Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari Naira hanya ingin bertahan hidup. Tapi ketika tawaran 90 hari itu datang, ia tak tahu bahwa yang ia jual bukan sekadar waktunya — melainkan dirinya. Revan Malik, pria misterius dengan kerajaan yang dibangun dari darah dan rahasia, membeli kontrak hidupnya. Namun di balik pintu penthouse mewah, Naira menemukan warisan yang jauh lebih tua dari uang, hutang, dan dosa: ia adalah simpul terakhir dari para penjaga gerbang dunia bawah. Setiap malam, suara-suara memanggil. Bayangan orang-orang yang ia cintai datang dengan wajah yang bukan milik mereka. Dan keris berkarat warisan kakeknya… mulai hidup. 90 hari untuk membayar. 90 hari untuk memilih. Apakah Naira akan menutup gerbang… atau membuka semua jalan menuju neraka?
View More"Kalau hidupmu cuma dihargai sembilan puluh hari, kamu bakal jual ke siapa?"
Suara itu menghantui pikirannya. Seperti gema dari masa lalu yang tak mau mati. Suara kakeknya — pelan, tapi tajam — datang bersama memori yang tak pernah bisa ia buang: aroma dupa yang terbakar, darah ayam kampung yang mengalir di tanah basah, dan rumah kayu reyot yang jadi saksi doa-doa putus asa keluarganya. Tapi sekarang, tak ada dupa. Tak ada mantra. Yang ada cuma kontrak plastik bening. Dan sebilah keris tua berkarat, dibungkus sobekan kain kafan — peninggalan kakeknya, diselipkan sebelum ia pergi ke liang lahat. "Kalau mereka bohong padamu, cucuku… keris itu akan bicara." Kata-kata terakhir itu bergaung di kepalanya ketika ia berdiri di depan lift hotel bintang lima. Tangannya gemetar menggenggam kontrak. Nafasnya pendek, berat, seperti paru-parunya menolak udara. "Ini bukan aku… Tapi aku juga bukan siapa-siapa." Empat bulan lalu, dia hampir jadi TKI. Semua uang pinjaman untuk ke Taiwan lenyap bersama agen yang kabur. Ayahnya terkena stroke. Adiknya harus cuci darah dua kali seminggu. Dan orang-orang yang katanya keluarga? Mereka justru menagih, seperti burung nasar mengerubungi bangkai. Lalu datanglah tawaran itu: 90 hari. Hidup ditukar. Tanpa tanya. Tanpa belas kasihan. "Sembilan puluh hari bukan selamanya," gumamnya. "Setelah itu, aku bisa pulang. Bisa hidup." Lift berbunyi. Lantai 33. Pintu terbuka. Lorong itu sunyi. Suite luas dan mewah menunggu di ujung, tapi udara menusuk kulitnya. Bukan dingin dari AC. Ada sesuatu yang lain. Samar, aroma dupa menyelinap di udara steril — aroma masa kecil, aroma ritual yang tak lagi ia mengerti. "Kenapa baunya sama…?" Di balik meja hitam berdiri pria itu. Tegak. Dingin. Wajah seperti pahatan batu. Revan Malik. Nama yang beredar di lorong bawah tanah Jakarta. Nama yang dibisikkan orang-orang, bersama cerita tentang kekuasaan, darah, dan rahasia. Dan kini, dia membeli hidup Naira. “Duduk.” Suaranya datar, tanpa ruang untuk menawar. Naira duduk. Kursi itu empuk, tapi