Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari

Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari

last updateTerakhir Diperbarui : 2025-07-28
Oleh:  T.Y.LOVIRABaru saja diperbarui
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Belum ada penilaian
8Bab
13Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari   Naira hanya ingin bertahan hidup. Tapi ketika tawaran 90 hari itu datang, ia tak tahu bahwa yang ia jual bukan sekadar waktunya — melainkan dirinya.   Revan Malik, pria misterius dengan kerajaan yang dibangun dari darah dan rahasia, membeli kontrak hidupnya. Namun di balik pintu penthouse mewah, Naira menemukan warisan yang jauh lebih tua dari uang, hutang, dan dosa: ia adalah simpul terakhir dari para penjaga gerbang dunia bawah.   Setiap malam, suara-suara memanggil. Bayangan orang-orang yang ia cintai datang dengan wajah yang bukan milik mereka. Dan keris berkarat warisan kakeknya… mulai hidup.   90 hari untuk membayar. 90 hari untuk memilih. Apakah Naira akan menutup gerbang… atau membuka semua jalan menuju neraka?

Lihat lebih banyak

Bab 1

Bab 1 – 90 Hari untuk Hidup

"Kalau hidupmu cuma dihargai sembilan puluh hari, kamu bakal jual ke siapa?"

Suara itu menghantui pikirannya. Seperti gema dari masa lalu yang tak mau mati. Suara kakeknya — pelan, tapi tajam — datang bersama memori yang tak pernah bisa ia buang: aroma dupa yang terbakar, darah ayam kampung yang mengalir di tanah basah, dan rumah kayu reyot yang jadi saksi doa-doa putus asa keluarganya.

Tapi sekarang, tak ada dupa. Tak ada mantra.

Yang ada cuma kontrak plastik bening. Dan sebilah keris tua berkarat, dibungkus sobekan kain kafan — peninggalan kakeknya, diselipkan sebelum ia pergi ke liang lahat.

"Kalau mereka bohong padamu, cucuku… keris itu akan bicara."

Kata-kata terakhir itu bergaung di kepalanya ketika ia berdiri di depan lift hotel bintang lima. Tangannya gemetar menggenggam kontrak. Nafasnya pendek, berat, seperti paru-parunya menolak udara.

"Ini bukan aku… Tapi aku juga bukan siapa-siapa."

Empat bulan lalu, dia hampir jadi TKI. Semua uang pinjaman untuk ke Taiwan lenyap bersama agen yang kabur. Ayahnya terkena stroke. Adiknya harus cuci darah dua kali seminggu. Dan orang-orang yang katanya keluarga? Mereka justru menagih, seperti burung nasar mengerubungi bangkai.

Lalu datanglah tawaran itu: 90 hari. Hidup ditukar. Tanpa tanya. Tanpa belas kasihan.

"Sembilan puluh hari bukan selamanya," gumamnya. "Setelah itu, aku bisa pulang. Bisa hidup."

Lift berbunyi. Lantai 33. Pintu terbuka.

Lorong itu sunyi. Suite luas dan mewah menunggu di ujung, tapi udara menusuk kulitnya. Bukan dingin dari AC. Ada sesuatu yang lain. Samar, aroma dupa menyelinap di udara steril — aroma masa kecil, aroma ritual yang tak lagi ia mengerti.

"Kenapa baunya sama…?"

Di balik meja hitam berdiri pria itu. Tegak. Dingin. Wajah seperti pahatan batu.

Revan Malik.

Nama yang beredar di lorong bawah tanah Jakarta. Nama yang dibisikkan orang-orang, bersama cerita tentang kekuasaan, darah, dan rahasia.

Dan kini, dia membeli hidup Naira.

“Duduk.”

Suaranya datar, tanpa ruang untuk menawar.

Naira duduk. Kursi itu empuk, tapi dinginnya menembus paha, merambat ke tulang.

“Kontrakmu.”

Tangannya menyodorkan map bening. Revan membukanya, menelusuri halaman-halaman dengan tatapan tak terbaca.

Sampai tanda tangan terakhir. Ia menutup map, menyimpannya di laci. Seolah mengurung nyawa Naira di sana.

“Kamu sadar saat menandatangani?”

Naira mengangguk, pelan. “Kenapa saya?”

“Karena kamu bukan pelacur. Tapi kamu menyerah. Dan itu lebih… menarik.”

Naira menunduk, menahan tatapannya.

