LOGINNaya, seorang penulis lagu berbakat yang terluka oleh pengkhianatan ayahnya, hidup untuk merawat ibunya yang sakit sambil mengejar mimpinya di dunia musik. Saat ia berkolaborasi dalam proyek amal, ia bertemu Rian, produser musik karismatik yang tengah berjuang bangkit dari skandal plagiarisme. Chemistry mereka tak terbantahkan, namun badai datang ketika Naya menemukan bahwa ayahnya, yang kini menjadi pebisnis kaya, adalah dalang di balik masalah Rian. Terjebak antara cinta dan luka masa lalu, Naya harus memilih: mempercayai Rian dan menghadapi rahasia kelam keluarganya, atau melindungi ibunya dengan mengorbankan hati. Di tengah intrik mantan pacar Rian dan tekanan skandal, akankah cinta mereka bertahan, atau justru hancur oleh luka yang tak pernah sembuh?
View MoreNaya Putri membanting tuts piano tua itu, suara nada patah bergema di apartemen kecil Tebet, memicu ingatan pahit ayahnya yang meninggalkannya sepuluh tahun lalu.
"Kenapa lagi-lagi gagal?" gumamnya, jari-jarinya gemetar di atas lembaran lirik yang penuh coretan. Hujan di luar semakin deras, menyamarkan klakson Jakarta yang sibuk, tapi tak bisa menyembunyikan beban di dadanya—tagihan rumah sakit ibunya menumpuk, dan mimpi sebagai penulis lagu seolah semakin jauh. Piano ini, satu-satunya warisan dari Budi Santoso, ayahnya, sekarang terasa seperti kutukan, bukan berkah. Setiap nada yang ia mainkan seperti mengulang pengkhianatan itu: ayahnya tersenyum saat mengajarinya bermain, lalu pergi tanpa pamit, meninggalkan ibunya menangis di dapur. "Naya, obatku!" jerit Bu Ratna dari kamar sebelah, suaranya lemah tapi mendesak, memecah keheningan ruangan yang lembab. Naya menghela napas panjang, berdiri dengan cepat, dan berjalan ke kamar ibunya. Aroma desinfektan dan masakan tetangga yang menyusup lewat ventilasi mengisi udara, mengingatkannya pada kehidupan yang semakin tertekan. Bu Ratna terbaring di ranjang sederhana, wajahnya pucat sejak serangan jantung tahun lalu, rambut dengan segelas air, tangannya gemetar melihat kondisi ibunya yang semakin rapuh. "Besok aku pasti beli lagi, Ma. Janji." "Jangan kerja keras terus, Nay," kata Bu Ratna, matanya penuh kekhawatiran saat menelan pil. "Kamu cuma punya aku sekarang. Kalau kamu sakit karena kelelahan, siapa yang urus aku? Kamu nggak bisa kayak ayahmu, ninggalin orang yang dicinta." Kata-kata itu seperti pisau, mengaduk luka lama yang Naya coba kubur. Ayahnya, Budi Santoso, pernah janji akan selalu ada, tapi sepuluh tahun lalu, ia pergi demi wanita lain, meninggalkan mereka berdua dalam kemiskinan dan kesedihan. Naya tersenyum paksa, menyembunyikan air mata yang mengintip. "Aku kuat, Ma. Mama istirahat dulu, ya. Besok aku cari proyek baru, mungkin ada yang bayar lebih." Ia menyelimuti ibunya dengan selimut tipis, hati berat melihat tubuh Bu Ratna yang semakin kurus. Kembali ke ruang tamu, Naya menyalakan lampu meja yang cahayanya redup, menciptakan bayang-bayang panjang di dinding retak. Ia duduk di depan laptop tuanya, layarnya penuh goresan dari pemakaian bertahun-tahun, dan membuka SoundCloud. Portofolionya penuh lagu-lagu indie yang ia tulis sendiri, tapi like dan share tak cukup membayar sewa apartemen yang telat dua bulan. "Sebagai penulis lagu lepas, aku harus lebih baik," gumam Naya pada diri sendiri, jari-jarinya menari di keyboard laptop, mencoba menulis lirik baru. Tapi kata-kata tak mengalir, seperti sungai yang tersumbat oleh kekhawatiran. Jakarta bukan kota yang ramah untuk mimpi seperti miliknya—iklan radio kecil, cover kafe, itu saja yang ia dapat. Suara adzan magrib bergema dari masjid di ujung gang, samar bercampur gemuruh hujan, mengingatkannya bahwa waktu