dinginnya menembus paha, merambat ke tulang. “Kontrakmu.” Tangannya menyodorkan map bening. Revan membukanya, menelusuri halaman-halaman dengan tatapan tak terbaca. Sampai tanda tangan terakhir. Ia menutup map, menyimpannya di laci. Seolah mengurung nyawa Naira di sana. “Kamu sadar saat menandatangani?” Naira mengangguk, pelan. “Kenapa saya?” “Karena kamu bukan pelacur. Tapi kamu menyerah. Dan itu lebih… menarik.” Naira menunduk, menahan tatapannya. “Kalau saya berubah pikiran…?” “Kamu tidak bisa.” Revan bangkit. Mendekat. Langkahnya berat, tapi tenang. Matanya menelusuri wajah Naira tanpa sentuhan. “Perempuan seperti kamu… selalu datang terlambat ke hidup mereka sendiri.” Diam. Naira memberanikan diri. “Apa Anda akan menyentuh saya malam ini?” Dia berhenti. Napasnya nyaris menyentuh pipinya. “Tidak,” katanya. “Karena kamu akan berharap aku melakukannya. Dan aku ingin lihat kamu… memohon.” Sebuah kartu hitam disodorkan ke meja. “Penthouse 9B. Tak ada kode. Tak ada penjaga. Tapi kamu tak akan pernah benar-benar pergi. Aku selalu tahu di mana kamu.” Jari-jarinya meraihnya. Dan saat kulitnya bersentuhan dengan kartu itu, sebuah firasat aneh merambat di tubuhnya. Panas. Lalu dingin. Seperti api yang menolak padam. Di dalam tas, keris berdetak. Seperti jantung kedua. Saat hendak melangkah, Revan memanggil: “Naira.” Dia menoleh. “Kamu tahu apa yang baru saja kamu serahkan padaku?” Naira menarik napas. “Kontrol atas hidup saya.” Revan tersenyum tipis. “Salah. Kamu baru saja menyerahkan alasan kenapa kamu masih hidup… sampai hari ini.” Lift menutup. Angka 9 menyala merah. Naira berdiri kaku. Kontrak sudah ditandatangani. Kartu sudah di tangan. Tapi sesuatu… tertinggal di lantai 33. Penthouse 9B. Pintu terbuka otomatis. Lampu menyala satu per satu. Seolah menyambut. Atau… menjebak. Di meja kayu gelap dekat ranjang, hanya ada satu benda: map coklat. Di dalamnya, selembar kertas bertulisan tangan: "Hari Pertama: Kamu akan diam. Aku akan melihat." Dingin menjalar dari tengkuk hingga perut. Lalu… …napas seseorang terasa di belakangnya. Naira menoleh cepat. Kosong. Tapi keris dalam tas berdetak dua kali lebih cepat. Ruang itu terlalu sunyi. Terlalu rapi. Terlalu sadar akan dirinya. “Tiga bulan. Tidur. Lalu selesai,” katanya pada dirinya sendiri. Tapi bahkan suaranya terdengar aneh. Bergema aneh. Dinding itu… seperti menyimpan sesuatu. Ia menatap kembali kertas di map. "Hari Pertama: Kamu akan diam. Aku akan melihat." Tinta merah samar mulai muncul di bawah tulisan itu — mengalir pelan… seperti darah yang merembes dari dalam kertas. Naira menelan ludah. Tangannya gemetar. Tapi saat ia hendak menaruh kembali kertas itu, mapnya terasa… lebih berat. “Jangan halu, Na. Ini cuma lelah,” bisiknya. Dia duduk di tepi ranjang. Kartu hitam masih di tangan. Jemarinya kaku. Keris di