*Malam itu, kuajak Vier berjalan-jalan sebentar membeli jajanan di taman kecil dekat apartemen. Biasanya anak itu akan riang, berlari sambil menenteng es krim atau minuman kesukaannya. Tapi malam ini berbeda. Vier hanya berjalan pelan di sampingku, wajahnya datar tanpa semangat.Ada perih yang tiba-tiba mengalir di dada. Aku mulai takut — takut kalau keberadaanku tak lagi membawa kebahagiaan bagi anakku sendiri.“Sayang,” ujarku perlahan, mencoba tersenyum, “kamu nggak suka jalan-jalan sama Mama, ya?”Vier menatapku sekilas. Sedotan minumannya terdengar nyaring di antara keheningan kami. Dia menggeleng, tapi tetap tak bersuara.“Vier lebih suka main sama Kak Laila dan Tante Elis, ya?” tanyaku lagi, kali ini dengan nada setengah bercanda, meski hatiku berdebar tak tenang.Kepalanya kembali menggeleng. “Lalu kenapa, Sayang?” suaraku melemah, nyaris tak terdengar.Vier diam lama, sebelum akhirnya menatapku dengan polos dan bertanya lirih, “Kenapa Papa nggak sama kita, Ma?”Aku terpaku
Last Updated : 2025-10-13 Read more