Sudah hampir satu bulan ini Ceria naik kelas, dari biasanya hanya naik ojek online dengan menggendong Iren wara-wiri setiap pagi dan sore, kini dia diantar jemput oleh mobil. Meskipun hanya mobil operasional perusahaan, namun hal itu cukup meringankan bebannya dan sangat membantunya. Namun terkadang Bagja merasa tidak nyaman ketika Mr Mark turut serta, beberapa kali dia mendapati lelaki bule itu menggendong Iren, dan putrinya tampak sangat bahagia dan akrab sekali dengan lelaki itu. Selama memiliki Iren, Bagja terkenal cuek dan hanya seperlunya terhadap gadis kecil itu. Karenanya Iren pun tidak terlalu dekat dengannya, gadis kecil itu sepenuhnya bergantung pada Ceria.
Pagi itu Bagja sudah rapi mengenakan setelan jaket padahal biasanya dia berangkat ke kantor agak siang. Dia menghampiri Ceria dan Iren yang masih sarapan. Ceria membutuhkan waktu lebih lama karena harus menyuapi putri kecilnya itu. Wanita itu mengenakan setelan blezer warna peach dengan rok coksu, dipadu padankan dengan kemeja senada dan sepatu serta tas branded. Setelan khusus yang dibawakan Mark dari Jerman. Pakaian spesial itu dikenakannya karena mau ada meeting dengan kolega penting. Mark mengerti tentang kondisi keuangan Ceria, sehingga dia support juga untuk penampilannya. Itung-itung seragam kerja katanya.
Bagja duduk di sofa, berseberangan dengan kedua ibu dan anak itu. Dia memperhatikan istrinya yang semakin hari terlihat semakin segar dan cantik. Memang sejak kerja kembali, Ceria semakin berubah. Bukan karena hanya ada waktu tapi dia juga memiliki uang sendiri yang bebas dipakainya untuk kebutuhan yang dirasa perlu tanpa takut mendapat gelar istri yang boros dari suaminya. Selain itu, tekanan demi tekanan perasaan yang selama ini dipendamnya dalam diam sedikit terlupakan.
“Iren, hari ini Papa antar Iren ke sekolah ya, sekalian Papa mau ke rumah Nenek,” ucapnya sambil tersenyum pada putri kecilnya.
“Nda mahu, Ilen mau diantel Daddy Mark, kemalin Daddy janji mahu bawain mainan buat Ilen dali Jelman,” gadis itu menggeleng cepat, dan berbicara sambil tetap mengunyah makanan yang hampir penuh pada mulutnya.
DEG
Ada sesuatu yang terasa menghantam ulu hatinya. Bagja merasakan dirinya semakin jauh dan tersisihkan. Laki-laki itu menghela nafas. Kemudian mencoba membujuk Iren kembali.
“Iren, Mr Mark itu bos nya Mamah, jangan panggil Daddy, nanti dia marah, panggil Mr aja ya,” ucap Bagja.
“Nda mahu, mahu panggil Daddy!” Iren berteriak. Bagja menarik nafas panjang kembali.
“Sini sama Papa, nanti Papa belikan boneka Barbie kesukaan Iren yang banyak,” bujuk Bagja, hatinya benar-benar merasa terhantam atas penolakan itu.
“Ilen nda syuka Balbie lagi, Ilen sukanya Taiyo, Ilen mau jadi Taiyo buat antal Mamah kelja, bial ga cape naik motol oline teyus,” ucap Iren dengan bibir yang semakin mengerucut.
“Ilen syayang Mamah,” gadis itu menyembunyikan wajahnya didada Ceria. Tatapan Bagja terlihat kecewa.
“Ri, jangan terlalu dekat dengan Mark, lihat Iren sekarang udah ga mau lagi sama aku,” akhirnya lelaki itu menyalahkan istrinya.
“Lho, bukan salah Mark, justru Mas Bagja yang harus lebih perhatian sama Iren, sudah begitu lama Mas Bagja tidak punya waktu untuk kami Mas, bahkan mainan kesukaan Iren aja Mas Bagja ga tau, jadi jangan salahkan Iren, dia hanya anak kecil Mas,” ucap Ceria.
