“Bangs*t! Berhenti menelponku!”
Smith mematikan telepon dengan wajah geram. Ia menyisir ke belakang rambutnya yang panjang dan selalu terurai dengan jari-jari kanannya. Memunculkan terbentuknya sebuah belahan rambut tepat di tengah-tengah kepalanya.
Smith bahkan juga menghentakkan kaki untuk melampiaskan kejengkelannya yang telah sampai di ubun-ubun.
“Orang ini benar-benar bisa membuatku gila. Apa dia tidak bosan mendengar umpatanku setiap saat? Haaah, menyebalkan sekali!” ujar Smith dengan napas yang masih tersengal menahan amarah.
Gadis itu berjalan melewati pos satpam fakultas masih dengan menggerutu. Membuat Janu yang tadi melewatinya dan kini tengah berdiri di tempat parkir, tak jauh dari pos satpam, menjadi bertanya-tanya, kepada siapa Smith berbicara dengan begitu kasar?
“Nona Smith!” teriak seorang lelaki yang berusia sekitar 42 tahun dengan baju berwarna putih lengkap dengan topi, peluit, dan sebuah pentungan yang tergantung di ikat pinggangnya. Lelaki itu berlari dari pos satpam, menghampiri Smith dengan wajah sumringah.
Janu yang baru saja melepas helmnya, kini bergerak cepat, mendekat dan bersembunyi di balik rumpun bunga bogenvil. Dalam batinnya ia bersyukur karena tempat parkir begitu sepi pada jam ketujuh dan delapan, jam-jam akhir perkuliahan.
“Pak Hadi. Bapak sudah kembali bekerja?” sahut Smith dengan suara dan wajah yang sangat jauh berbeda dengan yang ditampakkan gadis itu saat berbicara dengan seseorang melalui ponsel.
Smith memasang senyum yang sangat manis kepada satpam yang berbincang dengannya. Itu adalah pemandangan langka yang belum pernah dilihat Janu. Jangankan tersenyum lebar, tersenyum kecut saja tidak pernah.
“Terima kasih ya, Non. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi jika Nona tidak menolong saya.”
“Tidak, tidak. Saya hanya melakukan apa yang seharusnya saya lakukan. Jadi, istri dan anak Bapak sekarang sudah di rumah?”
“Sudah, Non. Alhamdulillah. Tapi, saya mohon maaf,” ujar Pak Hadi dengan wajah sedikit cemas.
“Mohon maaf untuk apa, Pak?” tanya Smith keheranan.
“Tanpa seizin Nona, saya memberikan nama Sasmitha Maharani kepada putri saya,” jawab Pak Hadi ragu-ragu lantaran merasa telah lancang.
Tapi Pak Hadi sungguh tidak bermaksud untuk berlaku tidak sopan. Lelaki itu hanya terlalu senang dengan bantuan yang diberikan Smith hingga merasa perlu untuk memberikan nama penolongnya itu kepada bayi mungilnya.
Harapannya, agar ia dan keluarganya selalu ingat pada kemurahan hati Smith yang telah membiayai persalinan caesar sang istri di sebuah rumah sakit.
“Benarkah? Wah, saya sangat senang sekali mendengarnya. Itu suatu kehormatan bagi saya, Pak Hadi,” tukas Smith dengan mata berbinar-binar karena terharu.
Tentu saja berhasil membuat Pak Hadi menjadi begitu lega. Pak satpam itu sama sekali tidak menduga jika Smith akan sangat senang dengan pengakuan yang ia sampaikan.
Saking senangnya, Pak Hadi sampai tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ia benar-benar merasa sangat dihormati dan dihargai meski hanya seorang satpam di Fakultas Bahasa dan Sastra.
“O, sebentar,” ujar Smith sambil merogoh kantong celana hitamnya.
“Ini untuk Sas kecil. Hehe, sebaiknya putri Bapak dipanggil Sas saja. Jangan seperti saya,” kata Smith lagi sambil menarik tangan Pak Hadi dan meletakkan lembaran-lembaran uang ke tangan lelaki itu.
“Tapi Non, ini tidak perlu. Istri dan putri saya sudah pulang dari rumah sakit, dan mereka sungguh sehat. Apa yang Non berikan waktu itu sudah sangat cukup,” ujar Pak Hadi sambil menggeleng dan berusaha mengembalikan uang yang diberikan Smith.
Smith memberikan beberapa lembar uang berwarna merah yang jumlahnya lebih dari sepuluh lembar.
Hal tersebut cukup menggelitik, sebab Smith mengambil uang itu dari dalam saku celananya begitu saja. Tanpa mengeluarkan dompet terlebih dahulu, sebab gadis itu memang tidak memiliki dompet.
