Kenapa dia melarangnya pulang?

Sebuah firasat buruk tiba-tiba muncul di benaknya, tetapi ia mengabaikannya. Dengan satu tarikan napas, Devan menghidupkan motornya dan melaju menuju rumah.

Namun, begitu ia tiba di gerbang rumahnya…

Lampu-lampu rumahnya padam.

Suasana terlalu sunyi. Tidak ada suara pelayan, tidak ada Bu Mirna yang biasanya selalu terjaga.

Perasaan aneh mulai menjalar di tubuhnya.

Perlahan, ia membuka pintu rumah dan melangkah masuk. Kegelapan menyambutnya, tetapi ada sesuatu yang lebih mengganggu… bau yang asing.

Bau besi.

Bau yang tajam.

Bau darah.

Dan saat Devan menyalakan lampu ruang tamu, tubuhnya langsung menegang.

Di lantai marmer putih, tergeletak seorang wanita paruh baya.

Bu Mirna.

Tertelungkup dalam genangan darah.

Malam itu, untuk pertama kalinya, Devan merasakan sesuatu yang selama ini tak pernah ia rasakan.

Takut.

펼치기
다음 화 보기
다운로드

최신 챕터

더보기

독자들에게

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

댓글

댓글 없음
12 챕터
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status