“Kalau saya berubah pikiran…?”

“Kamu tidak bisa.”

Revan bangkit. Mendekat. Langkahnya berat, tapi tenang. Matanya menelusuri wajah Naira tanpa sentuhan.

“Perempuan seperti kamu… selalu datang terlambat ke hidup mereka sendiri.”

Diam.

Naira memberanikan diri. “Apa Anda akan menyentuh saya malam ini?”

Dia berhenti. Napasnya nyaris menyentuh pipinya.

“Tidak,” katanya. “Karena kamu akan berharap aku melakukannya. Dan aku ingin lihat kamu… memohon.”

Sebuah kartu hitam disodorkan ke meja.

“Penthouse 9B. Tak ada kode. Tak ada penjaga. Tapi kamu tak akan pernah benar-benar pergi. Aku selalu tahu di mana kamu.”

Jari-jarinya meraihnya. Dan saat kulitnya bersentuhan dengan kartu itu, sebuah firasat aneh merambat di tubuhnya. Panas. Lalu dingin. Seperti api yang menolak padam.

Di dalam tas, keris berdetak. Seperti jantung kedua.

Saat hendak melangkah, Revan memanggil: “Naira.”

Dia menoleh.

“Kamu tahu apa yang baru saja kamu serahkan padaku?”

Naira menarik napas. “Kontrol atas hidup saya.”

Revan tersenyum tipis. “Salah. Kamu baru saja menyerahkan alasan kenapa kamu masih hidup… sampai hari ini.”

Lift menutup. Angka 9 menyala merah.

Naira berdiri kaku. Kontrak sudah ditandatangani. Kartu sudah di tangan. Tapi sesuatu… tertinggal di lantai 33.

Penthouse 9B.

Pintu terbuka otomatis. Lampu menyala satu per satu. Seolah menyambut. Atau… menjebak.

Di meja kayu gelap dekat ranjang, hanya ada satu benda: map coklat.

Di dalamnya, selembar kertas bertulisan tangan:

"Hari Pertama: Kamu akan diam. Aku akan melihat."

Dingin menjalar dari tengkuk hingga perut. Lalu…

…napas seseorang terasa di belakangnya.

Naira menoleh cepat. Kosong.

Tapi keris dalam tas berdetak dua kali lebih cepat.

Ruang itu terlalu sunyi. Terlalu rapi. Terlalu sadar akan dirinya.

“Tiga bulan. Tidur. Lalu selesai,” katanya pada dirinya sendiri.

Tapi bahkan suaranya terdengar aneh. Bergema aneh. Dinding itu… seperti menyimpan sesuatu.

Ia menatap kembali kertas di map.

"Hari Pertama: Kamu akan diam. Aku akan melihat."

Tinta merah samar mulai muncul di bawah tulisan itu — mengalir pelan… seperti darah yang merembes dari dalam kertas.

Naira menelan ludah. Tangannya gemetar. Tapi saat ia hendak menaruh kembali kertas itu, mapnya terasa… lebih berat.

“Jangan halu, Na. Ini cuma lelah,” bisiknya.

Dia duduk di tepi ranjang. Kartu hitam masih di tangan. Jemarinya kaku. Keris di dalam tas berdenyut pelan. Tapi kali ini—seperti jantung kedua yang hidup di luar tubuh.

BUK!

Sesuatu jatuh dari langit-langit kamar mandi.

Naira melompat.

Benda itu jatuh… dan berhenti di kakinya.

Sebuah foto. Hitam-putih. Lama.

Seorang pria berdiri di tengah sawah berkabut. Mengenakan sarung. Menatap kamera. Wajahnya—kakek Naira.

Tapi di belakangnya… samar… ada sosok lain. Tinggi. Tegap. Tak jelas.

Di balik foto, tulisan tangan:

"Tukar nyawa. 90 hari. Gerbang terbuka."

Naira membeku. Dunia terasa miring.

Ini bukan soal kontrak. Ini soal warisan.

Warisan yang jauh lebih tua dari uang… seks… atau hutang.

Ia menatap cermin kamar mandi. Embun perlahan membentuk kalimat.

"Hari Pertama belum selesai."

Suara gesekan terdengar dari bawah ranjang. Pelan. Teratur. Seperti sesuatu… atau seseorang… menunggu untuk keluar.

 

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

Bab Lainnya

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

Tidak ada komentar
8 Bab
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status