Bukannya mereda, semakin malam hujan kian menderas. Sebelum tidur Shanon membawakan bantal dan selimut untuk Tristan yang masih sibuk memainkan game di ponselnya. Tristan akan menggunakan sofa yang ada di ruang tengah untuk tidur. Baru saja Tristan membaringkan tubuhnya di atas sofa setelah usai bermain game, tiba-tiba ia merasa perutnya kembali mulas. Sejak mulai bermain game Tristan sudah beberapa kali ke kamar mandi yang ada di samping dapur. Awalnya ia hanya menganggap sakit perut biasa, tapi ternyata dugaannya keliru. Selain sakit, kini perutnya juga terasa panas dan perih. Hal tersebut diakibatkan karena saat makan malam tadi ia menghabiskan empat bungkus sambal.
Setelah beberapa menit berada di dalam kamar mandi, akhirnya Tristan keluar sembari memegang perutnya. Ia menghapus keringat di keningnya sambil berjalan pelan menuju kamar Shanon untuk menanyakan obat sakit perut.
“Sha,” Tristan memanggil Shanon seraya mengetuk pin
Shanon akhirnya menghela napas lega. Dari posisinya ia melihat kehadiran Tristan yang kini sedang berjalan santai ke arahnya. Tanpa membuang waktu Shanon langsung mendorong Richard agar tubuhnya terbebas dari impitan laki-laki tersebut. Ia mengusap bergantian pergelangan tangannya yang terasa kebas karena dipegang cukup erat oleh Richard.“Hai, Richard,” sapa Tristan tanpa memperlihatkan emosi yang telah menyelimuti hati dan pikirannya. “Sudah lama kita tidak bertemu. Bagaimana kabarmu sekeluarga?” tanyanya berbasa-basi.“Untuk apa kamu datang kemari?” Richard mengabaikan pertanyaan basa-basi yang Tristan lontarkan. Sambil memasukkan sebelah tangannya ke saku celana yang dipakainya, ia menatap Tristan tak bersahabat.Bibir Tristan menyunggingkan senyum tipis. Walau tangannya sudah sangat gatal ingin menghajar laki-laki yang kini sedang menatapnya dengan angkuh, tapi ia berusaha keras untuk tetap bersikap tenang. Ia tetap melangkahkan kakinya dengan santai menuju tempat Shanon berdiri.
Bukan udara dingin yang membuat tubuh Shanon Sasmitha menggigil, melainkan kabar tidak terduga dari teman-teman di kantornya. Kaki perempuan berusia 25 tahun tersebut melemas setelah tidak kuasa menopang tubuhnya sendiri. Matanya berkaca-kaca dan deru napasnya menjadi tidak beraturan ketika berita yang didengarnya terus terngiang-ngiang di telinganya. Dengan susah payah ia berusaha menjejakkan kaki, agar tubuhnya tidak kehilangan keseimbangan. Setelah berhasil mengontrol deru napas yang menyiksa rongga dadanya, perlahan ia berjalan mendekati kursi kerja miliknya, kemudian segera mendudukinya. Tanpa bisa dibendung lagi, Shanon membiarkan cairan bening tersebut menetes begitu saja dari sudut matanya, sebagai ungkapan rasa sakit yang tengah menguasai hatinya. Mimpi dan masa depan yang ia rajut beberapa bulan belakangan bersama sang pujaan hati hancur, karena kekasihnya tersebut tidak bisa menjaga kesetiaannya. Untung saja penghuni di ruangannya tengah makan siang di luar kantor seperti b
Shanon menanyakan keberadaan orang yang memintanya mendatangi restoran kepada resepsionis. Setelah beberapa hari tidak ada kabar, seolah ditelan bumi, akhirnya laki-laki yang digosipkan akan menikahi putri tunggal dari general manager di tempatnya bekerja mengiriminya sebuah pesan singkat. Laki-laki tersebut tanpa basa-basi mengajaknya bertemu di restoran yang dulunya menjadi langganan mereka. Tanpa banyak bertimbangan, ia pun langsung menyanggupi ajakan tersebut. Ia ingin mendapat penjelasan langsung dari orang yang sedang menjadi buah bibir di tempat kerjanya. Mimik wajah Shanon datar saat melihat punggung laki-laki yang tengah dicarinya. Laki-laki tersebut sedang duduk memunggunginya sambil berbicara di telepon. Tanpa memutus tatapannya, ia bergegas mendekati keberadaan laki-laki tersebut. Setelah berdiri beberapa langkah di belakang laki-laki tersebut, Shanon merasa darahnya mulai mendidih ketika mendengar orang yang memintanya datang tengah bermesraan melalui telepon. Ia sangat
Sepasang laki-laki dan perempuan sedang duduk di teras depan sebuah rumah kontrakan. Mereka sangat berharap pemilik kontrakan segera membukakan pintu, karena keduanya sudah tidak tahan menjadi sasaran empuk nyamuk-nyamuk yang tengah dilanda kelaparan. “Aduh!” Vikha memukul lengannya sendiri yang digigit nyamuk tanpa izin. “Tris, Shanon ke mana ya? Sudah hampir setengah jam kita berada di sini, tapi ia belum juga membukakan pintu.” Gadis berambut lurus itu mulai menanyakan keberadaan pemilik rumah kepada sahabatnya yang juga tengah sibuk menghalau nyamuk menjamah tubuhnya sendiri. “Coba kamu ketuk lagi pintunya, siapa tahu Shanon sudah tidur,” pinta Tristan Danendra, laki-laki berkacamata yang juga merupakan sahabat Shanon. “Hei, apa yang kalian lakukan di rumahku?” Shanon berseru setelah memasuki halaman tempat tinggalnya sambil mengendarai sepeda motornya ketika ia melihat ada tamu yang sedang menunggunya. “Akhirnya penderitaan kita gara-gara kawanan nyamuk ini berakhir sudah, Tri