Tapi hal lain yang cukup mengejutkan adalah jumlah uang yang diberikan itu, nominalnya cukup banyak untuk seorang gadis yang penampilannya begitu biasa. Tidak terlihat sama sekali ciri-ciri orang kaya dari diri Smith.
Gadis itu selalu berangkat ke kampus dengan menaiki angkutan umum, semua pakaiannya biasa-biasa saja tidak bermerk, dan ia juga jarang terlihat pergi ke kantin untuk makan. Kalaupun Smith berada di kantin, gadis itu hanya membeli minuman saja.
“Tidak, tidak. Itu untuk putri, Bapak. Terimalah. Maafkan saya karena belum bisa berkunjung ke rumah Bapak. Tapi saya berjanji, jika ada kesempatan, saya akan melihat Sas kecil. Pasti wajahnya jauh lebih cantik dari saya. Hahaha, semoga Sas bisa menjadi anak berbakti,” kata Smith yang tertawa karena merasa tersindir oleh doanya sendiri. Smith merasa terlalu durhaka untuk berdoa seperti itu. Semestinya doa itu untuk dirinya juga.
Smith kemudian terburu-buru meninggalkan Pak Hadi. Ia sempat melambaikan tangan kepada satpam itu sebelum akhirnya berlari menuju gedung tempat kelasnya berada.
Gadis itu tidak hanya meninggalkan Pak Hadi yang masih tidak habis pikir atas semua kebaikan Smith padanya. Tetapi juga meninggalkan Janu yang tersenyum-senyum sendiri melihat sisi lain Smith yang manis.
Janu lantas berlari kencang ke arah yang sama dengan Smith. Ia baru sadar bahwa perkuliahan di kelasnya sore ini, mungkin telah dimulai lima menit yang lalu.
***
“Wah, Janu. Bapak terkejut sekali kau juga terlambat sore ini. Bapak kira kau tidak masuk karena sakit atau ada urusan tertentu,” kata Pak Jack apa adanya sebab Janu merupakan mahasiswa paling rajin dan disiplin di kelas tersebut.
“Maafkan saya, Pak. Ada hal mengejutkan yang membuat saya tetap tinggal di satu tempat,” tukas Janu sambil tersenyum dan menggaruk kepalanya.
Sementara Smith, tampak lebih tertunduk daripada sebelumnya. Gadis itu selalu bertingkah demikian jika ada di sekitar Janu. Ia yang beberapa waktu lalu sangat berniat untuk mencolok mata Janu, pada kenyatanya malah selalu berusaha menjaga matanya agar tidak terpancing untuk melihat mata Janu yang enak untuk dipandang.
“Baiklah, tidak adil jika kalian saya izinkan duduk begitu saja, karena kalian terlambat dalam kelas saya. Tapi lebih tidak adil lagi jika saya melarang kalian untuk mengikuti perkuliahan saya. Jadi, agar sedikit lebih adil, kalian harus menerima sanki atas kelalaian yang telah kalian lakukan. Supaya waktu kita tidak terbuang sia-sia, kalian harus memberi contoh pada teman-teman kalian tetang apa yang baru saja saya sampaikan pada mereka.
Tadi saya sempat menyinggung soal membuat sebuah prosa dengan cara mengamati lingkungan sekitar. Sekarang saya ingin kalian saling mengamati. Kemudian, sampaikanlah satu paragraf saja yang menggambarkan hasil observasi kalian,” perintah Pak Jack dengan gaya khasnya.
Janu langsung refleks menghadap ke arah Smith. Namun Smith, tetap pada sikapnya. Tidak melihat Janu sama sekali.
“Smith, silakan lihat Janu dan temukan inspirasi darinya,” tegur Pak Jack.
Smith yang sangat menghormati Pak Jack sebagai dosen favoritnya, lantas memaksakan diri untuk melihat ke arah Janu yang berdiri di sampingnya. Tapi ia hanya menoleh sesaat, lalu mengembalikan pandangannya ke lantai.
“Apa itu cukup?” tanya Pak Jack heran.
“Cukup, Pak,” sergap Smith membuat Pak Jack tersenyum.
“Apa kau memilih bagian tertentu atau keseluruhan?”
“Mata, saya memilih mata. Apa saya boleh langsung menyampaikan hasil dari pengamatan saya?”
Pak Jack sedikit kaget. Meski tahu kalau kemampuan Smith dalam matakuliahnya di atas rata-rata, beliau tidak mengira akan secepat itu Smith menyelesaikan tugasnya. Apalagi Smith tampak tidak benar-benar mengamati Janu.
