Naya Putri duduk di kursi plastik di ruang ICU RS Cikini, suara monitor jantung dari balik pintu kaca berdetak pelan, seperti metronom yang menghitung sisa waktu hidup ibunya. Di luar, Jakarta terbangun—adzan subuh bergema dari masjid terdekat, klakson motor dan teriakan pedagang bubur ayam memecah fajar, tapi di sini, udara terasa beku, aroma desinfektan bercampur dengung pelan AC yang tua. Rekaman Vita dari tadi malam—suara Budi: Rian, kita harus kubur rahasia itu—berputar di kepalanya seperti piringan hitam rusak, setiap kata seperti jarum menusuk. Tawaran Budi untuk bayar operasi ibunya terasa seperti jerat, dan foto Naya-Rian di studio membuatnya gemetar. Apa rahasia yang hubungkan ayahnya, Vita, dan Rian? Ingatan ibunya pingsan di apartemen kemarin, saat Maya datang bawa obat rutin seperti biasa, menambah beban, seperti gunung yang tak bisa ia singkirkan.Naya memegang tangan Bu Ratna, dingin dan rapuh seperti kertas tua, jari-jarinya gemetar. “Ma, aku janji, aku bakal cari ca
Huling Na-update : 2025-10-17 Magbasa pa