dalam tas berdenyut pelan. Tapi kali ini—seperti jantung kedua yang hidup di luar tubuh. BUK! Sesuatu jatuh dari langit-langit kamar mandi. Naira melompat. Benda itu jatuh… dan berhenti di kakinya. Sebuah foto. Hitam-putih. Lama. Seorang pria berdiri di tengah sawah berkabut. Mengenakan sarung. Menatap kamera. Wajahnya—kakek Naira. Tapi di belakangnya… samar… ada sosok lain. Tinggi. Tegap. Tak jelas. Di balik foto, tulisan tangan: "Tukar nyawa. 90 hari. Gerbang terbuka." Naira membeku. Dunia terasa miring. Ini bukan soal kontrak. Ini soal warisan. Warisan yang jauh lebih tua dari uang… seks… atau hutang. Ia menatap cermin kamar mandi. Embun perlahan membentuk kalimat. "Hari Pertama belum selesai." Suara gesekan terdengar dari bawah ranjang. Pelan. Teratur. Seperti sesuatu… atau seseorang… menunggu untuk keluar.“Apa yang lebih menakutkan dari kematian itu sendiri, Naira?” Suara itu datang dari kegelapan koridor. Revan menatap sekeliling, tapi Naira tahu itu bukan suara Revan—itu suara pintu kesembilan, suara kontrak yang bersemayam di dalam darahnya. Langkahnya berat. Lantai koridor licin, basah, seolah terbuat dari darah yang baru saja ditumpahkan. Setiap pijakan meninggalkan jejak kaki merah yang cepat menghilang. Di ujung koridor, pintu itu berdiri. Pintu kayu tua dengan simbol-simbol merah berdenyut seperti nadi. Dari celah-celahnya, terdengar suara lirih… tangisan ibunya, tawa Linda, batuk ayahnya. Semuanya bercampur, memanggil namanya. “Naira…” suara ibunya bergetar. “Tolong aku… jangan biarkan aku hilang.” Tangannya gemetar menggenggam keris. Revan berdiri di sampingnya, tapi wajahnya kali ini gelap, matanya seperti retak kaca. “Kalau kau masuk, tak ada jalan kembali,” katanya pelan. “Pintu kesembilan hanya membuka kalau kau sudah siap membayar dengan sesuatu yang tak bisa dikem
“Kalau kau buka pintu itu… kau tak akan lagi mengenali siapa dirimu.” Suara Revan pelan, tapi gemanya terdengar dari segala arah. Naira menatap pintu raksasa berurat merah itu. Jantungnya berdetak seirama dengan denyut pintu. Luka di dadanya masih basah, tapi genggaman pada keris semakin kencang. “Aku sudah kehilangan semuanya, Revan. Apa lagi yang bisa diambil dariku?” Pintu berderit. Perlahan, akar merah yang menutupinya terurai, seakan membukakan jalan bukan karena kehendak Naira, tapi karena sesuatu di baliknya sudah menunggu. Begitu pintu terbuka, hawa dingin menerpa, membuat tubuh Naira gemetar meski peluhnya masih menetes. Ia melangkah masuk. Ruangan itu bundar, dindingnya tinggi menjulang, dan di setiap sisi—menempel wajah-wajah manusia. Linda. Ayahnya. Ibunya. Revan. Bahkan wajah Naira sendiri. Mereka tertanam di dinding seperti ukiran hidup, mata mereka terbuka, mengikuti setiap langkahnya. Suara lirih bergema, ratusan bisikan menyatu: “Kenapa kau tinggalkan kami…?”