“Silakan.”
“Mata. Aku pernah melihat semburat warna pada matanya yang membuatku tidak bisa berhenti berpikir. Ingatanku kembali jauh pada masa-masa paling membahagiakan dalam hidupku. Membuatku senang sampai jantung ini berdegup sangat cepat. Namun saat aku tersadar, hanya ada perih di sana. Sebuah luka yang membuatku ingin mati saja.”
Senyum yang semula terkembang di wajah Janu, langsung memudar setelah mendengar dua kalimat terakhir dari petikan prosa yang dibuat Smith.
Hening sempat menyekat kelas sebelum akhirnya menjadi begitu bergemuruh. Apa yang diucapkan Smith tidak pernah terduga sebelumnya. Hal itu secara otomatis memperluas pemahaman teman-temannya tentang apa yang diterangkan Pak Jack.“Bagus Smith. Sepertinya kau telah memperhatikan Janu jauh sebelum Bapak memintanya. Hehehe.”Suara tawa Pak Jack lekas diikuti oleh gelak tawa teman-teman Smith satu kelas. Tapi suara tawa itu segera terhenti saat Smith mengangkat wajahnya dan memandang temannya satu per satu dengan tatapan khas singa jantan.Tapi hal berbeda terlihat di wajah Janu. Pemuda itu masih terpaku tak jelas, entah memandang apa, dengan kedua alis yang hampir menyatu.“Janu, sekarang giliranmu,” suara Pak Jack mengejutkan Janu.Pemuda itu menarik napas panjang. Lalu membuangnya secara perlahan sambil memejamkan mata, seolah tidak hanya melepaskan sisa ud
Ketika Smith turun dari ojek yang mengantarnya pulang, ada sebuah mobil mewah yang juga berhenti di depan gerbang rumahnya.Smith sangat mengenal mobil itu. Maka, ia yang baru saja merogoh saku bajunya untuk membayar jasa tukang ojek, dengan terburu-buru kembali mengambil helm yang diletakkan di atas kaca spion. Smith memakai helm itu lagi sembari duduk di belakang tukang ojek yang masih berada di atas motor bebek."Berhenti atau saya laporkan Anda ke polisi!" teriak seorang lelaki paruh baya yang baru keluar dari dalam mobil. Membuat tukang ojek yang telah menyalakan mesin motornya menjadi gugup dan menelan ludahnya.Lelaki itu tampak gagah dengan setelan jas bermerk berwarna hitam. Ia juga mengenakan sepatu hitam yang tersemir sempurna tanpa terlihat sedikitpun debu."Siapa Nona sebenarnya? Apa Nona ini pencuri, kriminal, pesakitan, atau apa?" tanya tukang ojek berbisik-bisik sambil sedikit menoleh ke belakang. Ke
Smith kecil tidak tahu harus berbuat apa. Ia jelas tidak tega melihat ibunya diperlakukan dengan begitu buruk. Tapi, ia juga takut pada ayahnya.Smith belum pernah melihat Hendry demikian menyeramkan. Selama ini, perlakuan kasar Hendry terjadi di belakang Smith. Ketika di hadapan putrinya, Hendry selalu berusaha menahan amarahnya. Ia bersikap manis kepada sang istri.Kalaupun Hendry dan Lisa berselisih di depan putrinya, Hendry tidak sampai main tangan. Selain itu, salah satu di antara mereka biasanya akan mengambil jeda dan meminta Smith untuk lekas masuk ke dalam kamarnya.Dan dari sekian banyak kesalahan yang diperbuat Hendry, hal yang membuat Smith merasa mustahil untuk bisa memaafkan sang ayah adalah karena pengkhianatan yang dilakukan pada keluarga.Saat itu Smith menemani ibunya untuk check up ke dokter. Sang ibu yang mengidap hipertensi sudah merasa tidak
Smith-lah orang pertama yang menemukan Lisa pingsan tidak berdaya.Ketika itu Smith baru saja pulang sekolah. Seperti biasa, ia akan duduk sebentar di ruang tamu, menunggu jus segar buatan pembantunya. Ia merebahkan sejenak tubuhnya ke sofa sambil menutup mata.Smith berusaha untuk menenangkan diri dan menanggalkan segala pikiran yang mengganggunya selama di sekolah. Tentu saja soal ayahnya yang tempo hari terlihat berbahagia bersama perempuan lain di taman kota.Smith tidak mau ibunya sampai curiga pada sikapnya lagi. Ia akan berusaha untuk bersikap ceria dan energik sebagaimana biasanya, melupakan pemandangan buruk yang dipertontonkan sang ayah di tempat umum, yang mencolok kedua matanya dan menyakiti perasaannya."Bi Ipah, bagaimana keadaan Ibu hari ini?" tanya Smith sambil melepas sepatunya."Alhamdulillah Non, sepertinya Nyonya sudah lebih baik lagi. Beliau sedang beristirahat di kamarnya. Bi
