"Non, apa Non sudah tidur?" suara Bibi Ipah yang disertai bunyi ketukan pintu mengagetkan Smith yang tertidur di lantai. Gadis itu menangis sampai ketiduran.
Smith duduk dan mengusap wajahnya. Ia juga merapikan rambutnya.
"Sebentar, Bi."
Smith berdiri dan menarik napas panjang. Lalu berjalan mendekati pintu. Ia berusaha menyembunyikan kesedihannya dengan mengembangkan senyum.
"Ada apa Bi Ipah?" tanya Smith setelah membuka pintu.
"Nona belum makan malam. Nanti perut Nona bisa sakit," ujar Bibi Ipah sambil meletakkan makanan di meja.
Smith melihat jam dinding di kamarnya. Jarum yang paling pendek berada di antara angka 10 dan 11.
Smith tersenyum haru. Bibi Ipah tidak pernah berubah, selalu perhatian dan peduli padanya. Smith pun tetap sama, selalu membuat perempuan yang sudah tua itu menjadi sangat berat pekerjaannya karena dirinya.
"Segera makan ya, Non."
Bibi Ipah berjalan keluar kamar dengan menahan segala hal yang telah ia ucapkan dalam batinnya.
Bibi Ipah yang sudah sangat lama bekerja pada keluarga Hendry, sangat mengenal majikan mudanya itu.
Bibi Ipah yang turut merawat Smith sejak kecil, tahu benar kalau gadis itu pasti telah menghabiskan air matanya. Lagi-lagi menangisi nasib buruk yang menimpa almarhum ibunya akibat dari perbuatan ayahnya.
Bibi Ipah selalu menyelipkan nama
Smith dalam doa-doanya. Ia berharap gadis manis itu akan kembali menjadi seperti dulu lagi; ceria, murah senyum, penyayang, dan selalu ramah. Tidak seperti Smith yang sekarang selalu menatap orang lain dengan pandangan penuh kecurigaan.
"Bi Ipah!"
"Ya, Non."
"Terima kasih."
"Sama-sama Non. Bibi harap, Non tidak lupa untuk menjaga kesehatan."
Bibi Ipah menutup pintu kamar Smith. Lalu menengok ke ruang tamu yang ada di lantai dasar.
Majikannya yang lain sedang terbaring di sofa dengan kedua tangan yang menyatu di depan dada dan tubuh yang sedikit meringkuk ke kanan.
Bibi Ipah menggeleng pelan dan menghembuskan napas berat. Rumah megah tempatnya bekerja sejak puluhan tahun lalu itu sungguh menyedihkan.
***
Smith telah menghabiskan makan malamnya. Tidak ada apapun yang tersisa di piring dan gelas.
Smith merasa sangat lapar hingga menyantap hidangan yang dibawakan Bibi Ipah dengan sangat lahap.
Ia kemudian membawa piring dan gelas kotor ke dapur.
Tapi Smith menghentikan langkahnya di depan pintu kamar. Ia ingin tahu apakah ayahnya masih berada di ruang tamu, di kamar, atau telah kembali ke rumah istri keduanya.
Smith berjalan mendekati pembatas lantai dua. Ia memegang pembatas besi yang tingginya sepinggang orang dewasa. Lalu melihat ke arah ruang tamu.
"Untuk apa dia tidur di situ? Merusak suasana saja," gumam Smith dalam batin melihat ayahnya tertidur di sofa.
Meski begitu, sebenarnya Smith menyimpan khawatir. Walau kadarnya tidak lebih besar dari rasa marahnya pada Hendry, Smith sempat berpikir untuk mengambil selimut di kamarnya.
"Cih! Untuk apa aku repot-repot mengambil selimut. Biarkan saja dia kedinginan. Dia saja tidak peduli pada ibu dan aku," tukas Smith lagi, berbicara dengan sangat kesal pada diri sendiri. Entah bagaimana, ia tidak bisa berhenti peduli begitu saja pada sang ayah.
Ia pun bergegas menuju dapur. Sepanjang perjalanannya, Smith teringat pada masa kecilnya. Ketika waktu tidur malam telah tiba, sang ayah akan mengantarnya ke kamar. Lalu membuatnya mengantuk dengan cerita yang tokoh-tokohnya adalah hewan. Dan sebelum pergi meninggalkan kamar, Hendry selalu mengecup keningnya, juga menyelimutinya.
Smith kecil tidak pernah suka memakai selimut saat belum tidur walau udara sangat dingin menusuk tulang. Itu sebabnya Hendry selalu menyelimuti Smith setelah gadis manis itu terlelap.
Maka, pada akhirnya, setelah mencuci tangan, Smith bersicepat menuju kamarnya untuk mengambil sebuah selimut. Ia menjadi cemas pada ayahnya karena teringat kalau Hendry akan mendadak pilek saat udara terasa begitu dingin.
***
Smith memandang wajah ayahnya. Telah muncul keriput di beberapa bagian.