Sesuai rencana yang telah dibuat kemarin malam, hari ini sebelum matahari menyapa bumi, Tristan dan kedua sahabatnya sudah dalam perjalanan menuju bagian timur pulau Bali. Tepatnya di kabupaten Karangasem. Bukan tanpa alasan Tristan dan kedua sahabatnya sepakat melakukan perjalanan saat langit masih gelap. Hal itu dikarenakan ketiganya belum pernah mengunjungi destinasi yang dituju dan cenderung memakan waktu lumayan lama, walau sebenarnya Tristan telah mendapat sedikit informasi mengenai letak wilayah tersebut dari teman kantornya. Ide untuk mengunjungi tempat itu berasal dari Vikha yang sangat penasaran dengan unggahan beberapa temannya di media sosial mengenai keindahan sebuah taman bunga yang terlihat layaknya hamparan salju. Untuk menghilangkan rasa penasarannya akan tempat tersebut, Vikha mendesak Tristan dan Shanon agar mau mewujudkan keinginannya itu. “Sha, coba lihat ini. Bukankah tempatnya sangat bagus?” Vikha menunjukkan unggahan salah satu temannya di i*******m miliknya ke
Seperti yang sudah direncanakan, keempatnya akan mengunjungi obyek wisata Taman Edelweiss dan Taman Jinja menggunakan sepeda motor. Arya akan membonceng Vikha dengan motornya sendiri, sedangkan Shanon dan Tristan berboncengan menggunakan sepeda motor milik sepupu Arya yang belum dipakai. “Ar, apakah kita tidak perlu menggunakan helm?” tanya Shanon sebelum motor yang dikemudikan Tristan melaju. “Tidak usah, Sha. Jaraknya lumayan dekat dari sini,” jawab Arya santai. “Siap?” tanyanya pada Vikha yang sudah nyaman dengan posisi duduknya. Shanon menanggapi jawaban Arya dengan anggukan. “Tris, jangan ngebut ya,” Shanon mengingatkan Tristan. “Kamu tenang saja, Sha. Kita pasti selamat sampai tempat tujuan,” balas Tristan sambil terkekeh. “Oh ya, jangan lupa pegangan yang erat, Sha. Aku tidak keberatan jika kamu mau menjadikan pinggangku sebagai pegangan saat berboncengan,” imbuhnya menggoda dan spontan membuat Shanon yang duduk di belakangnya memukul pundaknya cukup keras. “Cepat jalan, ja
Sebelum Tristan, Shanon, dan Vikha bertolak ke vila, Arya mengajak mereka bersantap siang di salah satu rumah makan sederhana yang ada di pinggir jalan. Arya sengaja mengajak ketiganya ke rumah makan yang memang menyediakan beberapa menu khas Bali bagian timur. Setelah tadi mata ketiga temannya dimanjakan oleh pemandangan Taman Edelweiss dan Taman Jinja yang memesona, kini giliran nasi sela, sate lilit ikan tuna serta olahan ikan tuna lainnya yang akan memanjakan lidah mereka. Bahkan, Shanon dan Vikha tidak sungkan-sungkan menambah porsi makannya agar kebutuhan perut keduanya terpenuhi. Arya dan Tristan hanya menggelengkan kepala melihat kelahapan dua gadis cantik yang tengah asyik bersantap siang tersebut. Tidak sampai di situ, Vikha dan Shanon pun sepakat membeli beberapa tusuk sate lilit serta pepes telengis untuk dinikmatinya menuju vila. Tentu saja hal itu membuat Arya dan Tristan tidak habis pikir terhadap kelakuan dua sahabatnya tersebut yang ternyata tidak jaga image dalam urus
Menemukan lokasi Virgin Beach atau penduduk setempat lebih mengenalnya dengan sebutan Pantai Bias Putih, ternyata tidak semudah mencari obyek wisata lain karena terkendala akses jalan menuju tempat tersebut. Padahal pantai tersebut letaknya cukup dekat dengan Candidasa, tepatnya di Desa Bugbug. Sesuai namanya, pantai ini belum terlalu banyak didatangi wisatawan domestik maupun internasional, mungkin dikarenakan lokasinya yang tersembunyi dan jauh dari lalu-lalang kendaraan. Namun perlu diketahui bahwa, pemandangan laut di Virgin Beach sangatlah indah. Selain lembutnya pasir putih saat diinjak, air lautnya pun sangat jernih. “Nama Pantai Bias Putih yang diberikan warga sekitar untuk tempat ini mungkin dikarenakan warna pasirnya ya, Sha?” Vikha merentangkan kedua tangannya, berharap udara segar memenuhi setiap ruas tubuhnya. “Bisa jadi, Kha, sedangkan dinamai Virgin Beach kemungkinan karena pantainya belum banyak diketahui oleh wisatawan domestik atau internasional. Letaknya pun cender