Sudah tiga hari Smith dan ibunya berada di rumah. Tapi Hendry tidak juga datang atau sekadar menelpon.Walau Smith tidak pernah lagi menghubungi ayahnya, tapi ia selalu bersemangat melihat ponselnya jika berdering ada panggilan masuk, ataupun berbunyi ketika sebuah pesan diterima. Dan Smith selalu kecewa karena yang ia harapkan tidak juga memberi atau menanya kabar."Sas, ibu ingin buang air kecil," ujar Lisa lirih. Tapi mengagetkan Smith yang melamun memikirkan ayahnya."Iya, Bu."Smith selalu memasang senyum semanis-manisnya. Ia akan sangat sabar dan telaten merawat sang ibu.Bagi Smith, bersama ibunya adalah kebahagiaan tidak ternilai. Mau seperti apapun lelahnya mengurusi segala keperluan dan kebutuhan sang ibu, Smith tidak pernah mengeluh atau sekadar menunjukkan wajah capai.Tapi Lisa, tentu saja ia merasa kasihan pada putrinya. Smith tidak pernah tidur nyenyak di malam hari k
"Non, apa Non sudah tidur?" suara Bibi Ipah yang disertai bunyi ketukan pintu mengagetkan Smith yang tertidur di lantai. Gadis itu menangis sampai ketiduran.Smith duduk dan mengusap wajahnya. Ia juga merapikan rambutnya."Sebentar, Bi."Smith berdiri dan menarik napas panjang. Lalu berjalan mendekati pintu. Ia berusaha menyembunyikan kesedihannya dengan mengembangkan senyum."Ada apa Bi Ipah?" tanya Smith setelah membuka pintu."Nona belum makan malam. Nanti perut Nona bisa sakit," ujar Bibi Ipah sambil meletakkan makanan di meja.Smith melihat jam dinding di kamarnya. Jarum yang paling pendek berada di antara angka 10 dan 11.Smith tersenyum haru. Bibi Ipah tidak pernah berubah, selalu perhatian dan peduli padanya. Smith pun tetap sama, selalu membuat perempuan yang sudah tua itu menjadi sangat berat pekerjaannya karena dirinya."Segera makan ya,
Smith melangkah. Ia tidak peduli dengan suara Hendry yang terus memanggilnya.Sesaat ada sesal di hatinya lantaran telah meletakkan selimutnya di tubuh sang ayah. Semestinya orang seperti itu tidak pantas untuk diperlakukan dengan baik. Begitulah gerutunya dalam benak."Sasmitha! Ayah mohon, katakanlah sesuatu."Kali ini Smith yang telah berada di atas tangga menghentikan langkah kakinya. Ia menarik napas panjang untuk melapangkan dadanya yang selalu sesak saat berada di dekat ayahnya.Bukan hal mudah bagi Smith untuk bisa berbicara pada Hendry. Ia mesti kuat mengendalikan segala emosinya yang selalu membesar hanya karena melihat wajah ayahnya.Selama ini Smith memang tidak banyak bicara. Segala keluhan, kebencian, dan kemarahan pada sang ayah selalu ia telan begitu saja. Semuanya belum pernah sampai terutarakan.Benar, walaupun Smith sangat marah dan benci kepada Hendry, ia tidak p
"Aku? Aku sedang melihatmu menulis. Siapa orang yang kau maksud dalam tulisanmu itu? Apa itu kekasihmu?"Smith tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia hanya menggeleng sambil memasukkan semua barang yang telah ia keluarkan dari dalam tasnya. Lantas berdiri dan berjalan meninggalkan Janu."Tunggu, Smith! Tunggu!" ujar Janu sambil berlari mengejar Smith.Tapi smith tidak peduli. Ia terus berjalan bahkan dengan langkah yang semakin cepat.Sampai akhirnya Janu berdiri di depan Smith. Ia menghadang gadis itu agar tidak lagi meninggalkannya."Minggir!" ujar Smith dengan wajah datar."Tidak. Kita perlu bicara. Aku tidak suka kau mengabaikanku begitu saja. Setidaknya, duduklah sebentar dan mari kita berbincang. Besok lusa tugas sudah harus dikumpulkan. Tapi kita bahkan belum pernah berdiskusi sama sekali.""Tidak perlu. Biar aku mengerjakannya sendiri.""Mana bis