Ayahnya juga tampak sedikit membuka mulutnya untuk bernapas. Smith yakin, hidung ayahnya sudah buntu.
Gadis itu sering berkhayal seandainya sang ayah tidak pernah berubah, mungkin sang ibu masih ada di antara mereka sekarang. Dan mereka akan terus menjadi keluarga bahagia selamanya.
Smith tersenyum getir. Kenyataannya semua hal buruk sudah terjadi. Dan ia sendiri tidak tahu kapan akan bisa memanfaatkan ayahnya.
Smith menyelimuti ayahnya dengan perlahan. Lalu membalikkan badan sambil mengumpat pada dirinya sendiri karena masih saja kesulitan untuk menghilangkan kepeduliannya pada sang ayah.
"Smith," panggil Hendry yang langsung duduk dengan tangan memegang selimut erat-erat.
Smith menghentikan langkahnya. Ia menelan ludah dengan detak jantung yang menjadi lebih cepat.
Namun Smith tidak membalikkan badan atau sekadar menoleh untuk melihat wajah ayahnya. Ia hanya berdiri mematung, juga tanpa mengatakan apa-apa.
Smith melangkah. Ia tidak peduli dengan suara Hendry yang terus memanggilnya.Sesaat ada sesal di hatinya lantaran telah meletakkan selimutnya di tubuh sang ayah. Semestinya orang seperti itu tidak pantas untuk diperlakukan dengan baik. Begitulah gerutunya dalam benak."Sasmitha! Ayah mohon, katakanlah sesuatu."Kali ini Smith yang telah berada di atas tangga menghentikan langkah kakinya. Ia menarik napas panjang untuk melapangkan dadanya yang selalu sesak saat berada di dekat ayahnya.Bukan hal mudah bagi Smith untuk bisa berbicara pada Hendry. Ia mesti kuat mengendalikan segala emosinya yang selalu membesar hanya karena melihat wajah ayahnya.Selama ini Smith memang tidak banyak bicara. Segala keluhan, kebencian, dan kemarahan pada sang ayah selalu ia telan begitu saja. Semuanya belum pernah sampai terutarakan.Benar, walaupun Smith sangat marah dan benci kepada Hendry, ia tidak p
"Aku? Aku sedang melihatmu menulis. Siapa orang yang kau maksud dalam tulisanmu itu? Apa itu kekasihmu?"Smith tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia hanya menggeleng sambil memasukkan semua barang yang telah ia keluarkan dari dalam tasnya. Lantas berdiri dan berjalan meninggalkan Janu."Tunggu, Smith! Tunggu!" ujar Janu sambil berlari mengejar Smith.Tapi smith tidak peduli. Ia terus berjalan bahkan dengan langkah yang semakin cepat.Sampai akhirnya Janu berdiri di depan Smith. Ia menghadang gadis itu agar tidak lagi meninggalkannya."Minggir!" ujar Smith dengan wajah datar."Tidak. Kita perlu bicara. Aku tidak suka kau mengabaikanku begitu saja. Setidaknya, duduklah sebentar dan mari kita berbincang. Besok lusa tugas sudah harus dikumpulkan. Tapi kita bahkan belum pernah berdiskusi sama sekali.""Tidak perlu. Biar aku mengerjakannya sendiri.""Mana bis
Janu menjadi semakin bertanya-tanya, siapakah sebenarnya si gadis singa jantan itu? Smith adalah orang yang sangat misterius bagi Janu. Pikiran dan tingkahnya tidak bisa ditebak.Jika mengacu dari cerita Pak Hadi, sepertinya ia adalah seorang yang berada, yang memiliki banyak harta. Tapi jika itu memang benar, mengapa Smith seolah-olah menutupi segalanya? Ia terlihat sederhana. Bahkan sangat sederhana.Janu pun menanyakan keanehan itu kepada Pak Hadi. Tapi ia tidak mendapat banyak informasi perihal tersebut.Pak Hadi juga tidak tahu pasti tentang hal itu. Ia hanya mengatakan bahwa Smith selalu datang ke rumahnya dengan menaiki angkutan umum yang berisi perkakas-perkakas tertentu yang di bawah Smith untuk keluarganya."Nona Smith selalu carter angkot, Mas. Dan memberi istri saya amplop tebal berisi uang pecahan seratus ribuan. Nona smith tidak pernah menceritakan banyak hal tentang dirinya atau keluarganya. Dia hany