Tin Tin Tin
Terdengar klakson mobil didepan rumahnya. Pastinya itu supir yang menjemputnya untuk kerja. Ceria bergegas merapikan peralatan makan Iren dan membawanya. Dia akan menyuapi putri kecilnya itu di mobil. Ceria berpamitan pada Bagja yang masih tertegun duduk di sofa. Diraihnya tangan suaminya. Ceria tetap berlaku santun dan menghormati orang yang selalu dia rindukan, Bagja yang dulu dia kenal, bukan Bagja yang sekarang.
“Aku pergi dulu Mas, oh iya nanti malam Mas Bagja jadi menghadiri acara ulang tahun perusahaan kan ya, pulang telat?” tanya Ceria sebelum melangkah. Bagja mengangguk.
“Aku ga akan beli banyak lauk Mas kalo gitu, mungkin aku pulang telat juga karena ada acara meeting dengan kolega bisnis penting, tapi ga sampe larut,” ucap Ceria lagi.
“Aku pamit Mas,” pamit Ceria, Bagja belum sempat menyahut ketika terdengar teriakan Iren meyambut bule Jerman itu.
“Daddy! Daddy!” Iren berlari mendahului Ceria ketika melihat bayangan Mark dari jendela, rupanya lelaki itu ikut lagi menjemput Ceria. Bagja memandang punggung anak dan istrinya dari celah pintu yang terbuka. Matanya tak lepas menyaksikan pemandangan yang tidak mengenakan. Mark tampak gembira menyambut Iren yang melompat-lompat minta di gendong. Mereka masuk kedalam mobil bersamaan, duduk di kursi belakang. Sudah seperti sebuah keluarga.
Bagja mengacak rambutnya, entah kesal pada siapa. Lelaki itu menjatuhkan dirinya pada sofa, dia bersandar dan memejamkan matanya. Kepalanya berdenyut bukan karena sakit, tapi mengingat penolakan telak dari putri semata wayangnya. Tiba-tiba dering ponsel membuyarkan pikirannya.
“Halo Sis,” ternyata Sisy yang menelpon.
“Pak, bisa sekalian jemput aku, di tempat biasa ya,” suara Sisy yang biasanya membuat moodnya membaik, kini sama sekali tidak berpengaruh. Otaknya masih dipenuhi kilatan bayangan Ceria yang memasuki mobil bersama Mark yang menggendong Iren.
“Pak, Pak Bagja,” suara Sisy menyadarkannya kembali.
“Oh ok, iy iya, aku jemput,” ucap Bagja datar.
“Nanti aku biasa ya, beliin kopi kesukaan Bapak, kopi kenangan mantan,” ucap Sisy lagi.
“Oh iya, oke, beli aja,” jawab Bagja, dia menjadi sangat tidak berselera mendengar apapun itu. Kini Sisy tak lagi membuatnya seantusias dulu.
Sepeda motor Bagja meluncur menuju tempat biasa dirinya menjemput Sisy. Dia menjadi ingat, berkali-kali dulu istrinya meminta dia menjaga jarak dengan Sisy, namun dia mengindahkannya. Bagja baru merasakan sesakit apa melihat istri dan anaknya bersama pria lain dan tampak bahagia. Lelaki itu terus melajukan sepeda motornya untuk menjemput staffnya tersebut.
***
Suasana di kantor Ceria berjalan seperti biasa. Wanita itu sudah memberi tahu Mertuanya kalau Iren akan menginap karena dirinya dan Bagja memang pulang agak malam. Ceria sudah mengetahui dimana Bagja akan menghadiri makan malam acara perusahaannya. Dia sengaja memesan hotel yang sama untuknya dan Mr Mark bertemu klien. Beruntung Mark sudah sepenuhnya menyerahkan masalah hotel dan reservasi, sehingga dia bisa lebih mudah menjalankan misinya.
“Mas Bagja, sampai ketemu nanti malam,” gumam Ceria dalam dada sambil tersenyum menatap pantulan dirinya didepan layar ponsel yang baru saja dimatikannya.
Waktu pulang kerja akhirnya datang. Seperti biasa, Ceria akan tampil maksimal agar tidak mempermalukan atasannya. Dia masih mengenakan seragam kerja, merapikan rambut dan memoles make upnya kembali. Make tipis minimalis yang membuatnya terlihat mempesona. Kali ini dia memakai lipstik peach agak orange, menambah cerah wajahnya yang sudah merona dengan sapuan blush on. Mencerminkan penampilan wanita karir yang elegan dan penuh percaya diri.Mr. Mark yang jangkung terlihat semakin gagah dengan mengenakan jas resmi, warna jas yang senada dengan blezer yang dipakai Ceria. Lelaki itu tidak perlu melakukan apapun terhadap wajahnya, hanya mencuci muka saja sudah terlihat segar. Mereka bergegas menuju tempat yang sudah dipesan oleh Ceria. Selama perjalanan, ceria melihat waktu yang berputar, berdasarkan informasi dari Bagja, perusahaannya baru akan memulai acara pada pukul tujuh malam.Beruntung, semua seolah berpihak, mereka tiba di tempat acara
Sisy menatap kecewa pada atasannya yang sudah berlalu meninggalkannya dalam pesta itu. Gadis muda itu menatap punggung Ceria yang kini nyaris menghilang, berbelok ke lobi. Matanya terlihat memendam rasa kesal. Berkali-kali dia mendengus kasar. Sisy menjatuhkan dirinya duduk ke atas sofa. Kemudian dia mengambil ponselnya dan mengirimkan pesan pada Bagja.Sementara itu, langkah Bagja kian cepat mengejar istrinya yang melangkah tergesa. Lelaki itu tampak memiliki satu kekhawatiran terpendam. Hingga pada akhirnya wanita itu didapatkannya.GrepSebuah dekapan tanpa aba-aba. Lelaki itu memeluk tubuh Ceria dari belakang. Ceria sontak terkejut dan hampir saja spontan mendorongnya. Beruntung dia masih mengenali wangi parfum suaminya.“Mas, apaan sih, malu kali di tempat umum,” Ceria mendorong Bagja perlahan untuk menjauh. Dirinya merasa risih menjadi perhatian beberapa orang yang berlalu lalang.
Suasana pagi di rumah Nenek Marta menjadi ramai, mereka sudah duduk bersama untuk sarapan. Ceria sudah membuatkan sarapan dan secangkir kopi hitam untuk suaminya. Wanita itu tak pernah meninggalkan kebiasaannya, tetap melayani suaminya dengan baik. Sementara Iren begitu anteng disuapi oleh neneknya.“Ri, aku anter aja kamu ke kantor hari ini, kasian kalau sopir harus jemput kesini,” ucap Bagja sambil menyeruput kopinya.“Ga usah Mas, lagian Pak Agus pasti udah jalan juga dari kantor, kasian nanti udah jauh-jauh akunya malah ga ikut,” bantah Ceria.TringNotifikasi masuk pada Ponsel Bagja yang tergeletak di meja. Sekilas mata Ceria menangkap nama seseorang pada layar. Wanita itu menarik nafas panjang dan menghentikan sarapannya. Dia bergegas menghampiri Iren dan Nenek Marta yang tadi pindah ke ruang tengah. Semuanya gara-gara Maura, Iren mau sarapan bareng kucing gemuk itu.“Pak, sa
Sejak mendapatkan teguran dari ibunya, Bagja semakin berusaha menjauhi Sisy. Namun semakin berusaha dia hendak menjauh, semakin keras gadis itu berusaha untuk mendekatinya. Kedekatan yang selama ini terasa menyenangkan, menjadi sesuatu yang terasa risih sekarang. Sisy kini sering membawakan Bagja cemilan buatannya sendiri. Bahkan terkadang dia membawakan bekal makan siang.Semakin Sisy mendekatinya, semakin dia memikirkan kedekatan Ceria dengan bosnya. Setiap kali dirinya pergi keluar hangout dengan team pada weekend, istrinya juga pasti punya acara dengan mengajak Iren. Dulu baginya adalah kebahagiaan tersendiri bisa bermain futsal bersama teman-teman sekantornya, terkadang mereka hanya nongkrong di cafe, atau hanya sekedar menghabiskan waktu dengan menyewa sepeda. Beberapa tahun terakhir ini Bagja memang sudah sangat sibuk dengan dunianya sendiri, namun dengan berubahnya Ceria, kini dia mulai berfikir kembali.Seperti hari itu, setelah
