Share

Jangan Jatuh Cinta Lagi!

"Aku pernah terjatuh berkali-kali, dan saat aku bangkit di antara bintang-bintang, secercah harapan menerangi. Meski langit telah gelap, bukankah mimpiku punya kesempatan untuk mewujudkannya?"

Dulu saat sebelum menikah, cita-citanya mengajar di sekolah dasar asal Haziya menuntut ilmu. Namun, rencananya tidak sesuai keinginan ketika mantan suami melarangnya bekerja. Kepindahan ke desa mertua, membuat jarak pulang pergi butuh hampir sejam. Shabir khawatir dia tidak bisa membagi waktu. Mengejar ridha suami, Haziya menurut saja. 

Sekarang, setelah keduanya berpisah. Tidak ada nafkah dari Shabir sejak kepulangannya ke rumah ibu sendiri, membuat Haziya harus memutar otak mencari pekerjaan. Meski kedua orang tua mengatakan masih sanggup membiayai kebutuhannya, tetapi Haziya tidak ingin membebani mereka di usia hampir dua puluh lima ini. Dia ingin membantu meringankan kehidupan mereka. 

"Aduh, hampir telat!" Haziya segera bangkit dari kursi, keasyikan membaca cerita tentang dirinya yang ditulis oleh Diana, penulis indie sekaligus sahabat kecilnya dia jadi lupa waktu. Seharusnya, Haziya sudah sampai di rumah Miska, keduanya sudah janjian untuk bertemu di rumah Miska untuk membantu Haziya mencari pekerjaan.

Orang tua Miska baru beberapa bulan membuka rumah bimbingan belajar cabang Pidie. Jika cocok Haziya ingin melamar di sana. 

"Bu, doakan Ziya ya, moga dipermudahkan segala urusan." Haziya pamit tanpa lupa mengucapkan salam dan mencium telapak tangan ibunya.

"Aamiin, waalaikumsalam, hati-hati di jalan, Nak." Haziya mengendarai sepeda motor tanpa lupa membawa masker. Meski tidak sedarurat di Jawa, pemerintah Aceh tetap waspada dan memerintahkan agar masyarakat menaati protokol kesehatan, bahkan ada sanski sebagai denda atas pelanggaran. 

"Assalammualaikum," sapa Haziya mengetuk pintu, tidak berselang lama Bibi yang sudah dikenalnya sebagai asisten rumah Miska mempersilakan masuk.

"Ke atas saja, Dek, Miska masih di kamar sepertinya, belum turun ke bawah. Sekalian nanti kamu makan bareng dia ya, susah sekali dipaksain buat makan. Katanya lagi diet, padahal sudah langsing begitu. Emang ya anak gadis hobinya nyiksa diri," seloroh Bi Uti. 

"Baik, Bi, aku ke atas ya," pungkas Haziya kemudian menaiki tangga. Walaupun Miska lebih kaya darinya, tetapi perempuan yang sekarang sedang menjadi guru di MAN kabupaten itu tidak pernah sombong apalagi memilih teman sepadan untuk dijadikan sahabat. Selama mereka kuliah, baik Azizah maupun Miska yang tergolong anak berada selalu memperlakukan semua temannya sama. Begitu pun kepada Haziya, anak petani yang menjadikan ladang sebagai tempat pencarian nafkah. 

"Assalammualaikum, Miska, aku masuk ya!" Haziya mendorong pintu setelah memberi salam. Dia sudah terbiasa melenggang ke dalam, karena Miska yang menyuruh dia mengganggap seperti rumah sendiri. Apalagi di rumah ini hanya ditinggali oleh orang tua dan pekerja, sedangkan Miska anak tunggal. Jadi, Haziya tidak perlu cemas sewaktu-waktu berpapasan dengan yang bukan mahram. 

Haziya terus berjalan ke samping ranjang ketika memanggil nama Miska tanpa sahutan, dia berpikir gadis yang barusan tunangan itu masih terlelap di bawah selimut. Minggu hari di mana Miska bisa rebahan seharian, ditambah hobi menonton drakor. Haziya sudah cukup hafal jam bangun temannya itu. 

"Ayo bangun, Miska, sudah pukul sepuluh ini." Haziya menggoyangkan di ujung selimut. Tidak ada sahutan, biasanya Miska akan memintanya menunggu beberapa menit saja dan Haziya akan segera menarik selimut serta bantal guling yang menjadi teman setia mengantarkan Miska ke alam mimpi. 

"Kok kamu pakai parfum banyak banget, Mis," komentar Haziya mengelus hidung ketika menghidu aroma maskulin. Wangi yang terpancar berbeda dari biasanya. Miska tidak suka berganti parfum setelah sang tunangan menghadiahi kado ultah tahun lalu dengan parfum beraroma Cherry. 