Smith berjalan menuju pintu dengan wajah malas. Wajah itu tidak berubah sedikit pun ketika ia membuka pintunya. Bahkan menjadi semakin malas ketika melihat siapa orang di balik pintu rumahnya."Untuk apa kau ke rumahku malam-malam begini? Apa tidak bisa bertamu besok saja? Pulanglah! Aku sedang malas untuk menerima tamu," ujar Smith sambil menoleh ke belakang sesaat. Melihat seorang tamu lainnya yang tengah duduk di lantai, yang membuatnya sudah ingin tidur saja."Aku hanya datang membawa makan malam untuk ayah. Mama membuatkan makanan ini secara khusus. Ini menu kesukaan ayah, nasi goreng spesial pakai udang," kata gadis tinggi semampai yang rambut panjangnya diikat rapi itu."Apa kau pikir aku peduli? Lagipula ayahmu tidak ada di sini. Jadi pulanglah! Aku sangat lelah."Smith memegang kepalanya dengan tangan kiri. Entah bagaimana rasa pening langsung ada di sana. Sementara tangan kanannya di gerak-gerakkan sebagai
Selama beberapa saat ruang tamu di rumah Smith begitu sunyi. Baik Janu ataupun Sisil sama-sama merasa canggung untuk memulai percakapan lagi, setelah Smith benar-benar tidak terlihat.Mereka adalah teman lama. Dan sayangnya, pertemuan pertama mereka setelah sekian lama terpisah, ternyata dihadapkan pada keadaan yang tidak semestinya."Sisil, terima kasih ya, walau bagaimanapun berkat dirimu aku bisa mendapatkan beasiswa di kampus yang aku inginkan," kata Janu yang berusaha memperbaiki suasana dengan membicarakan masa lalu."Tidak, tidak. Aku tidak melakukan apa-apa. Aku hanya memotivasi dirimu untuk mendaftar saja. Selebihnya ya, semua berkat kemampuanmu sendiri," tukas Sisil sambil tersenyum."Sisil, maafkan aku, tadi aku mendengar percakapanmu dengan Smith. Jadi, mengapa kau menunggu ayahmu di sini?"Pada akhirnya Janu tidak bisa menahan diri lagi. Ia sungguh-sungguh ingin tahu mengapa Sisil ada b
Pukul 23.45, Hendry tiba di rumah. Ia membuka pintu menggunakan kunci cadangan dengan sangat hati-hati, tidak ingin membangunkan penghuni rumah.Bibi Ipah memang tidak pernah membiarkan kunci rumah menempel di pintu. Sengaja agar sang majikan bisa membuka kuncinya dari luar.Hendry mengendap perlahan, masuk ke dalam rumah. Benar-benar tidak ingin memunculkan suara-suara tertentu. Ia juga tidak menyalakan lampu yang telah dipadamkan.Tapi Smith tahu kalau ayahnya telah datang. Gadis itu selalu tahu. Sebab diam-diam, dalam batinnya, Smith juga mencemaskan sang ayah sebagaimana yang dirasakan Sisil.Smith tersenyum dan kembali memejamkan mata. Sebelumnya ia tengkurap, terlentang, miring ke kanan dan ke kiri, juga mempraktikkan posisi seperti orang tengah sujud, lantaran kantuk tidak juga mendatanginya.Apapun posisi tidurnya, yang terpenting memang ketenangan bati
Setelah kematian ibunya, Smith mulai belajar bisnis. Seorang manajer kepercayaan Lisa-lah yang dengan telaten mengajari Smith remaja tentang bisnis butik.Manajer dengan nama panggilan Sheira itu merupakan sahabat baik Lisa. Ia mengetahui semua hal buruk yang dialami Lisa dan Smith karena ulah Hendry. Itu sebabnya, Sheira selalu ada kapanpun Smith membutuhkannya.Hingga kini Sheira masih setia mendampingi Smith dalam mengelola butik peninggalan Lisa. Sebetulnya bisa saja ia berhenti menjadi manajer dan membuka butik sendiri. Sheira memiliki lebih dari cukup uang untuk itu. Tapi Sheira tidak melakukannya.Sheira sudah berjanji pada almarhum sahabatnya, akan menjaga Smith dengan sebaik-baiknya. Ia selalu ada untuk Smith.Tapi Smith memang terlalu dewasa. Gadis itu tidak pernah sedikitpun merasa perlu untuk merepotkan Sheira. Ia selalu melakukan semuanya sendiri, kecuali soal butik yang mema
Suasana sore di butik terasa sangat panas. Bahkan pendingin ruangan seperti tidak berfungsi.Ketegangan melingkupi batin para karyawan ataupun pengunjung butik. Melihat Smith bersitegang dengan ibu sambungnya.Para pengunjung yang semula tidak begitu menghiraukan keributan kecil di sana, kini mulai mengabaikan pakaian yang menyita perhatian mereka, dan turut menyimak apa yang terjadi.Ketika itu, Sheira, sang manajer butik memang sedang tidak bekerja. Ia mengambil cuti karena ibunya sedang sakit.Itu sebabnya, Smith harus mengurusi sendiri masalah ibu sambungnya yang menyebalkan itu. Biasanya Smith tidak akan keluar ruangan jika Sinta, Sisil, atau ayahnya datang berkunjung. Ia juga meminta Sheira dan para karyawan agar tidak mengatakan keberadaannya."Smith, kau tidak boleh pergi jika ibumu sedang bica