“Apa kau tahu rasanya tinggal satu jiwa saja yang tersisa?” Suara Revan pecah di antara kabut, berat, tapi penuh kegetiran. Naira menoleh. Revan berdiri goyah, tubuhnya masih berdarah, tapi matanya tajam menatapnya. Simbol merah di bawah tulang selangka Naira berdenyut semakin cepat, seperti jantung kedua yang hendak meledak. “Jangan bicara seolah kau mengerti perasaanku,” balas Naira dengan suara bergetar. “Aku yang kehilangan—ibuku, adikku, bahkan wajah sendiri di cermin. Kau masih berdiri dengan bayangan-bayanganmu!” Revan tersenyum samar. “Justru karena itu aku tahu. Kau kira aku masih manusia penuh? Aku hanya sisa dari delapan bayangan yang kau bunuh.” Kabut di sekitar mereka bergerak liar, seperti tangan-tangan tak kasatmata meraih tubuh mereka. Dari jauh, terdengar suara gonggongan anjing bercampur tangisan bayi—suara yang tak masuk akal tapi menusuk ke kepala Naira. Dia menatap simbol merah di kulitnya. “Kalau pintu kesembilan terbuka… aku akan kehilangan apa lagi?” Rev
“Kalau aku mati… apa kau masih percaya ada yang asli dariku?” Suara Revan terdengar di samping telinga Naira. Dia menoleh cepat—dan jantungnya hampir berhenti. Di ruangan itu, ada delapan Revan. Mereka berdiri melingkar, menatapnya dengan tatapan identik, dingin, menusuk. Wajah yang sama, pakaian yang sama, bahkan darah yang menetes di kemeja hitam itu pun identik. Naira mundur, punggungnya menempel ke pintu yang baru saja menelannya masuk. “Ini gila…” bisiknya. Salah satu Revan melangkah maju. “Aku yang asli.” Revan lain menyusul. “Bukan dia. Aku yang kau cari.” Yang ketiga menambahkan dengan nada lebih dingin, “Kalau kau salah pilih, kau akan terjebak di sini. Selamanya.” Delapan suara berbicara hampir bersamaan, bercampur, berlapis, membuat kepala Naira terasa pecah. Dia menutup telinga, tapi suara-suara itu justru bergetar dari dalam otaknya. “Aku kakakmu.” “Aku penjaga kontrak.” “Aku bayangan yang kau ciptakan.” “Aku janji terakhir kakekmu.” Semua bersuara dengan w
“Revan…” Naira hampir tak percaya pada matanya. Di hadapannya berjejer delapan sosok Revan di balik cermin, masing-masing hidup, bergerak, berbicara. Satu mengenakan jas hitam rapi, berwibawa. Satu mengenakan pakaian lusuh, dengan tatapan iba. Satu lagi tersenyum hangat, seperti pria biasa. Tapi ada pula yang matanya merah, wajah retak, tubuhnya miring seperti boneka patah. “Mana… yang asli?” Pertanyaan itu keluar begitu saja. Suaranya pecah. Delapan Revan serempak berbicara, tapi kalimat mereka berbeda-beda: “Aku pelindungmu.” “Aku pencipta kontrak.” “Aku kakakmu.” “Aku bayanganmu.” “Aku yang akan membunuhmu.” “Aku lelaki yang mencintaimu.” “Aku hanya mimpi burukmu.” “Aku… satu-satunya pilihanmu.” Suara-suara itu bergema, menabrak kepala Naira. Ia mundur selangkah, keris di tangannya bergetar seperti tahu siapa musuhnya. “Cukup!!” teriak Naira, suaranya melawan gaung ruang cermin. “Aku hanya butuh satu Revan. Yang asli!” Delapan sosok itu tersenyum serempak, tapi b
Api merah masih menari di udara, menjilat kabut yang belum sempat surut. Bau daging gosong bercampur lumpur terbakar memenuhi paru-paru Naira. “Aku… benar-benar membakar mereka,” bisiknya, suaranya parau, hampir tak terdengar. Tapi jejak wajah-wajah itu masih melekat di retina. Linda. Ayah. Orang-orang yang dulu ia ampuni. Semuanya hancur, menyisakan debu. Revan berdiri tak jauh darinya, siluetnya memantul di kobaran api. “Kau tidak membakar mereka,” katanya dingin. “Kau membakar ikatanmu dengan mereka. Kau yang melepaskan, kau juga yang harus menghapus. Itu harga pintu ketujuh.” Naira menggenggam keris erat-erat. Bilahnya masih hangat, tapi warnanya sudah kembali kusam. Entah mengapa, keris itu terasa lebih berat sekarang, seolah menyerap jiwa-jiwa yang tadi terbakar. Kabut berputar, lalu memadat menjadi dinding-dinding batu hitam. Mereka terjebak dalam sebuah ruangan bundar. Di tengahnya, pilar menjulang, retak, dengan simbol merah menyala di permukaannya. Naira mendekat. Simb
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments