🍁Tamu saja memberi salam dan mengetuk pintu sebelum dipersilakan masuk oleh pemiliknya, apalagi ini hati jangan asal masuk kalau hanya ingin menyakiti.🍁
"Dek, tolong ambilkan jilbab Kakak!" seruan bernada perintah dari Haziya kepada Adil karena tidak menyangka akan kehadiran Zaweel meskipun sekadar mengantarkan Miska. Suara Haziya sedikit keras sehingga didengar oleh dua tamu yang sejak tadi menunggu di luar.
"Kamu nggak bilang sama dia kalau kita ke sini?" tanya Zaweel.
"Nggak lah, mau suprise. Jadi kelabakan dianya, haha. Eits, jangan celingak-celinguk tetap tegak begitu, CCTV tetangga sedang dalam masa aktif," ujar Miska yang menyadari beberapa tetangga rumah Haziya ikut penasaran dengan kedatangan mereka ke sini. Mungkin sejak deru mobil memasuki halaman rumah Haziya, orang-orang di sekitar rumah Haziya melancarkan aksinya bak detektif, mengintip melalui jendela dan saling bertanya-tanya siapa gerangan sosok lel
Haziya menaruh nampan berisi minuman dan makanan ringan itu di atas meja secara hati-hati. Dia sedikit was-was dengan reaksi ayahnya. Seperti kata Miska, Zaweel orangnya asyik sih cuma kebanyakan bicara, takutnya sang ayah kurang nyaman. Padahal dia sedang tidak mempromosikan calon suami, tetapi entah kenapa perasaannya berharap agar Zaweel bisa bersikap baik agar ayahnya menyukai akan kehadiran lelaki itu. Lidya dilarang ibunya untuk ke depan, karena sebentar lagi akan dipinang oleh Hanif. Menghindari dari fitnah. "Aku nggak bakal jatuh cinta sama dia kok, Bu. Cuma mau lihat gimana calon kakak ipar aja hehe," pintanya memohon untuk diizinkan ke ruang tamu. "Namanya perasaan dan hati itu mudah dibolak-balik. Kamu di sini saja, tenanin ibu dan wawak," kekeh Ibu tidak bisa ditolak. Lidya mengembuskan napas kecewa, dia hanya ingin mengobrol dengan Zaweel untuk bisa menilai apakah lelaki itu lebih baik dari mantan suami kakaknya atau sebal
🍁 Perasaan bukan seperti sebuah ketikan, bisa dihapus jika ada kesalahan sebelum mengirimkan kepada penerima pesan. Tolong, jangan menulis di lembaran hatiku lagi setelah menorehkan luka yang membekas sampai sekarang.🍁 Melupakan kenangan atau kejadian sangatlah tidak mudah, apalagi mencoba mengikhlaskan sesuatu yang terjadi meninggalkan kesan buruk. Namun, namanya roda kehidupan terus berputar. Mentari tidak akan terlambat sedetik pun untuk menyapa pagi hanya karena embun jatuh di matamu. Senja tidak akan lupa melukiskan jingganya pada sudut langit meski langitmu dirundung mendung. Pun begitu, malam tidak akan sunyi oleh tebaran bintang-bintang yang menerangi gelap meskipun tidurmu tidak nyenyak. Untukmu, tak perlu kamu memilih muram di pagi hari, melewatkan indahnya menebar senyum saling menyapa dengan orang-orang terkasih. Jangan menyembunyikan diri pada sebuah ruang, tanpa obrolan sama sekali. Kobarkan semangatmu di b
Rona-rona jingga memperindah sudut-sudut langit. Beberapa anak masih begitu semangat bermain kejar-kejaran di depan halaman rumah Haziya. Tidak perlu ada undangan bagi para anak kecil tersebut, karena setiap kali ada acara di mana pun sudah menjadi hal lumrah yang ditemui di kampung bila rumah ramai oleh sorak dan tawa anak-anak. Mereka hanya akan pulang ketika magrib tiba, datang lagi hingga pukul sepuluh malam untuk tidur. Berhubung acara pertunangan Lidya diadakan setelah salat insya maka mereka sudah meminta izin kepada orang tua untuk salat di rumah Haziya. Adil dan Nirsyal yang meminta izin kepada Bu Lisa. Asal mereka patuh tidak mengacaukan acara nantinya tidak masalah.Namun, ada yang berbeda kali ini. Kehadiran Zaweel di tengah para bocah itu semakin membuat riuh. Lelaki dewasa yang sangat mencolok di antara yang lainnya. Dia ikut bermain bersama mereka."Ziya, kamu kelihatan banyak pikiran. Shabir gangguin kamu lagi?" Miska bertanya serius
Haziya mengucapkan syukur karena acara semalam berjalan lancar. Dia sangat senang melihat Lidya adiknya bahagia dengan kedatangan keluarga Hanif untuk melamarnya. Sekarang dia hendak bertemu Shabir untuk menepati janjinya kepada lelaki itu, sesuai kesepakatan semalam. Shabir tidak merusak suasana khidmat berlangsungnya acara Lidya. Haziya tidak tahu siapa yang memberitahu Shabir mengenai lamaran tersebut. Bisa jadi tetangganya yang memiliki ikatan persaudaraan jauh dengan Shabir, entahlah. Haziya tidak mau berburuk sangka, seandainya benar pun dia tidak bisa melabrak mereka ataupun menegurnya karena Haziya tidak memiliki bukti yang kuat. Haziya berusaha tidak tersulut emosinya setiap kali tetangganya ikut campur dengan urusan pribadi. Padahal dia tipikal tidak mau mencampuri urusan orang lain, tetapi mengapa banyak yang mengusik kehidupan pribadinya sejak isu rumah tangga retak. Sekarang statusnya yang digantung pun jadi bahan ghibah di an
Rasa lelah menanggung beban pikiran tak menyurutkan Haziya untuk tetap tersenyum ketika menyapa keluarganya di rumah. Dia tidak ingin membebani mereka dengan masalahnya."Assalamualaikum, Bu, lagi masak apa?" Menghidu aroma masakan ibunya yang mengundang nafsu sejak tadi memasuki rumah. Haziya berganti pakaian dulu di kamar sebelum menuju dapur. Perutnya yang belum diisi tadi di restoran, segera pulang setelah bertemu Vina membuatnya merasa lapar.Haziya bersyukur masih memiliki orang tua lengkap. Pelita hati di saat gundah dan terasa berat menjalani hidup ini. Dukungan moral dari keduanya sangat membantu psikis Haziya.Tidak peduli sebanyak apa pun penduduk bumi ini membenci dirinya, asalkan ayah dan ibu masih selalu ada untuknya dia tidak akan takut. Haziya percaya setiap masalah yang dipikulnya merupakan kadar yang sesuai dengan kemampuan yang dapat dilaluinya.'Allah tidak akan membebani hambanya mel
Memiliki sahabat meski hanya sedikit, tetapi saling membantu di kala susah dan selalu memberi dukungan supaya semangat lagi di saat membutuhkan adalah anugerah yang patut disyukuri. Bermanfaat bagi dunia dan akhirat lebih baik daripada banyak teman hanya di kala senang saja, bermain sampai lupa waktu dan kewajiban.Haziya menyambut mereka dengan gembira, mempersilakan Miska, Anis dan Zaweel memasuki rumah. Meski baru tadi pagi ketiganya pulang dari rumah, dan sorenya kembali lagi, tetapi tetap saja ibu Haziya memperlakukan mereka seperti tamu."Dimakan dulu ya nasi gorengnya, masih enak daging rendangnya kok. Ini kacang rendang kesukaan Lidya, empuk. Yuk dimakan!" Ibu mempersilakan mereka yang tidak tega menolak meski sudah makan siang tadi. Demi menghormati tuan rumah, mereka duduk melingkar di kursi meja makan untuk menyantap hidangan."Ziya nggak makan?" tanya Anis menegur Haziya yang sibuk mengambil lauk untuk mereka."Sudah
Sidang yang direncanakan akan dimulai pada pukul sepuluh pagi dimundrukan jadi setengah sebelas. Meski hanya tiga puluh menit lebih lama karena kabarnya hakim sedikit terlambat, gegara macet, tetapi keluarga Haziya dan sahabatnya sudah sejam lalu hadir ke kantor mahkamah Syariah.Mereka begitu semangat untuk mendukung Haziya, supaya cepat dibebaskan dari statusnya sebagai istri dari Shabir. Lelaki itu bahkan sampai detik ini tidak tampak batang hidung. Haziya sudah bisa menduganya karena di persidangan pertama pun mantan suaminya itu tidak datang.Dia berharap segala proses bisa berjalan lancar, mudah dan cepat kelar supaya Haziya bisa beraktivitas dengan normal. Menjadi guru tanpa harus disibukkan dengan segala proses perceraian yang begitu rumit dan melelahkan.Batin Haziya sudah terguncang sejak perpisahannya dengan Shabir, ditambah kehadiran Vina sang istri baru Shabir yang begitu terang-terangan menganca
Zaweel mengajak semuanya singgah di Freshrock Caffe untuk mengisi perut dulu karena sudah memasuki waktu makan siang. "Pesan yang banyak, Ziya biar kuat!" seru Anis."Iya, Kak, kenapa cuma pesan dua menu saja. Pesan lain juga biar Kakak punya tenaga, buktikan pada mereka kalau Kakak bisa baik-baik saja setelah terlepas dari lelaki itu," imbuh Lidya, dia tidak suka melihat kakaknya bersedih berkelanjutan apalagi jika menangisi lelaki macam Shabir. Buang-buang waktu saja."Sudah cukup, Dek," kata Haziya, tetapi Miska malah langsung menulis menu tambahan untuk Haziya.""Miska, hapus saja daripada mubazir," usul Haziya, tetapi Lidya malah melarangnya."Mbak, ini ya jangan lama," ujar Miska seraya menyerahkan buku menu kepada pelayan cafe."Baik, ditunggu dulu ya, Dik," tandasnya sebelum berlalu menuju pantry."Mereka benar, Nak, kamu harus makan yang banyak," tutur ayahnya yang disetujui oleh sang ibu."Anak ibu