"Mis ... ka, astagfirullah!" Haziya terperanjat kaget, langkahnya mundur ke belakang ketika tiba-tiba sosok di balik selimut tadi menyibak kain putih tebal itu dengan posisi duduk.

"Kamu berdosa banget," decit lelaki masih memeluk bantal guling. "Ampun bang jago, jangan menatapku seperti itu, wajahku memang tampan karena aku adalah jodohmu di masa depan." 

Haziya tersadar, buru-buru menunduk dan berbalik ketika menyadari lelaki tanpa dikenal itu hanya memakai baju kaos tanpa lengan. 

"Maaf, aku pikir Miska," papar Haziya masih belum berani menatap lelaki itu, ingin segera keluar, tetapi apalah daya rasanya kaki kaku tidak bisa dilangkahkan. 

"Lebaran sudah lewat, ngapain minta maaf," jawab lelaki di atas kasur disertai kekehan.

"Miska, ke mana ya?" tanyanya menatap dinding yang ditempelkan wallpaper Mickey mouse. Haziya ingin memastikan keberadaan Miska agar tidak terjadi lagi seperti tadi. Perasaan dia sudah benar masuk kamar. 

"Apakah wajah tampanku kalah menarik dari sebidang dinding datar itu?" 

"Aku permisi," pamit Haziya memaksakan kaki untuk berjalan keluar kamar, pertanyaannya diabaikan oleh lelaki tadi. 

"Eh, Ziya sudah sampai?" Miska terperengah ketika melihat sosok Haziya di ambang pintu. 

"Iya, aku baru--"

"Temanmu harus bertanggung jawab," sela lelaki jangkung seraya turun dari ranjang. 

"Apaan sih, Bang," gerutu Miska ketika sepupunya itu berjalan menghampiri mereka.

"Dia harus bertanggung jawab sudah mengganggu mimpi indahku, tapi nggak apa-apa, kehadirannya lebih indah dari mimpiku." 

"Sana makan gombalanmu, dia nggak mempan!" usir Miska mendorong Zaweel keluar kamar, kemudian segera mengunci pintu.

"Maaf ya, aku lupa bilang dia semalam sampai. Eh maunya tidur di kamarku soalnya di kamar tamu kata dia nggak enak, lama nggak ada yang tidur di sana. Terpaksa deh aku yang tidur. Kamu sudah lama sampai?" 

Haziya menggeleng, berusaha menghilangkan bayangan lelaki tadi.

"Dia emang gresek, maklum lama jadi anak kota," ungkap Miska seraya memakai bajunya. "Namanya Zaweel Luqman, panggil dia Luqman aja, biar nggak lupa daratan dia mau dipanggil Zaweel biar keliatan gaul," cibir Miska menggerutu tingkah sepupunya itu yang lebih tua enam tahun darinya.

"Usia dia udah dua puluh sembilan eh kelakuan kek bocah. Nanti kalau dia ngoceh, biarin aja ya, kalau diladeni makin jadi."

"Iya-ya, kamu belum makan, 'kan? Yuk, turun dan isi perutmu, tuh baju sudah pada longgar," ajak Haziya mengingat pesan Bi Uti tadi.

"Tapi Ziya, semalam aku timbang malah naik satu kilo," keluh Miska seraya berkaca. "Lihat pipiku mulai bakpao lagi."

"Bakpao gosong iya, pipimu sudah tirus gini. Ayo ah." Haziya segera menarik tangan Miska agar tidak terlalu lama bercermin dan insecure terhadap tubuhnya sendiri.

"Ada kedondong enak dimakan, halo kenalan dong perempuan masa depan," sapa Zaweel di meja makan ketika keduanya masuk ke ruang makan. Lelaki itu melebarkan senyum ketika Miska melotot ke arahnya.

"Napa kamu yang sibuk sih, cewek bakpao. Temanmu saja blush itu," kelakar Zaweel mendapat tinjauan kecil di lengan.

"Jangan menghinaku lelaki buaya, nggak aku kasih makan baru--"

"Tinggal gojekin aja sih, susah amat," potong Zaweel, lalu mencomot bakwan jagung dan segera memakannya.

"Ayo duduk, ibu dari anak-anakku jangan berdiri saja di sana," goda Zaweel dengan tangan menunjuk pada kursi di sebelahnya, diperagakan seperti menyambut tamu.

"Sudah biarkan alien ini halu, duduk Ziya." 

Ziya berusaha biasa saja, jangan sampai dia terpesona apalagi jatuh ke lubang yang sama. Jangan jatuh cinta semudah itu!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status