berlalu cepat, tapi hidup mereka seperti terjebak di tempat yang sama. Ponsel berdering tiba-tiba, nomor tak dikenal yang memecah fokusnya. Naya ragu sejenak, jarinya melayang di atas layar. Telepon seperti ini biasanya penawaran kartu kredit atau penipuan, tapi sesuatu mendorongnya untuk mengangkat. "Halo?" jawab Naya, suaranya hati-hati. "Naya Putri? Ini Dita dari Panitia Konser Amal Senayan," kata suara di ujung sana, profesional tapi hangat, dengan aksen Jakarta yang kental. "Kami ingin Anda tulis lagu tema untuk acara kami." Naya membeku, jantungnya berdegup kencang hingga terasa di telinga. Konser Amal Senayan? Acara besar itu disiarkan di TV nasional, dihadiri artis papan atas dan elit kota. "Kenapa saya?" tanyanya, suaranya hampir bergetar, pikiran melayang ke tagihan rumah sakit yang menumpuk di meja. "Saya bukan siapa-siapa. Portofolio saya cuma di SoundCloud." "Justru itu yang mengesankan," balas Dita, nadanya meyakinkan. "Lagu-lagu Anda punya jiwa, Naya. Kami butuh talenta muda seperti Anda untuk lagu tema yang bisa menyentuh hati. Ini kesempatan besar—eksposur nasional, bayaran layak, dan bisa jadi pintu masuk ke industri musik." Bayaran layak. Kata-kata itu seperti cahaya di tengah kegelapan. Naya menatap pintu kamar ibunya, membayangkan bisa membayar tagihan tanpa khawatir sewa apartemen. Tapi keraguan menggerogoti, seperti ingatan ayahnya yang pernah janji manis tentang karier musik tapi akhirnya menghilang. Dunia itu penuh pengkhianatan, dan ia tak mau jadi korban lagi. "Baik, saya pikirkan dulu," jawabnya pelan, mencoba menahan debar di dadanya. "Kasih tahu detailnya, ya?" Dita tertawa kecil. "Tentu. Kami butuh lagu melankolis tapi penuh harapan. Besok jam 10 di studio Kemang, ketemu produser utama, Rian Pratama. Jangan lewatkan, Naya." Panggilan berakhir, meninggalkan Naya dalam keheningan yang berat. Rian Pratama—nama itu terasa familiar, seperti dengungan lagu yang pernah ia dengar tapi tak bisa ingat. Malam itu, setelah memastikan ibunya tertidur nyenyak, Naya duduk di depan laptop lagi, cahaya layar menerangi wajahnya yang lelah. Ia membuka browser, mengetik "Rian Pratama" dengan jari gemetar. Artikel pertama muncul: Rian Pratama, Produser Muda yang Tersandung Skandal Plagiarisme. Foto Rian di sana—pria dengan rahang tegas, rambut sedikit berantakan, sorot mata tajam seperti menyimpan rahasia—membuat Naya menahan napas. Ada senyum tipis di bibirnya, tapi Naya tak bisa membaca apakah itu tulus atau pura-pura. "Orang seperti ini yang akan aku hadapi?" gumamnya, tapi ada sesuatu di mata Rian yang membuatnya tak bisa berpaling, seperti nada yang memanggil dari kegelapan. Ia menutup laptop, berjalan ke jendela, menatap hujan yang mengguyur Tebet. Lampu warung kopi di gang berkedip, anak tetangga tertawa meski basah kuyup. Jakarta selalu penuh kejutan, tapi juga risiko. Apakah kesempatan ini jalan keluar, atau jebakan baru seperti ayahnya? Tiba-tiba, ponsel berdering lagi—nomor tak dikenal. Naya mengangkat dengan ragu. "Halo?" "Naya, ini ayahmu. Kita perlu bicara, sebelum semuanya terlambat," kata suara di ujung sana, suara Budi Santoso yang dulu familiar tapi kini seperti hantu. Naya membeku, jantungnya berdegup kencang. Setelah sepuluh tahun tanpa kabar, kenapa ayahnya muncul sekarang, dan apa "terlambat" yang ia maksud?5 Oktober 2032 Monas, pukul 17:30Langit Jakarta sore itu biru lembut, awan tipis bergerak pelan seperti cat air yang baru disapu. Tidak ada panggung megah. Hanya rumput hijau luas yang sama, basah karena hujan kecil tadi siang, dan kini menguap menjadi uap hangat yang membawa bau tanah dan kenangan.Lima tahun sudah lewat sejak malam Baby Rain debut