“Kalau hanya satu jiwa yang boleh keluar… siapa yang kau pilih, Naira?” Suara Revan berbisik di telinganya, padahal kabut begitu pekat hingga wajahnya pun nyaris tak terlihat. “Aku tidak akan memilih!” balas Naira, suaranya parau oleh ketakutan. Namun tanah di bawah kakinya mulai bergetar. Dari celah-celah hitam, tangan-tangan pucat menjulur keluar—ratusan, ribuan, berebutan meraih pergelangan kakinya. Jemari itu dingin, basah, dan lengket seperti lumpur yang hidup. “Ini… rawa jiwa,” ujar Revan, nadanya datar, tapi ada getir yang tak ia sembunyikan. “Tempat semua ikatan yang pernah kau lepaskan mencari jalan kembali.” Naira berusaha mengibas tangan-tangan itu, tapi semakin kuat ia meronta, semakin erat genggaman mereka. Jeritan menggema dari arah kabut. Dari jauh, muncul sosok-sosok samar—wajah-wajah orang yang dulu pernah diampuni. Kirana, Pak Edwin, bahkan anak kecil yang pernah ia selamatkan. Mereka berjalan di atas lumpur, tapi mata mereka kosong, penuh amarah. “Naira… kena
Last Updated : 2025-09-15 Read more