Untuk pertama kalinya, Bagja merasakan kehambaran dalam acara gathering. Semua semangat dan antusiasmenya lenyap ketika membayangkan istri dan anaknya sedang berada di Bali bersama orang lain. Berkali-kali dia melihat ponselnya, namun Ceria hanya mengabarinya sekali ketika baru sampai tadi. Selebihnya hanya photo-photo Iren yang terlihat gembira di kamar hotel, di kolam renang, ada juga photo ketika Iren disuapi es krim oleh Mark.TringSebuah chat masuk, wanita-wanita yang biasanya di sapa pada akun social medianya kali ini menyapa karena melihat notifikasi online pada akun Bagja.“Hai malam, gimana touringnya seru?” Venita mengiriminya pesan. Seseorang kenalannya di dunia Maya.“Biasa aja Ven, kepikiran terus istri aku,” jawab Bagja jujur.“Tumben, biasanya kamu kan bebas kalo bisa keluar dari rumah, katanya bosen ngedengerin keluhannya mulu, tentang anak lah, tentang
Dua hari berlalu dengan lambat. Lelaki berambut ikal itu kini sudah kembali ke rumahnya. Sejak pagi dia membereskan rumah sebisanya, pekerjaan yang hampir tidak pernah dilakukannya lagi semenjak menikah. Dia hendak memberikan kejutan pada istrinya dengan membantu meringankan tugasnya. Ya, bagi Bagja membersihkan rumah hanyalah tugas istri. Namun tiba-tiba sebuah pemberitahuan pesan masuk.Tring“Mas, maafin aku, sepertinya pulangnya di undur sehari, ada delay jadwal hari ini, jadi baru pulang darisini besok,” tulis Ceria.“Oh gitu?” hanya itu balasan singkat dari Bagja. Kecewa menjalar seketika pastinya.“Mas pulang touringnya, hati-hati ya dijalan!” tulis Ceria, dia tidak tahu jika suaminya bahkan sudah sampai rumah dari dua hari yang lalu.“Iya,” hanya itu yang ditulis Bagja.Lelaki itu membaringkan tubuhnya di sofa. Kemudian dia tidak lagi ingat yang tejad
TringSebuah pesan masuk. Ternyata dari Mark. Dia menyimpan ponselnya kembali, karena kesulitan untuk membuka pesan sambil menggendong putrinya. Sepeda motor yang ditumpanginya melaju cepat menuju rumah Bu Marta.Setibanya di halaman rumah mertuanya, wanita itu segera membayar ojek online. Dia menggendong tubuh Iren dan memasuki halaman rumah. Bu Marta yang melihatnya langsung berhambur, dia begitu kangen ditinggal Iren beberapa hari ke Bali. Namun senyuman lebarnya berubah seketika melihat mata menantunya yang sembab.Belum sempat Bu Marta bertanya, Ceria sudah memeluknya disertai dengan isakan. Kemudian tangisnya pecah, tumpah ruah dibahu ibu mertuanya. Namun dia segera mencoba menguasai diri, mengingat masih ada gadis kecil di gendongannya.“Iren sayang, main sama Maura ya, kebetulan Kakek ada sedang main juga sama Maura,” ucap Bu Marta sambil mengambil alih Iren dari gendongan menantunya. Dia m
Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam ketika tangan lelaki itu menyentuh daun pintu rumah orang tuanya berkali-kali. Namun sepi, tak terdengar seseorang akan membukakan pintu untuknya. Dia kembali mengetuk-ngetk dengan lebih keras lagi, barulah kemudian gagang pintu itu berputar.CeklekBu Marta berdiri, sekilas wanita itu merasa kasihan melihat wajah putranya yang terlihat lelah dan tanpa semangat hidup. Namun kemarahannya kembali memuncak ketika teringat apa yang disampaikan oleh menantunya siang tadi.“Bagja, masuk, mamah mau bicara,” ucapnya tegas. Bagja mengangguk lemah.“Ria ada disini Mah?” tanya Bagja lemas, sambil mengikuti langkah ibunya menuju sofa ruang tengah. Ternyata ayahnya juga sedang menunggunya disana.“Tadi siang Ria dan Iren kesini,” ucap Bu Marta menjeda sambil duduk di sofa bersebelahan dengan suaminya.“Terim