di tempat ini.Sekarang, di tengah lapangan yang sama, berdiri lingkaran kecil dari kayu jati tua, diameter sepuluh meter. Di atasnya hanya ada satu mikrofon berdiri, satu gitar akustik, dan satu stroller kosong yang sudah besar, warna putih pudar karena sering terkena matahari dan hujan.Di depan lingkaran itu, satu juta orang duduk di rumput. Tidak ada tiket. Tidak ada sponsor. Hanya undangan terbuka di Instagram Tiga Suara: “Kami pulang ke rumah. Kalau kalian mau ikut, datang aja.”Dan mereka datang. Dari Sabang sampai Merauke. Ada yang bawa anak kecil, ada yang bawa orang tua, ada yang bawa spanduk tulis tangan:
Angka di layar LED raksasa terus berlari liar: 500.000.000 → 503.217.890 → 507.892.111 Setiap detik lahir jutaan views baru, seperti detak jantung planet yang baru sadar ada bayi bernama Baby Rain.Pukul 00:17, 6 Oktober 2027. Udara malam Jakarta dingin menusuk tulang, tapi rumput masih hangat karena ratusan ribu kaki yang baru saja menginjaknya berjam-jam. Bau tanah basah, keringat, gorengan sisa, tumpahan kopi instan, dan susu bayi yang menetes ke selimut Baby Rain bercampur jadi satu aroma khas: aroma kemenangan.Rian menatap layar, napasnya membentuk kabut kecil di udara. Kaus hitamnya sudah menempel kulit seperti kulit kedua, rambut acak-acakan menempel dahi, jari kanannya berdarah sedikit karena senar E putus tadi, tapi dia bahkan tidak merasakan sakit. Dia hanya tersenyum lelet, seperti orang yang baru sadar dia menang lotre dunia.Naya mendorong stroller perlahan mendekat. Roda kecilnya berderit pelan di rumput becek, meninggalkan jejak ban tipis yang langsung tert
Langit Jakarta masih menetes-netes sisa gerimis ketika jam di drone TMZ berkedip tepat pukul 22:45, 5 Oktober 2027. Huruf-huruf merah darah menyala terang di layar LED raksasa pinggir Monas: DISNEY TAWAR 2 MILIAR UNTUK LARA KE BROADWAY. Angka 2.000.000.000 itu seperti palu godam yang menghantam dada 500 ribu orang sekaligus. Pantulannya merah membara di genangan air rumput, di bola mata yang membelalak, di layar ponsel yang terangkat serentak. Hujan baru saja reda, tapi udara malam masih berat—lembab, lengket, bau tanah basah bercampur keringat massa, gorengan yang sudah dingin, asap knalpot motor polisi yang baru saja meninggalkan barikade. Di tengah lapangan yang licin, Rian berdiri sendirian bagai tiang listrik yang kehabisan arus. Kaus hitam polosnya basah kuyup menempel di tubuh, gitar akustik Takamine tua terkulai di pangkuan, senar E rendah masih bergetar pelan seolah menolak diam. Di depannya, stroller Baby Rain berwarna abu-abu tua berlumur lumpur. Naya duduk bersil
Drone TMZ menukik tajam pukul 21:15, 5 Oktober 2027. Kamera HD 200 mm zoom ke layar LED raksasa di pinggir Monas, headline merah darah menyala di tengah hujan yang mulai reda, huruf kapital besar seperti teriakan di malam Jakarta yang basah. NETFLIX TAWAR 1 MILIAR KEMBALI KE VITA. Angka 1.000.000.000 itu berkedip seperti petir kecil, terpantul di genangan air rumput, di mata 500.000 orang yang mulai terdiam. Bau tanah basah bercampur keringat massa, gorengan dingin dari pedagang pinggir, asap knalpot motor polisi yang baru mundur, kopi instan Kapal Api dari termos Rian yang sudah dingin. Rian berdiri di tengah lapangan, kaus hitam polos basah kuyup menempel kulit, gitar akustik di pangkuan, senar E basah tapi masih berbunyi pelan seperti napas terakhir lagu. Naya di stroller Baby Rain, hoodie abu-abu Juilliard basah kuyup, tangan gemetar di perut kosong pasca-lahir, napas tersengal seperti nada minor yang menunggu resolusi. Baby Rain 3 hari di stroller, selimut putih basah setengah,
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.