Kemarahan yang jarang muncul meledak di dada Raisa, dan dia tak kuasa menahan diri untuk mencengkeram pergelangan tangan Mirna dengan kuat."Bibi, kamu benar-benar peduli padanya ya!"Mirna ketakutan melihat kemarahan di mata Raisa.Raisa selalu cerdas, berperilaku baik, dan bijaksana, dan jarang melihatnya kehilangan kendali atas emosinya..."Silakan Bibi memanjakannya, mencintainya, dan peduli padanya, tapi, tolong, jangan lakukan itu di depanku, boleh ya?"Raisa mengucapkan separuh kalimat terakhir itu dengan penekanan kata per kata.Dia mengajukan permintaan yang begitu serius kepada Mirna, tidak sulit untuk melakukannya, dan Bibinya seharusnya bisa menyetujuinya.Namun, Mirna membuka mulutnya dan tampak ragu, "Tapi..."Wajahnya penuh rasa ragu dan kebingungan, dia tetap tidak bisa memberikan jawaban.Kemarahan Raisa seperti memukul kapas, tak ada hasilnya.Dia tiba-tiba menjadi tenang, dan amarahnya pun langsung padam.Raisa menatap Mirna dengan tenang selama dua detik, tanpa berk
Read more