Share

Chapter 10

Setelah tiba di rumah kontrakannya, Shanon langsung mengajak Tristan ke ruang tamunya dan mempersilakan sahabatnya tersebut duduk di sofa. Selama perjalanan pulang, pikiran Shanon sibuk menimbang keinginannya untuk menceritakan luka batinnya kepada Tristan, hingga akhirnya ia yakin dengan keputusan yang akan diambilnya.

“Sha, jika kamu belum siap ingin menceritakannya padaku, sebaiknya jangan dipaksakan,” Tristan memberi saran kepada Shanon yang terlihat kacau di depannya. Dengan jelas Tristan melihat sorot mata Shanon yang memancarkan berbagai macam gejolak emosi.

Dengan cepat Shanon menggelengkan kepalanya. “Aku siap, Tris.” Selain merespons saran dari Tristan, tanggapannya tersebut juga untuk memantapkan keputusannya. “Aku sudah tidak kuat lagi untuk memendamnya seorang diri,” akunya sambil menatap sendu Tristan.

“Baiklah. Jika keputusanmu tersebut bisa membuatmu merasa lebih baik, aku bersedia menjadi pendengar setiamu,” ucap Tristan penuh kelembutan. Ia sangat iba melihat kondisi sahabatnya seperti saat ini.

Shanon memasok sebanyak mungkin oksigen ke paru-parunya sebelum mulai bercerita. Shanon menyadari penuh bahwa tidak sepantasnya menceritakan rahasia besarnya sekaligus aibnya sendiri kepada orang lain, tapi kini ia juga sangat merasa tersiksa dengan penyesalan yang tengah dirasakannya. Saat ini di dalam benaknya hanya ada keinginan untuk melepaskan siksaan tersebut, dan menceritakannya kepada Tristan dirasa menjadi pilihannya yang tepat. Ia menatap Tristan yang setia menanti mulutnya mengeluarkan beberapa patah kata.

“Bukan pengkhianatan Richo yang memicuku menjadi seperti ini, Tris, melainkan penyesalan atas kebodohanku sendiri.” Shanon menutup matanya setelah mulutnya mengeluarkan satu deretan kalimat.

Kening Tristan mengernyit, sebab ia belum bisa menangkap maksud dari perkataan Shanon. “Penyesalan? Kebodohan? Maksudnya apa, Sha? Jujur, aku kurang mengerti,” cecarnya kurang memahami.

“Kebodohan karena dengan mudahnya aku terbuai oleh bujuk rayu Richo, sehingga membuatku secara sukarela menyerahkan diri untuk ….” Shanon tidak kuasa melanjutkan kalimatnya karena pergolakan batin yang kini tengah memenuhi rongga dadanya. Perasaan hina, marah, kecewa, dan malu seakan berlomba memenangkan tempat di hatinya.

Tubuh Tristan seketika menegang mendengar kalimat menggantung dari mulut Shanon. Tenggorokannya tercekat dan darahnya terasa berhenti mengalir, saat di pikirannya terlintas kata yang tepat untuk melengkapi kalimat menggantung Shanon tersebut. Perasaan marah dan kecewa langsung menyelimuti hatinya saat mendengar pengakuan Shanon, meski ia sendiri menyadari tidak mempunyai hak melarang sahabatnya tersebut untuk melakukan perbuatan itu.

“Penyesalan besar itulah yang membuatku terluka sedalam ini. Aku telah menjadi wanita yang paling bodoh. Bodoh karena begitu mudahnya termakan rayuan. Bodoh karena terlalu mencintainya, sehingga membuatku mengabaikan akal sehat dan gagal menjaga kehormatanku sendiri sebagai wanita. Yang paling membuatku terluka karena aku telah menodai kepercayaan yang ibuku berikan padaku.” Pertahanan Shanon untuk mencegah luapan air matanya pun tidak terbendung. Ia menangis tersedu-sedu dan tidak memedulikan wajah Tristan yang tengah menatapnya tanpa ekspresi.

Setelah cukup lama Tristan bergeming dan hanya menatap Shanon yang masih larut dalam tangisan penyesalannya, akhirnya ia beranjak dari tempat duduknya. Ia kembali menjatuhkan bokongnya pada tempat duduk di samping Shanon. Tanpa meminta izin terlebih dulu dan berkata-kata, ia langsung membawa tubuh Shanon ke dalam pelukannya. Ia membiarkan Shanon membuat kemeja kerjanya basah oleh air mata. Saat ini Tristan merasa mulutnya masih kaku bersuara, meski hanya untuk mengeluarkan sepatah atau dua patah kata kepada Shanon. Ketika tubuhnya dipeluk lebih erat pun, Tristan hanya bisa mengusap pelan punggung Shanon sebagai reaksinya.

“Aku wanita bodoh dan murahan. Bahkan, sangat murahan,” Shanon memaki dirinya sendiri bertubi-tubi di sela isak tangisnya.

Makian Shanon yang terus bergema di telinganya membuat Tristan tersentak. Ia menatap nanar keadaan wanita yang sedang memeluknya dengan sangat erat. Dari lirihan Shanon yang memaki dirinya sendiri terus-menerus, Tristan bisa merasakan jika penyesalan sahabatnya tersebut sangatlah besar. Perasaan kecewa dan marah yang tadi sempat menyelimuti hatinya, kini berubah menjadi rasa iba sekaligus sedih melihat kerapuhan Shanon. Hatinya tersayat dan merasa perih mendengar tangisan pilu Shanon. Meski masih bungkam, Tristan pun membalas pelukan Shanon dengan tidak kalah erat.

Sepuluh menit mereka bertahan di posisi tersebut, akhirnya Shanon lebih dulu mengurai pelukannnya pada tubuh Tristan. Meski malu atas pengakuannya kepada Tristan, tapi Shanon merasakan sedikit kelegaan.

“Maafkan aku, Tris. Aku telah menjadikanmu pelampiasan atas kesedihan dan penyesalanku,” pinta Shanon dengan suara serak dan masih bergetar. Ia menunduk karena tidak kuasa menatap kedua iris cokelat laki-laki yang telah mengetahui rahasia dan aibnya. “Aku maklum kamu akan merasa jijik padaku setelah mengetahui perbuatan murahanku. Bahkan, aku menerima jika kamu ingin menjaga jarak dariku,” Shanon kembali bersuara nelangsa karena Tristan masih menutup rapat mulutnya. Ia terus menyusut air matanya yang menetes tiada henti.

Tristan menyugar kasar rambutnya, kemudian memperbaiki letak kacamatanya sebelum menanggapi perkataan wanita yang bahunya masih bergetar di sampingnya. “Aku memang sangat kecewa padamu karena kamu tidak mampu menjaga kehormatan yang sepantasnya diberikan untuk suamimu kelak. Akan tetapi, pikiranku tidak sepicik atau sedangkal itu, Sha,” untuk pertama kalinya Tristan berkata setelah mendengar pengakuan Shanon.

Shanon merasa semakin malu setelah mendengar perkataan Tristan. “Terima kasih,” ucapnya melirih karena Tristan tidak menghakiminya.

“Jangan terlalu larut dalam penyesalanmu, Sha, dan cobalah untuk berdamai dengan dirimu sendiri, meski terasa sulit. Jadikan kesalahanmu itu pelajaran dalam mengambil keputusan di kemudian hari, terutama saat kamu kembali menjalin hubungan dengan seseorang. Aku bersumpah akan menjaga rahasia sekaligus aibmu ini sampai mati.” Tristan mengangkat dagu Shanon agar wajah mereka sejajar. Ia menghapus cairan bening yang mengalir deras dari kedua sudut mata Shanon.

Shanon terharu, ia kembali memeluk tubuh Tristan. “Terima kasih, Tris. Sekali lagi terima kasih karena kamu tidak menghakimiku,” ucapnya dalam pelukan hangat sang sahabat.

“Walau aku tidak bisa menghilangkan penyesalan dan lukamu, setidaknya kehadiranku mampu meringankan sedikit beban hatimu, Sha,” balas Tristan lembut. Ia mencium bertubi-tubi puncak kepala Shanon. “Aku menerimamu apa adanya, Sha. Percayalah,” batinnya menambahkan.

***

Kini Shanon merasa lebih segar setelah menuruti saran Tristan yang menyuruhnya mandi saat keadaannya sudah tenang, meski sembap di matanya masih jelas terlihat. Ketika keluar dari kamar dan ingin menuju dapur, Shanon tidak melihat keberadaan Tristan yang sebelumnya tengah menonton. Ia mengira Tristan sedang di taman sederhana yang terletak di samping kontrakannya, mengingat jaket dan tas kerja milik sahabatnya masih berada di sofa. Sambil menunggu Tristan kembali dari taman, Shanon ingin membuat es lemon tea untuk mereka nikmati saat mengobrol.

Tidak memerlukan waktu lama bagi Shanon untuk membuat dua gelas minuman dingin tersebut. “Eh, kamu dari mana, Tris?” tanyanya kepada Tristan saat ia berjalan menuju ruang tamu sambil membawa minuman buatannya. Keningnya mengernyit ketika melihat Tristan menenteng satu kantong plastik berukuran tanggung. “Apa itu?” imbuhnya ingin tahu.

“Lontong, sate, dan gulai kambing. Kebetulan tadi ada penjual keliling yang lewat, jadi aku beli saja. Sebentar lagi juga jam makan malam,” beri tahu Tristan sambil berjalan ke arah Shanon.

Shanon membenarkan ucapan Tristan setelah ia melihat jam yang terpasang di tembok ruang tamunya. “Kamu duduklah, biar aku yang mengambil piring, sendok dan mangkuk,” ujarnya setelah meletakkan gelas di tangannya pada meja kaca.

Tristan mengangguk sambil mendahului meneguk minuman dingin di hadapannya. “Jarang-jarang saat makan ada yang melayani,” gumamnya yang diikuti kekehan.

“Bukannya kalau makan di restoran kamu juga dilayani?” Ternyata Shanon mendengar dengan jelas gumaman Tristan.

“Iya, tapi pelayanannya sangat berbeda, Sha. Di restoran setelah dilayani kita harus bayar, sedangkan di sini gratis,” balas Tristan sambil tertawa.

“Bisa saja kamu. Bercandanya nanti dilanjut lagi ya, sekarang kita makan dulu. Kebetulan cacing di dalam perutku sudah tidak sabar ingin menikmati lezatnya makanan yang kamu bawa.” Shanon melanjutkan langkahnya menuju dapur untuk mengambil perlengkapan makan.

“Sha, kita hanya perlu mangkuk satu. Gulainya nanti kita makan sama-sama saja. Cuma seporsi aku dapat beli gulai, sudah habis katanya,” beri tahu Tristan saat melihat Shanon membawa dua buah mangkuk, sehingga membuat wanita itu kembali menuju dapur untuk menaruhnya.

Tristan langsung membuka makanan yang tadi dibelinya setelah Shanon meletakkan perlengkapan makan di atas meja. Mereka tidak banyak berbasa-basi lagi, melainkan langsung menikmati menu yang telah siap membuat perut keduanya kenyang. Selama makan malam berlangsung, mereka sesekali mengomentari cita rasa dari hidangan yang dinikmatinya tersebut.

***

Usai menikmati makan malam bersama Shanon, Tristan memutuskan untuk kembali ke kontrakannya. Ketika sampai, ia terkejut melihat mobil yang sangat dikenalinya sudah terparkir di halaman kontrakannya, sedangkan pemiliknya tengah duduk di teras depan dengan posisi memunggunginya. Ia sudah menyiapkan diri jika harus diinterogasi oleh wanita yang saat ini telah berbalik dan sedang menatapnya penuh selidik.

“Kamu dari mana saja, Tris? Kenapa jam segini baru pulang?” cecar pemilik mobil yang terparkir di halaman rumah kontrakan Tristan. “Hampir dua jam aku menunggumu,” sambungnya kesal.

“Aku dari rumah teman, Tha,” jawab Tristan tanpa merasa bersalah. “Lagi pula kenapa kamu tidak menghubungiku dan memberitahukan tentang keberadaanmu di sini?” Tristan duduk di hadapan wanita yang ekspresi wajahnya terlihat kesal.

“Ponselku mati.” Meski masih kesal karena terlalu lama menunggu kedatangan adik kembarnya, tapi wanita yang bernama Talitha tersebut tetap menjawab. “Tris, malam ini aku tidur di sini ya,” pintanya.

Tristan menyipitkan mata saat menatap wanita berambut lurus di depannya. “Kalian bertengkar lagi?” tebaknya. “Tha, sampai kapan hubungan kalian akan seperti ini?” Tristan prihatin terhadap keadaan rumah tangga kembarannya yang sangat dingin dan tidak harmonis.

“Entahlah, aku juga tidak tahu sampai kapan akan kuat menjalani hubungan seperti ini. Kamu tahu sendiri, aku dan Arga menikah tanpa dasar cinta. Kami adalah korban perjodohan dari orang tua masing-masing.” Walau Talitha menjawabnya dengan santai, tapi Tristan mampu merasakan gejolak yang tengah bergemuruh di hati sekaligus pikiran kembarannya tersebut.

“Kamu jangan berpikiran jika omonganku ini cenderung lebih membela atau membenarkan tindakan orang tua kita. Menurut pendapatku, bukan perjodohan yang menjadi penyebab utama hubunganmu dan Arga seperti sekarang, melainkan karena kurangnya komunikasi intens di antara kalian berdua.” Tristan menanti reaksi Talitha atas ucapannya. “Sebenarnya dengan adanya pernikahan ini, baik kamu atau Arga bisa saling menolong satu sama lain, mengingat masa lalu kalian yang tidak jauh berbeda,” Tristan melanjutkan.

“Oh ya, tadi ada seorang gadis mencarimu. Karena aku tidak mengetahui posisimu ada di mana, jadi kukatakan saja kamu sedang membeli makan malam. Saat aku menyuruhnya untuk menunggu, gadis tersebut tidak mau. Apa gadis itu pacarmu dan ia mencemburuiku karena keberadaanku di kontrakanmu?” Talitha sengaja mengalihkan topik pembicaraan karena kini ia benar-benar penat memikirkan nasib pernikahannya.

“Jangan suka mengalihkan pembicaraan, Tha. Meskipun kamu yang lahir beberapa menit lebih dulu dibanding aku, tapi hal itu tetap tidak sopan,” tegur Tristan karena ia tidak menyukai kebiasaan Talitha yang sering mengalihkan topik pembahasan saat sedang diajak berbicara serius. “Ngomong-ngomong, siapa nama gadis yang tadi mencariku?” Tristan merasa penasaran dengan informasi yang disampaikan Talitha.

Talitha mengangkat bahunya. “Gadis itu tidak memberitahukan namanya. Ia hanya berpamitan setelah mengetahui kamu tidak ada,” beri tahunya jujur.

“Mungkinkah Vikha?” tanya Tristan pada dirinya sendiri. “Ya sudah, biarkan saja. Kalau ia ada urusan yang sangat penting denganku, pasti gadis itu akan datang lagi,” ujarnya tidak acuh. “Satu lagi, wanita yang ingin kujadikan kekasih belum bisa aku raih hatinya. Jadi, gadis yang tadi mencariku tentu saja bukan pacarku,” jelasnya agar Talitha tidak banyak bertanya seputar gadis yang tadi mencarinya.

Talitha hanya manggut-manggut. “Tapi sepertinya gadis tadi menyukaimu. Aku bisa melihat dengan jelas dari pancaran sorot matanya saat menyebutkan namamu. Berbinar sekaligus malu-malu,” Talitha mengatakan penilaiannya, kemudian ia mengedipkan sebelah matanya ke arah Tristan.

Tristan hanya mendengkus menanggapinya. “Kembali ke topik awal.” Ucapan Tristan membuat Talitha melebarkan pupil matanya. “Tha, menurutku Arga bukan bajingan seperti mantan kekasihmu dulu. Cobalah membuka diri untuk menyembuhkan sakit hatimu, Tha. Jika kamu enggan berkeluh kesah lagi denganku karena statusmu yang sudah menikah, maka bagilah bersama suamimu. Jangan terlalu larut dalam rasa sakitmu. Jika kamu belum bisa menganggap Arga sebagai suami, maka bangunlah komunikasi layaknya seorang teman terlebih dulu dengannya,” Tristan kembali menasihati sekaligus memberi saran kepada wanita yang pernah berbagi rahim dengannya.

Agar Tristan tidak semakin mengasihaninya dan ikut pusing memikirkan biduk rumah tangganya bersama Arga, maka Talitha pun mengangguk sambil melemparkan senyum tipisnya. “Terima kasih atas kepedulianmu yang sangat besar kepadaku, Tris. Aku akan mencoba menuruti saran dan nasihatmu, tapi untuk malam ini biarkan aku menginap di sini dulu ya,” pintanya mengiba.

Tristan mendengkus. “Baiklah, nanti akan aku hubungi suamimu agar ia tidak mengkhawatirkan istrinya yang tengah kabur, mengingat ini sudah malam,” putusnya mengalah. “Oh ya, kamu sudah makan?” tanyanya setelah beranjak dan ingin menuju kamar untuk membersihkan diri.

Talitha menggeleng-gelengkan kepalanya seperti anak kecil. Tidak berapa lama, ia melenggang menuju dapur untuk mencari sesuatu yang bisa dimakannya. Matanya berbinar saat melihat beberapa bungkus spaghetti di atas kulkas setelah menyusuri dapur mini milik sang adik. “Tris, aku akan membuat spaghetti, kamu mau?” Talitha menawarkan.

“Tidak, perutku sudah kenyang,” Tristan menjawab dari dalam kamarnya. “Aku mau mandi dulu, Tha,” beri tahunya dengan suara lantang agar Talitha mendengarnya.

Setelah melepas semua pakaiannya dan melilitkan handuk pada pinggangnya, Tristan langsung menghubungi Arga untuk memberitahukan bahwa Talitha sedang bersamanya. Ia juga mengatakan kepada Arga, bahwa malam ini Talitha akan menginap di tempatnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status